Ini hari pertamaku berada di taman ini, taman yang berada di pusat kota. Bau asap kendaraan masih tercium dari sini, maklum meski taman ini hijau dengan pepohonan yang cukup rindang tapi karena letaknya yang dikelilingi oleh kendaraan tetap saja menimbulkan polusi. Aku tahu benar pepohonan yang rindang itu bukanlah penduduk asli yang tumbuh di tempat ini, sepertinya pepohonan itu dimigrasian secara paksa oleh pemerintah agar membuat taman ini lebih sejuk. Padahal program paksa itu belum tentu sesuai dengan habitat si pohon, bisa saja si pohon mogok makan dan minum seperti yang dilakukan para manusia di luar sana yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah dan akhirnya mati layu karena kekeringan.

Hidup adalah kumpulan titik-titik kejutan, itulah yang kupahami. Dan penempatan aku di taman ini adalah sebuah kejutan yang besar. Berada di tengah-tengah kota, menjadi penghias taman yang dilengkapi dengan fasilitas mengakses internet gratis, dan terpenting aku akan menjadi pilihan favorit setiap muda-mudi yang dimabuk cinta. Posisiku menghadap kolam kecil yang memancurkan air, mengikuti irama musik yang indah. Di dalamnya terdapat teratai merah dan pohon-pohon bunga kecil menghiasi kolam kecil itu, setidaknya itulah alasan yang membuatku yakin para manusia akan berebut duduk di tubuhku.

Seorang pria setengah baya duduk di atas tubuhku, Badannya tinggi besar dengan perut membuncit, berpakaian dinas rapi sepertinya seorang pegawai negeri atau semacam itulah. Seorang pria yang berperawakan sama datang menghampirinya, seusai salam dan sapa kini dia duduk di sebelah pria yang telah datang terlebih dahulu. Namanya Anto dan lelaki yang datang barusan bernama Dedi, itu yang kudengar dari perbincangan mereka. Aku terperajat, ternyata taman yang indah ini merupakan lahan pedagang kaki lima yang digusur paksa, dengan alasan akan dibuat taman hijau kota. Seorang machivelis sejati menurutku, taman yang indah dengan fasilitas modern berdiri di atas lapak-lapak orang miskin yang butuh makan, sungguh ironi. Seharusnya disediakan lokalisasi Pedagang kaki lima sebagai konvensasi dari penggusuran lahan tempat mereka mencari nafkah, tapi aku hanya bangku taman, suaraku tak terdengar.

Seminggu sudah aku di sini, di taman kota ini. Dugaanku tak meleset jauh, orang-orang yang datang ke taman ini akan menjatuhkan tubuh mereka di atasku seperti kubilang seminggu lalu posisiku strategis, menghadap kolam kecil yang memancurkan air. Sudah dua hari ini sepasang anak manusia duduk di atasku, menghabiskan ribuan detik yang panjang. Berbincang-bincang hal yang tak kumengerti, bahasa cinta mungkin sehingga hanya orang yang merasakannya yang mampu menerjemahkannya. Dan ketika senja tiba dua sejoli ini pergi, entah ke mana mungkin mencari tempat singgah yang lain.

Seseorang lewat di depanku, tangan kirinya membawa karung besar yang disandarkan ke belakang punggungnya dan tangan satunya memegang besi dengan ujungnya yang bengkok dan tajam, mirip kail pancing berukurun besar. Keringatnya membanjiri tubuh, baju lusuhnya basah kuyup oleh keringat, kelelahan pastinya dan lelaki itu pun menjatuhkan tubuhnya di atasku. Matanya menerwang ke depan, bukan harapan yang ada di sana hanya kekosongan. Sehari penuh dia berjalan, tapi tak banyak rongsokan yang bisa dikumpulkannya, karungnya haya terisi setengah. Dia mulai bercerita, meratapi nasibnya dan menangis sesegukan dengan suara yang amat ditahan agar tak menganggu yang lain. Lelaki itu memuntahkan semua yang terumbat di otaknya, mengeluarkan beban yang tertahan di tenggorokannya dan beban itu rasanya memang tak lagi kuat untuk disimpannya. Lelaki itu pun menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibnya. Perantauan yang sia-sia katanya di sela-sela tangisnya, pesona ibu kota yang memikaatnya untuk ke jakarta, dan pesonanya pula yang membuatnya menangis hari ini. Ingin rasanya aku membantu, tapi aku hanya bangku taman, kekuatanku hanyalah do’a.

