Ada kalanya, saya begitu khawatir tentang masa depan. Begitu takut membayangkan apa yang akan terjadi lima sampai sepuluh tahun mendatang. Meski saya sadar, barangkali, dalam hidup ini, usia saya tak mencapai angka-angka itu. Namun, kesadaran itu tak sepenuhnya membunuh rasa takut dalam hidup saya. Ada saat di mana saya melihat sekeliling, melihat teman-teman yang tumbuh satu-satu. Mengapai impiannya, berkeluarga, sukses, gagal, dan banyak hal lainnya. Saya, entah masuk dalam kategori apa, saya sendiri tak tahu.
Ada kalanya, saya begitu tenang. Tak memedulikan masa depan, tak merasa takut dan tak mengkhawatirkan apa pun yang terjadi di kemudian hari. Saya tak lagi melihat sekeliling, saya melihat dalam diri saya, apakah saya bahagia, apakah pekerjaan yang saya jalani sesuai dengan yang saya inginkan, apakah saya siap berkeluarga, dan serentetan pertanyaan lainnya. Pemandangan di sekeliling menjadi buram, tak lagi menjadi pemandangan menarik untuk diperhatikan.
Jam berdentang setiap jam, matahari mulai bergulir ke barat, langit serupa jeruk matang, senja, dan malam datang hingga tabir gelap tersingkap cahaya matahari pagi di sebelah timur. Waktu serupa penanda akan fase-fase di atas, tak menjadi penanda bahwa usia semakin bertambah, semakin senja. Gelap datang, mata tertutup dan mati. Sesederhana itu kerumitan hidup.

Suara dentum dari bom jatuh terdengar jelas dari kejauhan, mungkin sekitar 5-10 km dari tempat tinggalku. Dari balik jendela, tepat di mana kursi dan meja berada di sisinya, tempatku duduk, kulihat orang-orang berlari. Awalnya hanya hitungan jari, lalu menggunung hingga tak dapat lagi kuhitung. Seorang perempuan berlari sambil memeluk anaknya, seorang pemuda mengendong laki-laki tua, seorang pemuda menarik seekor kambing dengan kuat-kambing itu tak mau berjalan sehingga adu tarik pun terjadi di antara keduanya-dan wajah-wajah ketakutan pun menjadi pemandangan yang kusaksikan dari kaca rumahku.
Aku mengalihkan pandangan ke arah istriku. Melihat ketakutan dan kecemasan dari wajah-wajah di luar sana membuat pagiku terasa berat. Nada sedang berdiri di depan oven, menunggu kue yang dibuatnya matang. Kue bolu pandan kesukaanku. Ting... ting.. suara dari oven yang menandakan bolu sudah matang. Nada mengambil sarung tangan yang tergantung di tembok, sebelah kanan tubuhnya lalu mengeluarkan seloyang bolu yang mengembang.
Harum bolu pandan memenuhi rumah kami. Nada meletakkan bolu itu di sebuah piring. Mengiris beberapa bagian agar mudah dimakan. Dia berjalan ke arahku, membawa sepiring bolu pandan yang setengahnya sudah diiris tipis-tipis. “Tunggu, kopimu belum jadi. Tunggu sebentar lagi,” katanya setelah meletakkan sepiring bolu di hadapanku. Aku tak sabar ingin mencicipinya, baru saja mengerakkan tanganku untuk mencomot, Nada berbalik dan mengayunkan telunjukkan ke kiri dan kanan. Jangan coba-coba mengambil, barangkali itu pesannya. Aku pun mengurungkan niat dan menunggunya datang membawa kopi.



Ada bagian yang tak bisa kuceritakan kepadamu, semacam rahasia kecil yang sengaja kusimpan untukku sendiri. Bahkan, aku berupaya keras untuk menyembunyikannya dari malaikat. Ada yang mengatakan kepadaku, isyarat hati, hanya tuhan yang mengetahuinya. Maka kuputuskan untuk melakukannya dalam hati saja, tanpa ritual, tanpa gerakan, tanpa ucapan, hanya isyarat hati.
Semakin sedikit yang tahu, semakin baik. Kupikir, satu-satunya yang dapat memegang rahasiaku hanya diriku dan tuhan. Tuhan menyimpan rapat aib manusia, aibku yang begitu banyak  pun disembunyikannya rapat-rapat.
Malam itu, selepas menerima pesan darimu, yang kujawab dengan satu kata, empat huruf – yang kutulis cukup lama karena memikirkan balasan untukmu selalu sulit untukku karenanya aku hanya bisa menuliskan satu kata yang terdiri dari empat huruf - diam-diam aku memutuskan dua hal.