Aku sebenarnya enggan untuk menemui temanku di salah satu kafe yang terletak di selatan Jakarta. Meski besok hari libur perayaan natal, aku masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan sampinganku. Mendengar suara tangisnya di telpon, tanpa pikir panjang aku langsung merapikan komputer jinjingku dan menuju kesana.

Disana, aku mendapati dirinya yang sedang tertunduk lesu. Maskaranya luntur dan wajahnya pucat pasi.

“Kenapa dia begitu bahagia,” katanya.

Aku ingin bertanya perihal ‘dia’ yang temanku maksudkan. Tapi kuurungkan, aku menunggu lanjutan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hampir satu menit dia terdiam sejak kalimat pertama keluar dari mulutnya. Kuputuskan untuk menyulut sebatang rokok. Kemudian dia meminta sebatang rokok dan kubantu menyulutnya.



Barangkali, tak semua orang menganggap kita manusia. Kita hanya barang yang dipertaruhkan dan dibuang saat tak lagi layak disimpan.

Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan. Malam itu, aku sedang memikirkan banyak hal dalam hidup. Pekerjaan besar juga menantiku, sehingga kuputuskan untuk menuliskan pesan singkat untuk perpisahan kita pada hari berikutnya, dimana aku sudah tidur seharian dan bisa menuliskannya dengan baik.

Jika kamu berpikir aku akan membencimu setelah kata putus terucap, kamu salah. Aku tentu tak mau membebani hidupku untuk memikirkan satu orang saja. Membenci adalah pekerjaan yang menuntut banyak hal. Menghabiskan waktu untuk selalu menghujat dan mencari cara untuk membalasmu tentu hanya akan membuat hidupku repot dan aku tidak mau melakukannya. Aku juga tak ingin membuang waktu hanya untuk memikirkan seseorang yang hanya memperlakukan orang lain sebagai barang yang bisa dibuang kapan saja saat tak lagi diperlukan.