# # #

Hari in genap satu tahun aku ada di taman ini, satu tahun tanpa cuti. Pesonaku sudah pudar, cat-cat mengelupas dari tubuhku, kakiku mulai goyah dan tak lagi mampu menahan beban. Kolam kecil yang memancurkan air itu kini telah surut, tangan-tangan jahil membuatnya tak lagi naik turun mengikuti irama musik bahkan pohon teratai penghias kolam pun telah lama mati. Jelas tak ada alasan untuk mereka duduk di atasku, tak ada lagi bangku taman yang nyaman dan tak ada lagi kolam kecil yang indah, tinggal kursi rusak yang tak sedap dipandang mata.

Dua anak manusia itu tak lagi terlihat, tak ada lagi bincang-bincang panjang dengan behasa cinta, mungkin saja mereka telah menemukan tempat singgah yang lebih indah, lalu berbicang-bincang panjang menghabiskan ribuan detik atau mungkin kisah mereka telah usai, mungkin saja. Lelaki lusuh itu pun hanya datang sekali, sejak senja mengantarkannya pulang dia tak pernah kembali.

Jaman berubah, musim berganti, kini aku tak lagi menarik, pesonaku telah pudar. Tapi aku tak mampu berbuat apa-apa karena aku hanya bangku taman.

Jaman berlalu, musim berganti, kamu telah pergi
Tapi aku masih di sini, di sisi kanan bangku taman
Menghadap kolam kecil yang airnya sudah tak lagi naik turun mengikuti irama musik
Sisi kiri tak pernah terisi semenjak kau pergi

Ia terus berbicara, mencoba menghabiskan kosa kata yang tak kunjung habis dari bibirnya. Terus berbicara tanpa henti, kadang tertawa terpingkal-pingkal atau hanya senyuman yang tersungging di bibirnya, terus berbicara hingga lelah menggrogoti sekujur tubuhnya lalu menyerang matanya, menjatuhkan berton-ton benda ke pelupuk matanya dan membuatnya terkantuk, seketika ia pun berhenti berbicara, itulah saat dimana kau bisa melihatnya diam.

Entah sejak kapan gadis manis itu terus berbicara, membicarakan hal yang tak terjamah otakku. Berbicara tentang bunga mawar yang terus mengajaknya mengobrol tentang keindahan warna dan kelopaknya yang mekar dihiasi duri di tangkainya. Ia terus berbicara dan aku membiarkannya terus bercerita tentang hal yang tak pernah kumengerti, hanya dengan mendengarkannya ia akan merasa senang atau mungkin suatu saat aku akan mengerti kemana alur ceritanya dan mengerti dunia yang tak pernah singgah di otakku.

Dia sama dengan anak 10 tahun lainnya, hanya saja porsi untuk dunianya sendiri lebih besar dari pada dunia bersama anak-anak lainnya. Jangan menganggapnya autis, karena dia mampu berinteraksi dengan anak sebayanya, bercanda, berlarian, meski hanya sebentar lalu berlari sendirian, memetik bunga di taman, memberi makan ikan di kolam yang terdapat di halaman rumah dan hanya lelah yang amat sangat yang mampu membuatnya terdiam. itu alasan mengapa aku menganggpnya memiliki porsi lebih banyak untuk dirinya sendiri, bukan autis.

Tak banyak waktu yang kuluangkan untuknya, dari hitungan jam hanya satu atau dua jam aku bersamanya, bahkan tak jarang aku menemukannya sudah terlelap. 24 jam selalu menjadi hal terberat dalam hidupku untuk menemaninya, hari libur tak lantas menjadi porsi waktu yang utuh untuknya. Mungkin itu yang membuatnya menjadi penyendiri, kesepian yang menikam menuntutnya untuk selalu tertawa dan kesendirian dalam ruang khayalnya yang mampu mengobati kesepiannya, mungkin itu tapi mungkin juga bukan.

Sesekali dari rentetan malam yang hadir, aku duduk di sampingnya, tidak me-ninabobo-kannya hanya menemaninya saja, dia tak butuh lagu indah atau dongeng untuk tertidur, kelelahan dengan sendirinya akan membuatnya tertidur dan saat itulah aku bisa melihatnya secara utuh. Sesekali aku menghapus peluhnya, petualangan dalam mimpinya mugkin begitu seru hingga badannya terus bergerak ke kanan dan segala sisi, lalu terdiam dan bergerak lagi.

Hingga kini, setelah sepuluh tahun yang panjang, aku tak bisa menemukannya secara utuh kecuali dalam tidurnya.

Selamat tidur adik kecilku, AIRA.

Penikmat kopi hitam