Aku melihat hujan turun dan berharap kamu seperti itu. Tetapi kamu bukan hujan, yang bisa kapan saja datang tanpa harus ada mendung sebelumnya.

Hari ini aku menunggumu di taman kota. Aku akan datang pukul 15:15, hingga kamu datang atau hingga aku lelah dan menyerah untuk pulang. Tak ada yang spesial dengan pukul  15:15, kecuali perjumpaan kita dan serentetan pertemuan-pertemuan yang berlanjut setelahnya. Tak ada yang menjadikan itu tanggal spesial, kecuali diriku yang memang sangat menyukai hal-hal detail. Hal yang sering kamu anggap remeh tetapi memberi kesan mendalam buat diriku.

Aku memasukkan iPhod, charger portable dan sebuah novel. Menunggumu bukan pekerjaan mudah. Menunggumu selalu menguras energiku. Menungumu bukan sebuah kepastian dan terlalu banyak yang harus dipertaruhkan. Mungkin kamu berfikir berdiam diri menunggu seseorang adalah pekerjaan mudah.  Sekali, iya. Tapi jika berbulan-bulan dan kamu masih harus menunggu untuk hal yang seharusnya bisa dirubah, itu tak lagi mudah.

15:14, kurang satu menit ketika tubuhku jatuh di bangku taman ini. Mengeluarkan iPhone dan membiarkan suara Chris Martin mengalun. Tadi siang aku membuat playlist lagu yang akan kudengarkan sambil menunggumu. Hari ini aku memutuskan untuk mendengarkan coldplay dan secondhand serenade.

Adzan mengalun pelan, tertutup bisingnya suara kendaraan. Pukul 18,05 dan kamu tak juga menampakkan diri. Aku merogoh memo kecil yang selalu kubawa. Menuliskan sesuatu untukmu, mungkin untuk terakhir kalinya. Meletakkannya di atas bangku tempatmu biasa duduk.  Jika kamu datang, kamu akan melihatnya . Kalau pun tidak,  bukan hal penting yang harus kamu tahu.







“Maaf, jika setelah kita berpisah aku menarik diri. Aku butuh waktu untuk menerima keadaan ini. Semua terjadi begitu cepat, aku marah, kecewa dan patah. Kalau kamu butuh bantuan apa pun, just let me know yah. Aku akan bantu sebisa aku.”

itu sederet kalimat yang kukirimkan melalui WhatsApp. Aku tak menunggu balasan dan memang tak butuh jawaban. Aku hanya ingin kita berdamai. Mungkin tak sebaik dulu dan memang sulit untuk mengembalikan keadaaan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Mungkin kita bisa mengobrol hal-hal kecil, seperti apa kabar atau sudah makan. Selama tak menyentuh masa lalu dan menyinggung urusan asmara, dawai pertengkaran tak akan bergetar.

Aku takut dia salah paham. Aku takut sikapku yang berubah cuma usaha untuk  membuatnya simpati dan mengajaknya kembali menjalin hubungan. Aku takut dia berpikir aku sedang ingin merusak hubungannya dengan pacar barunya. Aku mencoba mengiriminya pesan melalui WhatsApp sekali lagi.

“Masa lalu kita memang tidak baik, bahkan kita berpisah pun bukan dengan cara yang baik. Tapi kalau kita tahu bahwa hubungan ini akan berakhir, masing-masing dari kita  mungkin tidak akan pernah mau memulai. Tapi bukankah kita hanya manusia. Aku hanya ingin berdamai dengan masa lalu. Sungguh tidak ada alasan sedikit pun untuk memintamu kembali. Aku hanya ingin bilang, meski banyak luka yang kita terima tapi kita pernah merasakan satu moment penuh bahagia. Itu cukup untuk membuat kita berhenti membenci.”