Ada kalanya, Bapak menjadi sosok yang menyebalkan. Melarang saya melakukan banyak hal yang saya inginkan. menjadi sosok kolot yang menyebalkan. Ada fase dimana kami saling tak bertegur sapa, berbeda pendapat dan merasa benar. Namun tak pernah berlangsung lama, kami akan mengobrol lagi, seperti tidak ada masalah sebelumnya. Tidak ada kata maaf disana, baik saya dan bapak tidak terbiasa mengungkapkan hal itu. Namun kami mengubah sikap masing-masing jika salah satu diantara kami melakukan kesalahan.

Beranjak dewasa, bapak menjadi sosok sahabat. Teman lari pagi, teman menonton bola dan larangan-larangan itu pun berangsur-angsur hilang. Saya diberi kebebasan penuh untuk mengambil sikap, baik salah atau benar di kemudian hari,  itu tak jadi soal.  Baginya, seseorang yang beranjak dewasa harus memikul tanggung jawabnya sendiri atas apa yang sudah dipilihnya. Namun tidak berarti lepas tangan dan meninggalkannya sendirian.

Bulan puasa ini, kami seringkali menghabiskan waktu berbuka dan sahur berdua. Adik saya-yang masih kuliah-seringkali pulang malam, bahkan tidak pulang. Ada semacam kesepatakan yang tertulis antara saya dan bapak. Menjelang buka puasa, bapak akan menyeduh teh untuk kami berdua (bertiga). Saya membeli lontong dan aneka gorengan.  Begitu pun menjelang sahur, bapak akan menyiapkan nasi dan saya menyiapakan lauk. Kami melakukannya tanpa kordinasi atau pembagian tugas. Kami melakukan apa yang kami bisa, yang kami mau.


Ada kalanya, waktu dapat menyembuhkan luka. Entah, apakah waktu memiliki semacam obat penawar dari rasa sakit atau persepsi kita yang berubah seiring berjalannya waktu. Saya tidak condong pada salah satu pilihan. Baik waktu dan persepsi kita mengenai hidup seperti paket, kedua-duanya sudah terbungkus rapi dalam perjalanan hidup.  Memberikan waktu pada diri sendiri, mengambil jarak dari semua kejadian yang membuat hati terluka dan mencoba mencari titik temu dari permasalahan yang ada. Pada akhirnya, saya belajar berdamai.

Saya ingat pertemuan kita terakhir kali. Pertemuan pertama setelah berakhirnya hubungan kita enam bulan lalu. Pertemuan yang tidak direncanakan namun membuat kita berdamai dengan masa lalu. Kamu, masih seperti dulu. Masih seringkali manyun. Meski senyumanmu manis, aku selalu menyukai  manyunmu. Aku sering mengatakannya kepadamu soal itu.

“Apa kamu masih marah?” tanyamu padaku.

Sebuah pertanyaan tanpa basa-basi. Menembak langsung pada permasalahn yang sudah lama kita hindari. Aku terkesiap namun tak betul-betul tak siap.