“Dua sendok robusta, satu sendok arabica dan satu sendok gula. Diseduh menggunakan air yang mendidih. Kamu tidak suka pakai air termos atau dispenser kan,” kata ayahku sambil meletakkan gelas berisi kopi di meja. Kepulan asap yang keluar dari gelas mengenai wajahku, hidungku kembang-kempis mencium aroma kopi.
Ayahku meletakkan segelas kopi lainnya-untuknya. Kutaksir, dia membuat kopi menggunakan kopi bubuk produksi pabrik asal Surabaya. Aku cukup heran dengan hal ini. Seringkali aku membawa kopi dari beragam daerah. Aku bahkan memiliki grinder untuk menghaluskan biji kopi yang kubeli. Namun ayahku hanya mencobanya satu kali dan beralih ke kopi buatan pabrik yang harganya hanya seribu rupiah per bungkus.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya ayahku.
“Yah, begitu-begitu aja. Cuma ngedit tulisan dari reporter. Bosen,” jawabku sekenanya.
Ayahku hanya diam, tidak menanggapi jawabanku. Bukan hal baru, ayahku bukan lelaki yang banyak bicara. Obrolan kami pun seringkali hanya beberapa pertanyaan dan jawaban-jawaban singkat. Setelahnya kami akan menghabiskan banyak waktu untuk diam atau pergi meninggalkan salah satu yang bertahan. 




Aku mencium punggung tangannya, mengecup keningnya dan memeluknya. Perempuan yang usinya genap 66 tahun ini memintaku datang. Memintaku rehat sebentar dari kemacetan Jakarta, menunda sedikit pekerjaanku dan melupakan tentang kesibukan-kesibukan lainnya. Aku harus sedikit bertengkar dengan atasanku, mengingat tenggat pekerjaan yang hampir mendekati garis mati, aku tak dizinkan pulang, meski hanya dua hari.
Aku meyakinkan atasanku, semua tugasku akan selesai tepat waktu. Aku mempertaruhkan pekerjaanku. “Jika tak selesai tepat waktu, pecat saja. Saya nggak bisa menolak permintaan ibu,” kataku. Dia menatap tajam, menunjukku menggunakan jari telunjuknya dan pergi begitu saja. Aku anggap diamnya adalah persetujuan.
Dan, di sinilah aku sekarang. Berada di rumah tua, rumah panggung yang tak ingin diganti ibuku. Ada banyak kenangan yang tak bisa kauganti, ada banyak cerita yang akan rusak jika rumah ini direnovasi, begitu kata ibu setiap kali aku menawarkan untuk merenovasi rumah peninggalan ayah.