Aku sengaja tak menuliskan apa pun dalam pesan singkat yang kukirimkan kepadamu selain kata ‘semoga’ agar kamu mengisi sendiri harapan dan impianmu. Aku tak ingin menjadi manusia sok tahu yang mampu memprediksi apa yang akan membuatmu bahagia dan apa yang membuatmu bersedih. Aku juga tak pernah benar-benar tahu, apa yang kamu inginkan atau tidak dan apa yang paling kamu butuhkan untuk segera tercapai. Karena itu, kutuliskan kata ‘semoga’ agar kamu bisa mengisi sendiri sesukamu dan aku akan mengamini setiap kata yang kamu tuliskan.

Aku tak mengucapkan ‘semoga kamu panjang umur’. Karena tak semua manusia suka berumur panjang dan mungkin kamu salah satunya. Toh, kamu pernah mengatakan, hidup lama tak menjamin seseorang bahagia bahkan risiko ditinggalkan lebih besar. Tapi hidup singkat pun tak menjamin kamu bisa berarti untuk dirimu dan orang lain.

Aku tak mengucapkan ‘semoga kamu selalu bahagia’. Kamu mengatakan, sesuatu itu berharga ketika memiliki batas dan bahagia terusmenerus hanya akan menjadi sesuatu yang menjemukan kemudian memuakkan. Bahkan, kata ‘selamanya’ yang terkesan begitu lama pun memiliki batas. Ketidakbahagiaan bukan sesuatu yang kamu takutkan tetapi sesuatu yang justru kamu butuhkan.

Aku tak mengucapkan ‘semoga semua  impianmu tercapai’. Kamu tahu, ada halhal di dunia ini yang dibiarkan terus menggantung tanpa pernah kita capai, itu agar kamu terus berusaha dan berdoa untuk mewujudkannya, lalu bersyukur karnanya. Karena halhal yang tak mampu kamu capai justru menjadikanmu manusia seutuhnya.

Aku tak mengucapkan ‘semoga kamu tambah dewasa’. Sampai hari ini kita masih mempertanyakan, apakah kita termasuk orangorang yang dipaksa  menjadi dewasa atau memutuskan sendiri untuk belajar dewasa. Dan pada saatnya nanti, mungkin kamu akan menjawabnya. Jadi kubiarkan kata 'semoga' tetap menganga dan menunggu kamu bubuhkan sesuatu setelahnya.

Maka, kubiarkan kata ‘semoga’ itu tetap kosong, agar kamu tentukan sendiri apa yang menurutmu baik. Dan apa yang menurut tuhan baik, biarkan itu menjadi urusan tuhan dan kamu tak perlu mencampurinya. Tuhan punya cara tersendiri  dalam melihat sesuatu. Kamu tidak ditakdirkan untuk memikirkan apa yang menjadi urusan tuhan.  Maka berjalanlah sesukamu dan berhentilah sesukamu.


Sepagi ini mengingatmu;
Aku terbangun dari tidur yang kosong. Aku manusia pemimpi tapi tak pernah bermimpi ketika tidur. Hanya halhal tertentu yang hadir dalam mimpiku, sebuah dorongan kuat bernama rindu dan itu kamu.

Sepagi ini mengingatmu;
Aku enggan mencuci muka, membiarkan lekukanlekukan bekas bantal menempel di wajahku. Aku hanya menggosok gigi pada pagi hari dan hari ini aku urungkan. Karena sepagi ini, aku melihatmu dalam cermin yang terpajang di kamar mandi.

Sepagi ini mengingatmu;
Aku menyeduh segelas kopi hitam lalu memilahmilah lagu untuk menemani segelas kopi dan berbatangbatang rokok.  Aku selalu menghirup aromanya sebelum meneguk, lalu wajahmu terlihat di sana dan aku meletakkan kembali tanpa mencoba seteguk pun.

