“Aku akan melamarmu bulan depan,” katamu sambil menggenggam erat tanganku. Aku tetap diam, menunggu kata-kata yang keluar setelah kalimat itu. “Jika projek besar ini kudapatkan, kita akan langsung menikah sebulan setelah lamaran berlangsung.”

Lagi-lagi, aku hanya diam. Tak ada sesuatu yang meletup dalam dadaku. Hatiku tak seperti mercon yang siap meledak, ia seperti petasan di pinggir jalan yang dibiarkan dingin. Kalau pun dibakar suaranya tak lagi nyaring.  Hatiku sepi-sepi saja, tak lagi bergemuruh. Aku tetap tersenyum seperti biasa, seperti manusia kebanyakan yang mendapat kabar gembira. Kamu tentu saja tak dapat membedakannya, mana senyum tulus dan mana senyum dipaksakan. Kamu terlalu sibuk dengan kebahagiaanmu sendiri.

Aku masih diam, mendengarkan semua andai-andai yang kauciptakan. Mendengarkan impianmu membeli rumah setelah menikah,  membangun keluarga kecil berdua tanpa campur tangan orang tua kita. Kamu mengatakan akan pulang lebih awal, tidak lagi menghabiskan waktu bersama teman-temanmu sepulang kantor seperti yang biasa kamu lakukan. Kamu akan bekerja lebih giat,  mengerjakan beberapa projek dalam sebulan agar uangnya bisa ditabung untuk anak kita kelak.  Aku mendengarkanmu dan sesekali bertanya ke hatiku, ‘kenapa aku tak bahagia mendengarnya’.


Aku mengetik tulisan ini tadi malam, selepas kau pulang dari kosanku. Tentu setelah merapikan sisa makanan dan cemilan yang membuat kamarku berantakan. Abu dari rokokmu beterbangan kemana-mana, membuat pekerjaanku bertambah. Mungkin akan kubelikan asbak, jika tidak sempat membelinya kamu akan kularang merokok dalam kamarku atau kusuruh kau berdiri di depan kosanku sambil menghabiskan kesukaanmu itu. Jika kau cukup pintar, bawa atau belilah asbak sendiri agar kau tetap bisa merokok dalam kamarku.

Hari minggu adalah hari yang sibuk untukku. Maka, kukirm pesan untukmu agar kau tak mengeluh.

# Jangan berharap terlalu banyak menghabiskan waktu denganku. Aku bisa memberimu waktu beberapa jam di hari sabtu tapi tidak samasekali di hari minggu. Sebagai wartawan mingguan tentu pekerjaanku lebih banyak dihabiskan di akhir pekan. Ada saja agenda kebudayaan yang harus kuliput dan aku tak bisa meninggalkannya hanya untuk sekadar berjalan-jalan atau ngobrol denganmu.

# Berjalan kakilah. Kamu tidak bosan naik motor atau taksi. Cobalah sekali-kali naik angkot dan berjalan kaki. Duduk di halte menunggu bus, berhimpitan dengan penumpang lain. Berjalan lah lebih banyak, selain menyehatkan, berjalan kaki juga mengasah kepekaanmu. Kamu akan belajar merekam sekitarmu lebih baik.






Setiap manusia bertumbuh, usia salah satu yang tak bisa kita bantah. Dia bertambah sekaligus berkurang secara bersamaan. Bertambah angka dan berkurang jatah hidup.  Ada yang akhirnya menemukan kata nyaman dan memutuskan untuk menetap, ada pula yang akhirnya mencari tempat baru untuk singgah karena belum menemukan apa yang dia cari. Meski dalam hidup, sejuta alasan dapat kita temukan (ciptakan) dan akhirnya menentukan apakah ingin menetap atau pergi.
Saya memutuskan untuk pergi. Memilih peran meninggalkan dan membuat orang lain pada posisi ditinggalkan. Memilih tempat berteduh baru dan memulai sesuatu yang baru. Bukan kata nyaman yang saya cari, saya nyaman berada disini. Hanya saja, saya merasa perlu tempat bermain baru dan menantang diri saya menjadi pemimpin dari permainan itu. Saya tahu, risiko gagal sangat besar tapi kemungkinan saya berhasil juga sangat besar.
Saya tentu bukan teman yang baik. Saya menyadari hal itu. Saya lebih suka menghabiskan waktu untuk menikmati secangkir kopi sendiri atau bersembunyi di balik komputer jinjing sambil mendengarkan lagu. Saya tak tahu masalah apa yang kalian hadapi bahkan tak pernah bertanya tentang kegelisahan yang kalian takutkan.
Semoga, sebelum salam perpisahan terucap kemudian berpisah, saya pernah berbuat baik kepada kalian. Meski hanya satu kali.
Selamat bermain teman-teman...





“Akhirnya kamu menikah juga. Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah dengannya. Setau saya, kamu baru berkenalan beberapa minggu,” kataku pada seorang teman yang akan menikah besok pagi.

“Dia mau sama saya, buat saya itu cukup.”

“Loh, jadi kamu tidak mencintainya?”

“Saya pernah amat mencintai seseorang dan tidak mampu memilikinya. Saat itu, cinta saya mati. Saya tidak bisa mencintai orang lain selain dia. Saya tidak mengatakan tidak bisa hidup tanpa dia, hanya saja, saya tak bisa mencintai orang lain setelah kehiangan dia. Sampai saat ini saya masih hidup, meski tidak baik-baik saja tapi bukankah hidup memang tidak pernah baik-baik saja. Tolong jangan ceramahi saya tentang cinta yang tumbuh dan sebagainya menjelang hari pernikahan saya. Dia sudah lama mati.”

“Ayolah bro, wake up. Kamu yakin bisa jalani rumah tangga dengan dia tanpa cinta. Itu hanya akan menyakiti banyak orang nantinya,” kataku dengan sedikit kesal.

“Terkadang menikah bukan soal cinta saja, bisa saja soal eksistesi. Umurku sudah tidak muda lagi dan aku butuh pengakuan. Dia juga butuh pengakuan, kami sama-sama sadar akan hal itu. Tapi bukankah seseorang bisa hidup dengan orang lain yang tidak dia cintai. Ibu saya dijodohkan dan menikah tanpa cinta. Mereka bisa hidup bahagia.” Katanya datar.

Aku menenggak bir dalam botol, bir yang tersisa sedikit itu, kandas seketika. Dia juga menggak bir miliknya. Kami sama-sama diam. Aku masih memikirkan pernikahannya esok hari. Memikirkan bagaimana dia bisa menjalani biduk rumah tangga tanpa cinta. Jika pada akhirnya mereka menyerah di tengah jalan, tentu bukan hanya dia yang tersakiti tetapi juga pasangannya dan keluarga besar mereka.

Dia menenggak habis bir dalam botolnya. Terdiam dan aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.