Dear Nadd...
Mungkin kamu heran, dari sekian banyak cara untuk kita berkomunikasi, saya memilih surat. Padahal dibutuhkan waktu satu-dua hari untuk mencapai rumahmu. Mungkin saya terlalu jenuh dengan telepon, sms, chatting dan BBMan.
Kemarin saya ke rumah, maaf ga bilang, mama juga teleponnya dadakan. Mama bilang Nisa kangen sama saya, kebetulan saya sedang meeting di luar jadi saya sempatin mampir ke rumah kamu. Adik semata wayang kamu (calon adikku juga) itu emang selalu ngangenin, ga heran kalau saya langsung datang pas mama telepon.
Pas saya pamit, mama tanya tentang high heels kamu, mama bilang semua high heels koleksimu sudah kamu berikan ke sepupu-sepupu kamu. Saya speachless ga tau harus jawab apa. Saya ngerasa ada yang ganjil, kenapa untuk satu hal ini kamu nggak cerita apa-apa. Saya ga nuntut kamu untuk cerita semua hal, tapi bukankan sudah berkomitmen untuk saling terbuka. Saya pamit dengan sebuah pertanyaan yang belum terjawab.
Malamnya, saya berpikir bukan tentang high heels kamu tapi tentang sikap diammu. Saya merasa masalah itu bukan pada diri kamu, bukan karena kamu jenuh dan ingin merubah penampilan. Tapi karena saya.
Saya tahu, kamu berusaha menyesuaikan diri dengan saya. Pasti ga mudah untuk meyakinkan orang-orang di sekelilingmu bahwa pacarmu secara pisik lebih rendah dari kamu.Tapi apakah harus membuang apa yang kamu sukai bertahun-tahun hanya demi saya.
Buat saya ga masalah kalau harus jadi bahan cengan teman-teman, saya juga ga keberatan mendapat tatapan aneh dari teman-teman kamu. Masalah buat saya, ketika kamu harus jadi orang lain untuk bersama saya. Saya ga menuntut apa-apa. Saya mencintai kamu bukan karena kesempurnaan, sampai kapan pun selalu ada perbedaan.Untuk bersama saya, kamu ga perlu melakukan hal itu. Cukup jadi diri kamu
Terima kasih sudah menyesuaikan diri dengan saya.Terima kasih sudah menerima saya apa adanya. Terima kasih dan terima kasih..
Warm Regards,
Badru Alwahdi.

Nggak heran jika banyak orang yang akhirnya kalah dengan pikirannya sendiri. Ketakutan kerap kali muncul dalam pikiran dan membuat rencana manis gagal barantakan. Pikiran sudah mempredikasi apa yang terjadi di masa depan, sudah mengkalkulasi apa yang belum dilakukan. Hidup tak bisa dikalkuasikan, ia bukan barang mati, selama masih bernafas selalu ada yang terjadi. Tak bisa diprediksi.

Hal itu yang saya alami saat ini. Beberapakali saya melewatkan interview dari sebuah perusahaan besar di Jakarta. Dengan alasan yang sangat sederhana, ”takut nggak cocok” saya melewatkan kesempatan itu begitu saja. Padahal kita nggak pernah tahu cocok atau tidak sebelum mencoba.

Ketakutan terbesar dalam hidup saya adalah membayangkan kerja dengan busana formal. Memakai kemeja, celana bahan dan sepatu pantofel. Belum lagi harus duduk di depan komputer dari pagi sampai pulang, satu-satunya penyelamat hanyalah istirahat. Terbiasa bekerja dengan setelan santai membuat saya risih jika harus berpenampilan rapi. Sayangnya interview datang dari perusahaan-perusahaan yang mengharuskan saya bergaya formal.

Saya coba merenung, merunut kembali alasan saya resign dari perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya. ”saya ingin mencari pengalaman baru-titik”. Seharusnya dengan alasan itu saya tak perlu khawatir bekerja di perusahaan apa dan posisi apa. Semakin besar kesulitan yang harus dihadapi akan semakin kuat seseorang menghadapi hidup.