Sepagi ini mengingatmu;
Aku menjauhkan gelas kopi itu lalu menyulut sebatang rokok. Kepulan asap yang keluar dari mulutku membentuk wajahmu. Aku menghisap dan menghembuskannya berkalikali, agar asapnya tak lagi membentuk wajahmu. Tetapi semakin banyak kepulan asap yang keluar, semakin jelas wajahmu terlihat.

Sepagi ini mengingatmu;
Aku menenggak dua puluh lima obat tidur sekaligus. Aku ingin tidur panjang, karena dengan tertidur aku tak akan melihatmu dan ketika tertidur aku (berharap) tak bermimpi tentangmu.




Benar atau salah sebuah keputusan, dunia tidak akan baikbaik saja

Hampir semua manusia mungkin pernah berada di posisi harus memilih, memilih jalan yang terbaik menurut versinya masing-masing. Ketakutan akan kegagalan dan salah dalam memutuskan sebuah pilihan tentu menjadi pertimbangan ketika harus memilih. Dan kita tak punya refensesi dari masa depan apakah sebuah pilihan yang kita ambil itu benar atau justru menjerumuskan ke jurang kegagalan.

Apa yang salah jika ternyata keputusan yang kita ambil kemudian hari itu salah. Dan apakah dengan mengambil sebuah keputusan yang di kemudian hari kita anggap benar membuat hidup kita baikbaik saja.

Benar atau salah sebuah keputusan, tidak lantas membuat hidup kita baik dalam segala hal. Pada satu hal kita akan merasa beruntung telah mengambil sebuah pilihan yang tepat tetapi pada pilihan-pilihan lainnya, kita juga berkesempatan untuk gagal dan salah. Dan ketika mendapati sebuah pilihan kita salah apakah dunia lantas menjadi buruk, buat saya tidak selalu. Karna terkadang kita lebih belajar banyak dari sebuah kegagalan.

Pola “Seharusnya”

Seringkali kita memandang hidup dengan pola “seharusnya”. Seharusnya kita bisa memilih yang itu dan bukan yang ini. Seharusnya kita bisa sukses jika tidak salah melangkah.  Seharusnya kita bisa lebih aman dalam segi financial jika memilih pekerjaan yang itu, bukan yang ini. Seharusnya kita bahagia jika menjalin sebuah hubungan dan bukan justru terluka.

Tetapi hidup tak berjalan dengan pola “seharusnya”. Ada berbagai kemungkinan yang selalu hadir dalam pilihan-pilihan yang kita buat. Dan pola “seharusnya” akan berbenturan dengan kenyataan yang mau tak mau membuat kita harus siap menghadapinya. Jika kita hanya berfikir dengan pola “seharusnya” kita akan berhenti belajar dan berharap hidup seindah yang kita bayangkan.

Saya membayangkan, jika berada pada pilihan untuk memilih sebuah pekerjaan di salah satu Bank Ternama dengan gaji yang cukup besar atau memilih bekerja di sebuah penerbitan buku dengan selisih gaji yang cukup jauh dari tawaran bank tersebut. Saya tidak dapat menyimpulkan bahwa bekerja dengan gaji yang besar adalah sebuah keputusan yang tepat. Tetapi saya juga tidak dapat menyimpulkan bahwa bekerja di dunia kreatif (penerbitan) meski dengan gaji yang lebih kecil membuat saya lebih nyaman.

Buat saya, kedua tempat itu memiliki porsi yang sama untuk menimbulkan ketidaknyamanan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kedua-duanya menjadi tempat singgah sementara.

Apakah saya akhirnya hanya membuang-buang waktu jika salah memilih tempat? Saya rasa tidak.  Apa pun keputusan yang saya ambil, baik itu benar atau salah, saya merasa belajar di dalamnya. Lalu apakah dunia baik-baik saja jika pilihan saya tepat, saya rasajuga tidak. Kita akan terus berproses dan akan dihadapkan pada pilihan-pilihan lain dari hidup. Dan apa yang telah kita pilih menjadi bahan pertimbangan ke depannya.


