Aku meletakkan telpon genggamku. Berbaring di atas kasur tipis yang busanya hampir habis. Mataku menatap langit-langit kamar dan pikiranku menembus batas langit-langit itu, mengantarkanku pada sebuah rumah nun jauh di sana. Melihat perempuan tua sedang menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Aku merindukan masakannya dan segala hal tentangnya. Suaranya yang hanya bisa kudengar melalui telpon genggam sedikit mengobati rasa rinduku. Meski suara tetangga tempat ibu meminjam telpon sempat membuatku kesal karena menutupi suara ibu yang pelan.  “Tenang bu, lebaran kali ini aku pasti pulang,” gumamku.

Sudah dua lebaran aku tidak pulang ke rumah. Lebaran pertama, aku baru lulus kuliah dan belum mendapatkan kerja. Pekerjaanku sebagai pramuniaga di sebuah toko baju tentu saja tak kuhitung, gajinya kecil dan  tabunganku selama bekerja sudah kukuras habis untuk membiayai skripsi dan wisudaku. Bahkan aku tak mampu membelikan ibu tiket untuk datang menghadiri wisudaku. Tapi aku tahu,ibu pasti bangga melihatku menggunakan toga.

 Sedangkan, lebaran kedua aku harus dinas di luar kota. Sebagai anak baru, tentu saja aku harus menuruti perintah atasanku dan mengambil tugas seniorku yang juga ingin pulang dan menemui keluarganya.  Aku sedikit kesal sekaligus bersyukur. Uang dinas keluar kota dan lembur selama ini bisa kutabung dan ketika pulang nanti bisa membawa oleh-oleh lebih banyak untuk keluarga.


Lelaki itu hanya diam ketika melihat perempuan yang paling dicintainya meninggalkannya di teras rumah sendirian. Dia bahkan tak berani untuk memintanya untuk tetap tinggal dan menemaninya mengobrol. Sebenarnya, dia sudah menyiapkan bahu terhangat yang dia miliki untuk perempuan itu bersandar. Dia juga sudah latihan menyela jemarinya dengan tangannya sendiri agar tidak kaku ketika nanti menyisipkan jari-jarinya di jemari perempuan itu. Tapi lelaki itu hanya diam dan hanya bisa menatap punggung perempuan itu dengan rasa penyesalan lalu membiarkan perempuan itu menutup pintu rumahnya.

“Aku bosan menatap bulan separuh,” kata peremuan itu sebelum meninggalkannya. Lelaki itu heran, bagaimana bisa sesuatu yang paling perempuan itu sukai dalam hidup seketika menjadi hal membosankan untuknya. Seperti kamu mencintai seseorang dengan segenap jiwa, namun ketika terbangun dari tidur tidak ada sedikit pun yang membekas. Ia raib begitu saja. Menguap bersama udara.

“Kapan terakhir kali kamu menangis?” kata seorang teman setelah buka puasa bersama di Kedai Kita, Bogor, sore tadi berakhir. Hanya tinggal kami berdua, lainnya sudah pulang dengan berbagai alasan. Ada yang harus pulang cepat kerena kerja shift malam, ada yang harus menidurkan anaknya yang rewel minta pulang dan ada yang ingin menghabiskan malam minggunya bersama pasangannya. Teman saya punya pasangan tetapi memilih untuk menghabiskan waktu bersama saya, mungkin sedang bertengkar, hal itu terlihat dari pertanyaan yang dilontarkan kepadaku barusan.  

Aku hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Aku menyeruput kopi, bahkan saat berbuka puasa pun aku memesan secangkir kopi hitam. Setelah meneguk sedikit, aku mengatakan lupa kapan terakhir kali aku menangis dan perkara menangis bagiku adalah hal yang rumit untuk dijelaskan.

“Aku suka banget menangis,” katanya setelah mendengar jawaban saya yang saya pikir tidak dia simak sedikit pun.


Kepada Malam, saya sering menitipkan pemikiran dan kegelisahan-kegelisahan saya tentang hidup. Tentang pekerjaan, tentang percintaan, tentang apa saja yang membuat dahi saya berkerut dan kembali menyeruput bergelas-gelas kopi hitam dan berbatang-batang rokok. Saya membaginya dengan Malam tanpa menutupi apa pun. Saya menelanjangi diri saya di depan Malam, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan di depan siapa pun.

Kepada Malam, saya sering manghabiskan waktu untuk mengobrol. Meski terkadang saya sibuk menulis, membaca blog orang-orang atau melihat sosial media. Namun Malam tetap menunggu saya menyelesaikan semuanya, lalu menemani saya mengobrol seperti biasa. Kadang hingga pagi tetapi lebih sering hingga jarum jam menyentuh angka 12, karena Malam selalu mengingatkan saya untuk istirahat dan bekerja keesokan harinya.