Dari situ saya mulai berpikir untuk keluar dari kungkungan pikiran yang membelenggu saya selama ini. Saya tidak tahu pekerjaan yang benar-bener saya banget. Selama ada kesempatan untuk mencari, saya kan mencari. Saya tak lagi peduli soal formal atau nonformal. Lapangan atau site kantor. Media atau bukan. Pengalaman yang akan menentukan nyaman atau tidak. Saya banget atau bukan.

Saya semakin bersemangat untuk menyambut hari esok. Selamat datang interview, selamat datang pengalaman baru dan selamat tinggal ketakutan….

Sehebat apa pun seseorang, sekuat apa pun dia, putus-selalu menyisakkan rasa sakit. Rasa pahit, melebihi pahitnya meneguk kopi tanpa gula. Kamu tak menemukan Aroma kenikmatan di sana, yang tertinggal hanya luka, menggores kaca hati yang selama ini kamu jaga sangat hati-hati.
Entah mengapa kamu selalu membuka facebooknya, melihat statusnya, dan melihat komen-komen tentangnya. Kamu juga melihat tweetnya, hanya untuk memastikan apakah dia bahagia atau terluka.
Menemukannya bahagia, kamu marah. Ada rasa kecewa mengetahui dia bahagia tanpamu. Kamu ingin dia terluka, menyesal telah meninggalkanmu, dan berharap dia bersujud-sujud memohon kembali padamu. Nyatanya tidak, dia bahagia selepasmu, kamu yang sakit tanpanya.
Kamu ingin dia sendiri, tak terikat dan menggantungkan hatinya pada siapa-siapa. Kamu ingin dia merasa kehilanganmu, melepaskanmu dari hatinya pelan-pelan, dengan begitu kamu merasa dihargai, merasa pernah dimiliki.
Tak terhitung betapa banyak air mata yang kamu tumpahkan untuknya. Tak terhitung lagi berapa jumlah tisu yang kamu pakai untuk menghapusnya. Jutaan detik kamu relakan terbuang sia-sia untuknya. Hanya untuk melihatnya terluka, menangis dan menyesal.
Kamu tak bahagia. Dia, yang kamu harapkan terluka malah bahagia. Dia, yang setiap detiknya kamu caci malah tersenyum gembira. Dia, yang setiap waktu kamu hujani sumpah serapah malah tertawa. Tapi lihatlah kamu, tak ada yang kamu dapat kecuali luka.
Saya takberharap kamu memaafkannya, karena saya tahu kamu begitu terluka. Saya juga tak memintamu untuk terus menyimpannya, Karena itu membuatmu semakin terluka. Saya tak meminta apa-apa, sebagai sahabat saya hanya ingin kamu bahagia.
Curhat dari sahabat, 15,48/150911

Barangkali memang tidak semua hati memiliki pintu. Maka mengetuknya berkali-kali, Hanya akan akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. –Adisti-

Saya menanti dengan intuisi. Meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja. Memastikan dia akan datang dan membawa hati yang pernah saya titipkan untuknya. Intuisi tak selalu benar, bisikan-bisikan halus seringkali menyesatkan.

Terlalu berisiko menitipkan hati pada seseorang, bisa saja dia meletakannya di laci pojok rumahnya, mengunci rapat-rapat lalu membuang kuncinya.

Tapi juga terlalu berisiko tidak menyerahkannya pada siapa-siapa. Ia ingin berlabuh, menikmati hempasan ombak dan tajamnya kerikil karang. Ia ingin terombang-ambing hingga saatnya tiba ia kan berakhir di tepian. Membuat hidup lebih berwarna, tak datar-datar saja.

Ada banyak jalan untuk seseorang pulang. Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan. Tapi benarkah ia ingin pulang dan mengembalikan titipan hati itu atau justru pergi dan membuangnya.