Aku menyulut rokok untuk ketiga kalinya. Kopiku masih tersisa sedikit, cukup sekali teguk dan kandas. Smoking room di Area 51, yang terletak di Mall Selatan Jakarta ini mulai ramai oleh pengunjung. Besok hari libur, tentu sangat disayangkan jika pulang terlalu cepat. Banyak yang ingin menghabiskan waktu untuk bersantai, mengobrol bersama pacar atau sahabat bahkan sekadar melamun melepas penat setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan serta macet yang menjadi nama belakang dari Kota Jakarta.

Lagu someday dari Nina mengalun pelan dari telpon genggammu, menandakan panggilan masuk. Secepat mungkin kamu mengangkatnya, berbicara dengan suara seperti berbisik. Beberapa kali kamu mengangguk, menundukkan kepala. Sebenarnya aku agak cemas melihat ekspressi wajahmu  tapi aku memutuskan untuk diam dan memerhatikan saja sambil menghabiskan batang rokokku yang ketiga. Berakhirnya rokokku yang ketiga berakhir pula perbincanganmu di telpon.

“Kenapa?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tidak bisa ditahan lagi.

“Pulang yuk, Mama sakit lagi,” katamu pelan. Ada bulir kecil yang menggelantung di sudut matamu namun sebelum jatuh kamu menyekanya dengan tangan kananmu.

Aku bergegas mencabut telpon selulerku yang sedang di-charge. Memasukkan bungkus rokok ke dalam saku celana dan menenggak habis kopi yang memang tersisa untuk satu kali tegukan. Aku berjalan di sampingmu, menggenggam erat tanganmu mencoba menguatkan. Sesampainya di pelataran parkir, aku memakaikan helm untukmu.

 “Nanti nganternya sampai gang rumah aja,” katamu sambil memakai jaket.

“Kenapa gak sampai rumah aja sih, kamu kan harus buru-buru sampai rumah. Belum siap juga kenalin aku sama keluargamu”

“Terserah kalau kamu mau marah tapi aku gak mau ribut. Mama sakit dan kamu masih juga egois memikirkan diri kamu sendiri. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas hal ini” katamu dengan nada meninggi.

“Aku tau ini kedengarannya egois, tapi sampai kapan Nis kita harus backstreet terus. Sampai kapan kamu siap bilang ke keluarga kamu kalau kamu sudah lama putus sama Randy. Gak salah kan kalo aku ingin deket sama keluarga kamu. Nemenin mama kamu di rumah sakit. Gak salah kan kalau aku juga peduli sama keluarga kamu.”

“Kamu mau anter aku pulang atau gak? Kalau gak, aku bisa naik taksi. Aku gak mau kita bicara apa-apa sampai mama sembuh”

Aku menyalakkan motor, mengantarkannya pulang ke rumah, tepatnya gang rumahnya. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat tapi sampai kapan waktu yang tepat seperti yang selalu kamu bilang akan datang. Bahkan, setelah dua bulan berpacaran aku masih ragu kalau Anis sudah benar-benar lepas dari bayangan Randy. Menyedihkan memang, tapi tetap tak adil memaksakan sebuah pecakapan dalam kondisi seperti ini.

Mungkin Anis ingin fokus pada kesembuhan mamanya atau Anis memang belum bisa melupakan mantannya. Kemungkinan kedua terasa lebih menyakitkan. Tapi aku percaya, yang kita butuhkan hanya proses penerimaan. Dan untuk itu, aku menawarkan sebuah cinta setiap harinya dan kamu dapat mengambilnya kapan saja. Kapan saja. Kapan saja. Kapan saja.


*Mungkin banyak yang mengalaminya, mungkin juga tidak. Tetapi untuk sesuatu yang laik diperjuangkan, dibutuhkan sebuah cinta yang besar. Dan itu harus ditawarkan setiap harinya.





