“Mau nyerah lagi sama bosan?” katamu sambil memutar-mutar sedotan dalam gelas es teh manismu. Matamu tertuju pada gelas di hadapanmu, posisi yang sama seperti tiga bulan lalu saat aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan dengan alasan yang kamu pertanyakan barusan. “Terserahlah, ini sudah enam kali juga kamu lakukan dan tidak ada gunanya berdebat. Toh, kamu juga akan melakukan apa yang kamu inginkan.”

Aku tak ingin menjelaskan apa pun, kamu pasti sudah hapal kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Tidak ada masalah dengan pekerjaan, aku mengerjakannya sebisaku meski aku tahu itu jauh dari kata maksimal. Aku sadar, aku adalah orang yang agak lambat belajar hal baru.  Lelah tentu bukan alasan, bekerja dimana pun selalu melelahkan. Tidak hanya tenaga tetapi pikiran.

Semalam, temanku melontarkan pertanyaan, apa saja ingatan yang paling melekat pada seseorang tentang mantannya setelah mereka putus. Aku tak menggubris pertanyaan itu dan memutuskan untuk pulang lebih awal karena harus menyelesaikan artikel pesanan dari salah satu bank ternama di kota ini.

Aku baru saja menyelesaikan tulisanku pagi ini. Cukup lama aku mengerjakannya, bukan hanya  karena perkara mood, tapi aku perlu reserch sebelum menjadikannya sebuah tulisan yang utuh. Sambil menunggu ngantuk, aku mencatat beberapa hal yang kuingat tentang mantanku pada pagi hari.

Dia selalu menanyakan, tidur jam berapa semalam?
Aku mengatakan belum tidur. Sebagai seorang freelancer, aku lebih sering mengerjakan artikel pesanan pada malam hari dan menghabiskan waktu siangku dengan tidur. Selama jadian, hanya beberapa kali aku mengatakan tidur jam 1 pagi. Itu pun karena esok pagi aku sudah ada janji dengan seseorang dan pagi yang kumaksud selalu di atas pukul 11.00.