“Kapan terakhir patah hati?”  
tanya seorang teman memulai sesi tanya jawab malam itu.




 Kurapatkan jaketku, udara malam ditambah hembusan angin dari pendingin udara membuatku sedikit menggigil. Barangkali bukan udara, tetapi pertanyaan itu yang membuat tubuhku mendadak kedinginan. Aku memesan lagi segelas bir. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku memesan kopi hitam tapi entah kenapa pilihanku jatuh pada minuman gandum ini.  Mungkin, bir mampu membuatku lebih lepas, lebih mudah membuka tirai memoriku tentang patah hati.
Aku membayangkan tuhan sedang berdiri di belakang etalase, di dalam sebuah toko bernama Cinta. Di etalase itu terdapat banyak hati.  Aku memilah dan hendak membeli satu hati kepadaNya. Cukup lama aku bergeming dan tiba-tiba, pilihanku jatuh pada sebentuk hati.
“Aku ingin yang ini,” kataku sambil menunjuk sebuah hati milik perempuan muda berwajah oriental.
“Baiklah. Ini paketmu,” katanya sambil menyerahkan satu paket cinta kepadaku.
“Kenapa sepaket, aku hanya butuh satu item saja. Cinta saja cukup.”


 Ada hal-hal yang tak kumengerti dari Dira, istriku itu. Dira kerap menyimpan barang-barang kecil dalam stoples lalu menyimpannya di dalam lemari khusus. Lemari yang terbuat dari aklirik yang kupikir akan digunakannya untuk menyimpkan koleksi bukunya. Sering aku bertanya mengenai hal ini, tapi Dira hanya tersenyum dan mengatakan sesuatu dalam stoples itu akan berguna suatu saat nanti. Barangkali, lima sampai sepuluh tahun lagi, tambahnya.
Aku dan Dira sudah berpacaran dua tahun sebelum kami memutuskan menikah lima tahun lalu. Setelah menikah, kami pindah ke sebuah rumah kontarakkan, aku meminta Dira tak membawa lemari aklirik itu. Rumah kami kecil, memasukkan lemari itu hanya akan membuat rumah menjadi sesak. Bawa satu stoples saja, lainnya tinggalkan di rumah orangtuamu, kataku waktu itu. Namun, Dira bersikeras membawa lemari itu. Sebagai gantinya, Dira meninggalkan koleksi bukunya di rumah orangtuanya dan hanya membawa beberapa buku karangan Iwan Simatupang dan Y.B Mangunwijaya.
Melihatnya bersikeras membawa lemari itu dalam rumah kami, membuatku memutuskan tidak memintanya meninggalkan lemari itu dan bertanya lagi arti stoples itu baginya. Jika Dira bersikeras, artinya barang itu sangat penting baginya dan aku tidak memiliki alasan untuk mengenyahkan sesuatu yang sangat penting bagi istriku.


“Saya tidak ingin jatuh (cinta) terlalu dalam. Tak baik mencintai seseorang begitu dalam. Seseorang yang paling kamu cintai adalah seseorang yang paling mampu membuatmu patah hati,” kata seorang teman memulai sesi nyampah.
Malam itu, berenam, kami duduk mengelilingi meja bundar. Di atasnya terdapat dua gelas bir, satu poci teh dengan dua gelas terbuat dari tanah liat, dan sepiring mie goreng. Entah siapa yang memulai, cinta menjadi topik yang dibicarakan. Kata yang tak habis dimakan jaman. Kata yang lebih mudah dirasakan daripada didefinisikan. Kata yang menjadi inspirasi banyak hal. Cinta, menjadi topik yang tak pernah habis diperbicangkan.
Bagi saya, jatuh (cinta), ibarat terjun bebas tanpa parasut. Tanpa persiapan, tanpa antisipasi karenanya dinamakan jatuh. Tiba-tiba jatuh. Barangkali, saya terlalu naif dalam memandang hal ini. Semakin dewasa, cinta tak sekadar jatuh, tak sekadar perkara hati tapi juga logika. Kita mulai awas terhadap hal ini. Tak lagi sesederhana menyukai seseorang karena lesung pipinya.