 Pernah kah kamu menunggu seseorang yang tidak pernah akan kembali, karena tuhan telah menjemputnya lebih dahulu daripada kamu.




Lelaki itu duduk di sebuah rumah makan khas sunda yang terletak di pinggir jalan gang rumahnya. Dia tidak sedang menyantap makanan, dia hanya duduk-duduk di luar rumah makan itu sambil memerhatikan setiap mobil yang berhenti, berdiri, menatap satu-persatu penumpang yang turun, lalu duduk kembali. Dia selalu mengenakan jaket yang sama setiap kali duduk di situ, jaket hitam bertuliskan salah satu bank ternama. Tangan kanannya menggenggam payung berwarna senada dan logo yang sama, mungkin hadiah satu paket, hadiah dari hasil menabungnya bertahun-tahun.

Lelaki itu terus duduk di sana, berdiri setiap kali ada angkutan umum berhenti, memerhatikan penumpang yang turun lalu duduk kembali. Hingga datang seseorang menjemputnya, mengajaknya pulang sambil membuka payung untuknya. Payung itu harus dibentangkan meski hujan tak lagi menitikkan bulir-bulir kecilnya ke bumi. Dia akan tetap diam dan tidak beranjak dari duduknya jika payung di tangan kanannya tak dibentangkan. Dia tak perlu rayuan, dia hanya perlu payung itu terbuka, hanya itu dan dia akan pulang.

Orang-orang di rumah makan itu sudah terbiasa dengan keberadaannya dan tak ada satu pun dari mereka merasa terganggu dengan kehadirannya. Lagi pula lelaki itu hanya duduk dan diam, tidak menggangu siapa pun termasuk pengunjung  yang ingin makan di warung itu.

Ada masa di mana lelaki itu menangis, menundukkan kepala dan bergumam. Itu saat di mana air yang ditampung oleh awan tumpah ke bumi. Mulutnya terus berkomat-kamit, mungkin sedang melapalkan doa atau sedang mengeja satu nama. Bahkan tukang parkir yang sudah cukup lama melihatnya tak tahu persis apa yang diucapkannya, dia hanya menebak-nebak kalau itu adalah doa untuk seseorang, mungkin untuk istrinya, mungkin juga untuk anaknya.

Melalui seseorang yang menjemputnya akhirnya diketahui bahwa lelaki itu menunggu istrinya. Menunggu seseorang yang tidak akan pernah kembali dalam hidupnya. Bukan karena istrinya kabur dari rumah meninggalkan dia untuk orang lain, bukan juga karena pertengkaran hebat yang membuatnya tak nyaman lagi  tinggal bersama dengan lelaki itu. Tapi karena perempuan yang ditunggunya sudah pulang lebih dahulu menghadap tuhan tiga tahun lalu.

Sore itu, hujan begitu deras. Dengan kondisi tubuh yang tidak terlalu baik, lelaki itu memutuskan untuk tak menjemput istrinya di swalayan yang sedang berbelanja. Tetapi dia memastikan untuk menjemputnya di pinggir jalan gang rumahnya. Hujan masih saja deras dan dia menumpang berteduh di rumah makan itu. Hingga adzan maghrib berkumandang, peremuan yang ditunggunya tak kunjung datang. Dia mencoba menghubunginya tetapi tak ada jawaban. Hingga sirine ambulan lewat di hadapannya, membawa tubuh istrinya yang terbujur kaku karena kecelakaan saat hendak menaiki angkutan umum di depan swalayan.

Sejak saat itu dia mengutuki dirinya, menyesali diri karena tak menjemput istrinya di swalayan.  Andai saja dia tak terlalu egois untuk memikirkan kondisi tubuhnya dan menjemput istrinya, mungkin keadaan akan jauh berbeda. Mungkin dia masih bisa berkumpul bersama sitri dan kedua anaknya. Menikmati sore sambil berkejaran dengan cucu semata wayangnya. Itu yang selalu dipikirkannya.

