Kalau saja milyaran kenangan yang terekam dalam kotak memoriku dapat dipindahkan, maka dengan senang hati aku meminjamkannya padamu. Satu kotak kecil yang berisi tentangmu, hanya kamu dan segala yang berhubungan denganmu. Dengan begitu, kamu akan tahu bagaimana aku menilaimu, mencintaimu dan menggilaimu. Dan dengan begitu tak perlu lagi kupilah-pilah kata dan menyusunnya menjadi rangkaian kata lalu kuberikan padamu. Karena aku tahu, sebaik apapun aku memilah-milah kata, kamu tak dapat ter-reperesentasikan, kamu adalah wujud yang tak tergambarkan.
Kalau saja kotak memori itu bernama hati, maka akan aku alirkan rekaman memoriku tentangmu melalui rasa. Aku yakin hati dapat berbicara meski tanpa kata dan tanpa nada. tapi kamu juga tahu, hati bukanlah tempat menyimpan data, hati akan terus mengalir meski tiba-tiba aliran itu berhenti pada tempat yang datar. Kini aku menyerah, kata-kataku terasa hambar dan semua memori tantangmu mulai terhapus meski aku tak pernah bisa benar-benar menghapusnya.

Maaf, jika diamku telah melukaimu….


Ketika pertama kali bertemu denganmu di perempatan jalan itu, aku yakin kamu adalah teman sehaligus pendamping yang tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan hidupku yang mulai terasa menjemukan. Perjalanan hidup yang mulai terasa melelahkan jika dipikul seorang diri, tanpa teman, sahabat apalagi pendamping. Tapi kamu datang, entah dengan cara apa dan dari dimensi mana kamu tiba-tiba muncul di perempatan jalan itu, berdiri di sampingku dan mulai berjalan beriringan.

Meski sedikit kegelisahanku berkurang dengan hadirnya dirimu tapi semua tak seperti semula, ada perhatian yang harus dibagi, ada rasa yang harus dialiri dan aku mulai bingung dengan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu. tapi aku sadar yang kubutuhkan hanyalah proses, proses pengenalan karakter dari kita masing-masing, tak ada yang boleh dominan di sini karena semua saling melangkapi bukan memimpin ataupun menggurui.

Ini perempatan pertama kita sejak pertemuan itu, aku ingin kamu yang memilih kemana kita harus melangkahkan kaki, rasanya akan sangat mengejutkan jika tiba-tiba aku memutuskan untuk mengambil keputusan mengenai kanan dan kiri. Biarlah kamu yang memilih, aku hanya mengamini. Saat ini yang kubutuhkan hanyalah kata nyaman, ketika kamu nyaman maka dengan mudahnya nanti kita akan ber-argumentasi mengenai arah perjalanan kita.

Kamu memilih lurus, mungkin kamu ingin membangun pondasi yang kuat atas hubungan yang terjadi secara tiba-tiba ini. Mungkin kamu berpikir terlalu berisiko mengambil arah yang tak pernah kita ketahui, maka kamu memutuskan untuk menghindari resiko itu terjadi. Aku tak mengomentari, hanya menikmati perjalanan kita.

Perempatan kedua berlalu, perempatan ketiga telah kita lewati, sedangan perempatan keempat belum lama kita jejaki, masih ada bau daun kering yang menempel di sela hidung kita, daun kering yang berguguran saat langkah kita mulai melewati perempatan keempat itu. tapi hanya satu hal yang mengejutkanku, kamu tak memilih jalan lain selain lurus. Di depan, perempatan kelima telah terlihat jelas tapi aku tak mau lagi cuma-cuma, aku ingin ikut memilih jalan mana yang harus ditempuh.

“ Kenapa berhenti?” Tanyamu padaku sambil menggenggam erat jemariku.

“Kamu anggap aku apa? Tanyaku tanpa memperdulikan pertanyaanmu

“Teman, sahabat, dan pendamping perjalanan hidupku”

“Kita telah melewati empat perempatan jalan, tapi pernahkan kamu bertanya arah manakah yang ingin aku lalui. aku tak bisa bereaksi, setiap kali aku ingin memilih kamu mengacuhkanku. Dengan ringannya kamu berkata kalau kita tak perlalu mengambil resiko setiap perjalanan kita, dan tau artinya apa, aku jenuh…”

Untuk apa mengambil hal yang tak pasti, dengan lurus kita bisa mendapatkan hal-hal yang kita mau tanpa merasa takut kehilangan sesuatu yang kita miliki”

“Aku pikir dengan membuatmu nyaman dan memberi waktu untuk pengenalan karakter bisa membuat kita saling memahami, tapi aku salah. Aku mengaminimu saat kau memilih lurus pada perempatan pertama, agar kamu nyaman dan kita bisa memulai untuk berbagi pada perampatan kedua hingga tak ada lagi perempatan dalam hidup kita. Tapi aku keliru, kamu tak berubah dan menikmati kenyamanan seorang diri, padahal rasa ini bukan hanya kau yang rasa”

“So, apa yang kamu mau?”

“Aku ingin kita melangkah ke kanan!”

“Untuk apa?”

“ Aku ingin merasakan jalan terjal, tanjakan, jalan becek berlumpur, jalan buntu, jalan setapak dan intinya aku ingin perjalanan ini berwarna tidak hanya lurus-lurus saja”

“Berarti genggaman ini harus dilerai sebelum langkah kita meewati perempaan kelima itu? karena aku ingin tetap lurus tak ke kanan ataupun ke kiri?

“ Ya mungkin sebaiknya begitu, pergilah!”

Setelah ini aku masih ingin duduk di pingir jalan, belum ingin mentajuhan pilihan kemana kaki harus berlabuh, kanan, kiri, lurus apapun itu asalakan jangan belakang. Biarlah kenangan yang sudah terbentuk tak usah lagi dikoreksi, meski sesekali kita menoleh ke belakang, tapi tak perlu lagi kita kembli arah.

Sampi detik ini aku masih duduk di sudut jalan, bukan menungu seseorang hanya tak tau harus kemana berjalan…

Jum’at, Pukul 07, 52 pagi