Untuk kesekian kalinya saya mempertanyakan hal ini, apa impian saya? Sejak lama saya mempertanyakan ini, hasilnya nihil, saya tak menemukan jawaban apa-apa.
Teman dan sahabat saya bilang ”mungkin belum nongol du, nanti juga muncul”, ”impian lo tuh ada di depan mata, sayang aja mata lo belum kebuka”, ada juga yang bilang gini ”ngapain ngeributin mimpi, mimpi itu bakal ilang saat lo bangun. Jalanin apa yang lo suka- titik”.
Setelah lulus kuliah dan memasuki dunia kerja, pertanyaan itu muncul lagi, bekerja sesuai mimpi atau sekedar alat menyambung hidup. Ironisnya, saya menjalani pilihan yang kedua. Setelah mengubek-ubek hati dan jiwa tentang impian, saya tak juga menemukan jawaban, hal yang paling realistis buat saya adalah kerja apa saja, sekedar menutupi status pengangguran. Meski pada akhirnya saya harus berpindah dari satu kantor ke kantor lainnya karena nggak betah dengan pekerjaannya.
Bertemu dengan teman-teman kuliah dan SMA, sekedar temu kangen dan kongkow-kongkow selalu saja bergesekan dengan hal yang berbau pekerjaan. Hal yang satu ini rasanya sulit sekali keluar dari topik pembicaraan, selalu saja ada yang menyinggung. Dan tiap kali bersentuhan dengan hal ini, ujungnya hanya satu ”kemapanan”.
Sayangnya muara dari kemapanan itu adalah ”materi”, seberapa banyak kah materi yang kamu hasilkan dari pekerjaanmu selama ini. Dan tiap kali ditanya mengenai hal itu, saya speachless, nggak tahu mau ngomong apa.
Sampai sekarang saya suka geli kalau memikirkan hal ini, barometer hidup cuma diukur lewat materi. Bukan saya munafik, saya juga butuh uang. Tapi persoalannya bukan butuh atau tidak butuh tapi prioritas mana yang mau diambil. Rasanya sayang kalau hidup ini cuma untuk menumpuk uang.
Saya mempunyai beberapa teman yang mendedikasikan hidupnya bukan sekedar mencari uang. Selepas SMA, Mereka mengajar di sekolah-sekolah yang masih minim sarana pendidikan dan tenaga pengajar. Gaji yang mereka terima sangatlah terbatas, jauh dari kata cukup.
Hal yang membuat saya kagum, ketika mereka bilang “saya nggak terlalu memikirkan uang Du, semua pasti ada jalannya. Masa selama lima tahun mengabdi tidak ada satu atau dua jam yang lahir dari keikhlasan. Dan masa pengabdian ini tidak membekas apa-apa dalam diri saya, ga ada yang sia-sia Du”.
Saya memang tidak tahu apa impian saya, bahkan sampai saat ini saya nggak tahu harus mengejar apa. Tapi kalau dengan alasan itu saya harus banting stir dan bekerja hanya untuk mengejar materi, lebih baik saya tidak bekerja dan menjadi pengangguran. Karena itu, seringkali saya berpindah tempat kerja karena alasan tak nyaman, bukan saya banget. Meski orang tua dan temen-temen kompalin karena gaji yang saya dapatkan sangat lumayan untuk seorang fresh graduate.
Mungkin ini pilihan bodoh atau nekat, tapi saya bilang sama diri saya sendiri: lima tahun ke depan, saya ingin mencari jati diri saya, mencari pekerjaan yang saya banget, nggak peduli seberapa besar gaji yang saya dapat kalau nggak nyaman saya akan keluar. Kalau setelah lima tahun tak juga menemukan hal yang saya cari, saya akan memikirkan ulang, untuk terus maju atau banting stir. Saya selalu percaya, nggak ada yang sia-sia.
10:17/060911