“Aku bukannya nggak sayang sama Mama, justru aku ingin  ada yang mengurusnya dengan baik.”
“Kalau kamu sayang, nggak sepantasnya kamu membuangnya.”  
Suara itu lagi, teriakan itu lagi. Suara-suara yang lahir dari kemarahan, suara yang terus meninggi hingga mengubah malam yang sepi menjadi ingar-bingar. Suara perdebatan yang tak pernah usai. Suara yang kupikir lebih mirip lolongan anjing di malam bulan purnama, bersaut-sautan, saling memanggil dan menjawab. Suara yang  tak pernah lelah keluar dari tenggorokan pemiliknya. Suara yang membuatku sakit, membuatku sedih dan pada akhirnya membuatku muak. 
Suara-suara itu terus berbunyi diselingi dentuman benda pecah  belah. Aku sempat berpikir mengganti semua perabotan di rumah dengan plastik, hingga tak perlu lagi bangun pagi hari untuk membereskan semua pecahan kaca yang mereka lemparkan. Aku juga berpikir melapisi lantai rumah dengan busa, sehingga setiap benda yang jatuh, terlempar –dilemparkan-tak akan pecah. Namun semua berakhir hanya dalam pikiranku. Tubuhku terlalu malas untuk melakukannya. Kupikir, mereka sudah sama-sama dewasa, dan melempar barang hanya hobi yang mereka lakukan untuk melepas stres yang melanda mereka. 


“Bagaimana hidupmu?”
“Biasa saja. Terkadang mengalami kesulitan, terkadang lancar-lancar saja. Berdiri di antara keramaian, selebihnya merasakan kesepian. Terkadang aku merasa sedih, pada lain waktu aku merasa begitu bahagia. Ya, dunia memang tak baik-baik saja. Tak perlu berpikir untuk mengubahnya, aku hanya perlu belajar menerimanya. “
Hidup yang paling buruk adalah menjadi apatis. Berangkali benar ungkapan itu. Bukan apatis terhadap hal-hal tertentu seperti politik, tetapi apatis terhadap semua hal di dunia ini. Mengeluh bukanlah hal baik tetapi lebih baik daripada menjadi apatis. Jika kau masih mengeluh, tandanya kamu merasakan hidup, masih peduli pada hal-hal yang mengusikmu, masih merasakan kesal terhadap hal-hal yang tak kamu sukai.
Menjadi apatis, kamu melewati fase mengeluh. Kamu mulai tak peduli pada apa pun. Kamu menerima semua yang terjadi pada dirimu. Dikucilkan, ditinggalkan teman, kehilangan pekerjaan, dan tak lagi memiliki impian. Kamu menerima semua itu sebagai jalan hidup. Jalan di mana kamu harus menanggungnya seorang diri. Kamu tak merasa perlu berbagi. Apa yang harus dibagi jika kamu tak lagi merasakan apa-apa.
Bagimu, hidup hanya menunggu kematian datang. Tak perlu panggung, tak perlu sorot lampu, tak perlu hingar-bingar, kamu menunggunya dengan amat tenang, amat sunyi.
Sesekali kamu merasa bosan dan mulai berpikir kalau tuhan bekerja terlalu lambat untuk merenggutnya. Kamu ingin mengambil bagianmu, mengambil kematian lebih cepat, namun, pada saat bersamaan kamu mengenyahkan pikiran itu. Alangkah lebih baik menyerahkan urusan kematian pada tuhan. Manusia tidak diberi tanggung jawab untuk memikirkan  itu. “Jika manusia memikirkan kematian, lalu apa tugas tuhan?” tanyamu sambil menengadah ke langit, menunggu jawaban dari tuhan.