“Mau sampai kapan duduk di kursi penonton?”
“Sampai filmnya habis. Sampai aku mati.”
Sejak kecil, aku merasa bukan pejuang. Aku selalu berada di kursi penonton. Mencukupkan diriku sebagai penonton. Menikmati setiap adegan di hadapanku. Memandangi kemenangan dan kekalahan orang lain. Melihat air mata yang tumpah atau tawa yang merekah. Bertepuk tangan saat pejuang berhasil mengalahkan musuh dan bersedih saat melihat pejuang mati di peperangan.



“Sudah hampir 10 tahun kau tidak menghadapku. Tiba-tiba saja kau datang, apa yang terjadi?”
“Sedang ingin. Tidak bolehkah?”
“Tentu saja boleh. Tetapi kenapa?”
“Kau kan Tuhan, kau pasti tahu segalanya.”
“Ya ... ya... ya. Aku hanya ingin berdialog denganmu sebentar saja. Semacam melepas rindu.”
“Aku sedang tak sibuk, kupikir ada baiknya menceritakan sedikit kepadamu, sesuatu yang sudah kau ketahui.”