Hingga suatu sore dia terbangun, lalu mengenakan jaket hitam berlogo bank ternama dan payung hitam berwarna senada untuk menjemput istrinya. Sejak sore itu dia lupa bahwa istrinya telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Yang dia tahu, istrinya akan pulang belanja dari swalayan dan dia berjanji untuk menjemputnya.

Dan lelaki itu adalah ayahku, yang menunggu ibuku pulang sejak tiga tahun lalu.




Aku mengecek satu-satu benda dalam tasku, memastikan tidak ada yang tertinggal. Surat lamaran, foto kopi Ijazah, foto kopi transki nilai, foto Kopi Kartu Tanda Penduduk dan pas foto ukuran 4X6. Jas hujan sudah kulipat dan turut kumasukkan ke dalamnya, bagasi motorku terlalu sempit dan hanya cukup untuk memuat sepasang sandal jepit serta kanebo. Aku menyemprot beberapa bagian kemejaku dengan parfume, mematut sebentar di depan cermin lalu menuju kamar tidur utama, kamar tidur orang tuaku untuk pamitan ke mama.

Mama jatuh sakit seminggu lalu yang mengharuskannya dirawat di rumah sakit. Itu pun kami harus berembuk dahulu karena pada saat yang bersamaan ayah jatuh sakit. Ingin sekali aku memaksa kakakku untuk merawat keduanya, tetapi kondisi kami tak memungkinkan. Meminjam uang? Itu sudah kami lakukan berkali-kali, bahkan sampai saat ini kami hanya mampu membayar setengahnya. Uang tabunganku sudah ludes sejak dua bulan menganggur dan sebagian lagi untuk menutupi biaya kuliah adikku. Mengandalkan kakakku tentu tak mungkin, gajinya sebagai seorang guru sudah tersedot banyak untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi biaya kebutuhan keluarga kecilnya, tentu sangat egois jika memaksanya untuk menanggung seorang diri.  Namun Ayah memastikan dirinya baik-baik saja dan memintaku untuk menyewa angkot lalu mengantarkan mama ke rumah sakit.

Setelah menyepakati jadwal jaga rumah sakit antara aku, kakak dan adikku, aku pulang ke rumah. Mencari BPKB motor, mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan sekadar untuk menutupi biaya rumah sakit.  Menjaminkan BPKB  adalah pilihan terakhir, aku tak punya apa-apa untuk dijual. Aku melakukannya tanpa sepetahuan mereka, yang pasti akan melarangku karena aku membutuhkan motor untuk mencari pekerjaan baru.

Kini mama hanya mampu terbaring di atas kasur. Mama hanya bisa tersenyum saat aku mengecup kening dan punggung tangan kanannya. Ada buliran kecil yang menyembul di sudut mataku, tapi secepat mungkin aku berpaling dan menghapusnya. Ada perasaan sakit yang begitu dalam ketika melihatnya hanya mampu terbaring di atas kasur. Menikmati hidup hanya dalam lingkup yang sangat terbatas. Ada benda tajam yang terasa begitu menusuk hatiku saat melihatnya tak mampu mengejar cucu semata wayangnya.

Aku melajukan motor adikku perlahan, lalu memutuskan berhenti di sebuah warung kopi. Memesan secangkir kopi hitam dan menyalakkan sebatang rokok.  Hari ini tak jadwal panggilan kerja, aku membohongi mama agar aku bisa melihatnya tersenyum. Jika tuhan ingin menghukumku karena telah berbohong kepada mama, aku siap. Tidak ada yang lebih berharga selain melihat orang yang paling kamu sayangi dalam hidup ini tersenyum dalam pesakitannya. Dan jika aku harus menebusnya dengan neraka, maka aku mengikhlaskannya.

Semoga cepat sembuh Mama...