Lelaki itu mati di sana, di sudut ruang gelap tak bernama. Seonggok mayat yang yang tak berharga, terbujur kaku dan membusuk. Belatung-belatung itu telah melaksanakan tugasnya, mengambil apa yang sudah takdirkan untuknya. Ulat-ulat kecil itu tak pernah bertanya siapa yang disantapanya, bagi mereka itulah tugas, itulah titah dari yang maha. Untuk apa meributkan hal yang tak penting.

Lelaki itu ingin dikremasi, berharap abu tulang-belulangnya ditaburkan di laut. Bukan karena dia begitu menyukai laut, dia hanya ingin menjadi bagian dari semesta, menjadi buih yang menyaksikan tingkah polah manusia. Dia tak ingin jasadnya dihimpit bumi, tak ingin jasadnya dikuliti belatung, tak ingin diziarahi dan tak ingin diingat kalau dia pernah ada. Dia ingin menjadi buih, menjadi abu dan tak pernah menjadi kenangan.

Tapi keyakinan yang dianutnya menghalanginya, dia harus dikubur layaknya manusia pada umumnya. Keinginan itu diutarakan kepada saudara-saudaranya, tapi tak ada yang mengizinkan. Dia marah, dia mengumpat tapi percuma kemarahannya tak digubris. Dia menawar pada tuhan tapi tuhan tak bergeming. Kemampuannya sebagai Head Marketing Division tak mempan merayu tuhan. Dia tidak dikremasi, tidak juga dikubur, dia mati di sudut ruang tak bernama, dikuliti belatung.

Mungkin sebaiknya saya patah hati ketimbang memilih untuk diam-diam mencitai. Saya tahu ini tak mudah, tapi menjadi pengagum membuat saya harus menahan pahit setiap kesempatan itu lewat di depan mata. Satu hal yang tak pernah membuat saya jenuh di kantor adalah menantinya lewat di depan saya, meski hanya sepersekian detik buat saya itu anugerah. Mungkin tak ada yang tahu, dibalik topeng ini, saya hanyalah pengecut yang tak berani mengungkapkan cinta, bahkan untuk sekedar berkata hai, saya tak mampu.

Hari ini dia memakai baju putih dibalut cardigan hitam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Hari ini, dua kali sudah tuhan memberikan kesempatan saya menatap wajahnya. Saat antre absen, saya berpapasan dengannya, juga saat menuju toilet. Mata kami saling menatap, meski selebihnya dia hanya tertunduk dan meninggalkan saya dalam rasa yang tak pasti. Ingin rasanya saya menyapa, tapi hembusan udara ini terasa terbungkus dan tak mengeluarkan apa-apa.

Pukul empat sore saya langsung keluar ruangan, berharap bisa melihatnya. Jarang sekali saya melakukan hal ini, banyaknya pekerjaan membuat saya harus berlama-lama di kantor. Saya sengaja tidak absen dan hanya duduk-duduk di bangku dekat lobi. Lima belas menit berlalu, akhirnya saya menyerah. Pekerjaan masih menunggu saya di ruang kerja. Bukan idealis, tapi saya sadar mungkin belum waktunya bertemu. Biar saya simpan tetesan anggur kerinduan ini yang nantinya akan saya teguk sekaligus.

@ @ @

Pukul tujuh kurang lima belas menit. Sial, saya kesiangan. Beruntung masih ada sisa nasi goreng di dapur. Setelah mandi gaya capung, saya berangkat ke kantor. Cuaca mendung pagi ini, sisa-sisa hujan tadi subuh masih menyisakan becek di jalan. Saya sempat mengurungkan niat ke kantor, tapi hari ini saya ada janji dengan klien. Ini bukan soal integritas diri tapi juga menyangkut perusahaan, dengan berat hati saya memutuskan untuk terus berangkat.

Saya pikir, saya telat. Beruntung jam masih menunjukkan pukul delapan nol-nol yang artinya mepet dengan potongan uang kerajinan. Sumpah, saya memulai pagi ini dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, bangun kesiangan, jalan becek dan berlubang, macet dan hampir saja telat masuk kantor. Belum lagi seabreg kerjaan yang numpuk di meja saya hari ini.

Tapi bukan tuhan namanya kalau tidak punya rahasia dibalik kehidupan ini. Tuhan emang sutradara banget. Sampai di parkiran, masih dengan muka ditekuk saya parkir mobil kesayangan saya. Kesayangan, karna memang satu-satunya yang saya miliki. Saya nggak tahu harus bilang apa, tapi melihat dia membuat suasana hati saya yang mendung kembali cerah.

Hari ini dia mengenakan tangtop kuning dibalut dengan jaket hitam. Sungguh manis dia hari ini. Dan untuk pertama kalinya saya melihat dia menggunakan hight hells, selama ini dia selalu menggunakan sepatu teplek. Ingin sekali saya menegurnya tapi lagi-lagi saya tak mampu, dengan sedikit keberanian, saya melayangkan senyum kepadanya. Senyuman saya disambut hangat olehnya. Sumpah it’s amazing. Tapi saya sadar ini hanya senyuman biasa, bukan senyuman seorang kekasih. Kenyataan ini menampar keindahan saya hari ini. Speachless...

Saya sadar, ini semakin konyol saja. Membuat saya menjadi semakin gila, tapi bukankah cinta dapat merubah apa saja. Hahaha... Sumpah, seumur hidup, Saya merasa baru kali ini begitu melankolis dalam hal jatuh hati, biasanya saya cuek dan santai tapi ini beda, saya sendiri nggak tahu apa yang beda. Mungkin sudah saatnya kekonyolan ini saya sudahi. Sudah waktunya saya memberanikan diri. Sudah waktunya saya menyatakan perasaan saya. Ditolak bukan masalah. Bukankah mencintai dan dicintai dua hal yang berbeda. Lantas apa masalahnya jika cinta itu memang tidak bersambut.

Sore ini, saya akan bilang padanya bahwa saya suka. Mungkin saya tolol, bagaimana bisa orang yang tidak pernah saling berbicara satu patah kata pun bisa saling jatuh cinta. Tapi saya memilih menjadi tolol, ketimbang hidup dalam kebohongan dan tak pernah mengakui cinta itu ada. Titik..