Saya cukup kaget melihat perubahannya. Entah apa dan mengapa dia berubah menjadi sosok yang lebih serius dari sebelumnya. Apakah hidup yang keras sehingga membuatnya juga menjadi sedikit lebih keras. Kami sudah jarang bertemu, bukan karena masing-masing dari kami sibuk tetapi dia sungguh sibuk dan saya masih tetap bekerja dalam kondisi yang sangat santai. Tidak mau terikat dengn sebuah perusahaan, kalau pun iya, kesepakatan awal, saya hanya ingin bekerja 10 hari dalam satu bulan.

Kami terbiasa bekerja dengan santai, dalam artian tidak terikat oleh tempat dan waktu. Ada fase di mana kami tidak tidur selama satu minggu. duduk di depan layar komputer, menenggak kopi bergelas-gelas dan mengahabiskan beberapa bungkus rokok untuk menyelesaikan proyek penulisan. Ada waktu di mana kami menolak tawaran pekerjaan. berapa pun besar tawaran itu, kami tetap menolak. Kami mencoba mencukupkan diri, tidak ingin hidup melulu tentang kerja dan itu membuat kami lebih menikmati hidup. suatu hari dia menghilang, menghindari kontak dari teman-teman, termasuk komunikasi dengan saya. 

“Gue kayak ketemu astronot, yang ngerakit pesawatnya sendiri untuk bisa sampe ke bulan. Seorang astronot dadakan tapi nekatnya nggak ketulungan. Gue masih berpijak di bumi dan lo udah hampir sampe di bulan. Lo baik-baik aja?” kata saya sambil menyikut sikunya.


gambar dipinjam dari sini


“Kenapa senyum-senyum sendiri, ada yang lucu yah?” tanyanya sambil mencubit pinggangku.
“Nggak, cuma heran aja sih,” kataku
“Heran kenapa?” wajahnya berubah serius. Bantal yang menjadi sandaran punggungnya ditarik, dipeluk. Tubuhnya dicondongkan ke arahku. Bersiap menanti jawaban dari mulutku.
“Kamu sadar nggak sih, kondisi sekarang sangat menyenangkan. Kita bisa tertawa lepas. Membicarakan apa saja, menertawakan apa saja. Nggak ada ribut-ribut, seperti masih pacaran dulu.”
“Iya,” jawabnya sambil tersenyum. Tubuhnya kini disandarkan ke sofa, bantal kecil itu tetap dipeluknya. “Kemasan ini lebih cocok buat kita yah.”






“Aku minta secangkir kopi hitam, Bali-Kintamani yah, di-brew saja,” kata prempuan itu ketika aku berdiri di hadapannya.
Sebelumnya dia melambaikan tangan ke arahku, kupikir meminta bill dan berniat membayar minumannya.  Segelas kopi Toraja Kalosi yang dipesannya sudah habis. Aku mengurungkan untuk memberikan bill namun tak ingin memenuhi pesanannya. “Sudah mau tutup Mba, last order pukul sembilan tadi,” kataku. Teman-temanku, satu orang barista dan dua orang waiters sedang merapikan bagian kafe yang diperuntukkan bukan untuk perokok sedangkan area untuk perokok belum kami rapikan, menunggu satu-satunya pelanggan-perempuan di hadapanku-pergi.
Tamu adalah raja, begitulah aturan yang berlaku dalam bisnis kuliner, tak terkecuali bisnis kopi. Aturan yang kadang merenggut sedikit waktu kami. Kejadian seperti ini tentu bukan pertama kali terjadi sejak setahun lalu aku membangun kedai kopi. Aku memberikan sedikit waktu untuk mereka meninggalkan kedai kami tanpa harus memaksanya keluar. Sebuah paksaan akan meninggalkan kesan buruk dan membuat pelanggan enggan datang kembali ke kedai kami.