Ireng duduk di bawah pohon rindang, ditatapnya jalan menanjak, ditanya hatinya sekali lagi, dia harus yakin dengan keputusannya. Setelah mencapai puncak nanti, tak akan ada jalan pulang. Dia akan menjadi sosok yang berbeda. Hatinya mengangguk mantap, yakinnya telah menggunung, seperti kebenciannya yang sudah menggunung. Gunung merapi yang siap memuntahkan lava dan membunuh siapa saja.
Kiri dan kanan jalan ditumbuhi pohon-pohon tinggi menjulang. Anggrek hutan menempel di salah satu dahan pohon yang tinggi itu, Ireng tersenyum. Semakin indah sesuatau, semakin sulit kau menggapainya, gumamnya. Rasa sakit di kakinya membuatnya berhenti. Dua ekor pacet sedang asik menghisap darahnya. Dia mengambil satu batang rokok kretek, menyobeknya dan menaburkannya di tubuh si pacet. Kedua pacet pelahan melepaskan hisapannya dan jatuh dari kakinya.
Di ujung jalan menanjak, terdapat tanah landai yang tak terlalu luas. Di bawah pohon besar berdiri satu rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Seorang lelaki tua menggunakan pakaian serba hitam sedang duduk di atas bale di depan rumahnya. Tangannya melempar-lempar sesuatu. Ireng yakin, yang dilemparnya itu bunga melati. Tapi untuk apa, dia tak tahu. Dia berjalan perlahan mendekati lelaki tua itu.
“Wahai Guru, terimalah aku menjadi muridmu,” pinta Ireng ke lelaki tua itu.
“Pulang, bocah. Kau salah tempat.” Lelaki itu tak mengubah posisi tubuhnya, pandangannya lurus ke depan, tangannya masih melemparkan bunga melati. Kemenyan dan pasir-pasir.
Ireng menjatuhkan diri di belakang lelaki tua itu. Tumitnya menempel di tanah, kedua tangannya ditangkupkan di dada, seraya memohon agar lelaki yang membelakanginya mau berbaik hati mengajarinya ilmu-ilmu. Tak cukup bertumpu pada lutut, ireng menjatuhkan tubuhnya, ujung kepalanya menyentuh tanah, persis posisi sujud dalam salat. Kedua tangannya diangkat, diletakkan di atas kepalanya.
“Aku tidak butuh murid, aku tidak mau mewariskan ilmuku. Kalau pun ada, aku memilihnya.”
“Kalau gitu, pilih aku jadi muridmu,” pinta Ireng tanpa mengangkat kepalanya.
“Untuk apa kamu belajar dariku, hah? Biar kaya, hah?”
“Aku tidak butuh kaya. Aku tidak butuh apa pun tentang materi. Aku ingin membunuh seseorang, membalaskan sakit hatiku padanya.”
Ireng menangkat sedikit kepalanya ketika kaki tanpa alas kaki itu menyentuh kepalanya. Ireng diam, tak berani mengangkat kepalanya lebih atas lagi. Kaki kiri lelaki tua menyentuh kepala Ireng, lalu menusuk-nusuk bagian punggungnya dengan bujari kemudian menapakkan kakinya di atas punggungnya. “Kau boleh menjadi muridku, katanya seraya mengangkat kakinya dari punggung Ireng.
# # # # # #
Asep Sentana tak tahu persis kapan namanya berubah menjadi Ireng. Sebagaimana kebanyakan orang tua, nama yang disematkan pada anak merupakan doa-doa, seperti nama yang disematkan kepadanya, Asep, Kasep, yang berarti tampan. Seperti kita tahu, doa-doa tak selalu diijabah tuhan dan kita bisa melihat kisah nyata itu dalam diri Asep.
Kulitnya yang hitam legam, postur tubuhnya yang kurus dan tinggi serta sedikit bongkok di punggungnya membuatnya terlihat seperti tiang listrik yang terimpa pohon, sedikit bengkok dan penyok. Kenyataan pahit itu bisa sedikit diterima orang jika wajahnya sedikit tampan, sayangnya, wajah Asep tak tampan, ada totol-totol yang tumbuh di sana. Awalnya hanya satu, lalu dua, lalu tiga, totol itu beranak pinak dan tumbuh di berbagai sisi wajahnya.
Di lingkungan rumah, di sekolah, Ireng selalu menjadi bahan bulan-bulanan temannya. Bahkan di tempat yang baru dikunjunginya sekalipun, tatapan aneh selalu tertuju padanya. Bukan sekali dua kali Ireng meminta berhenti sekolah. “Tak capek kamu miskin, Nak. Sudahlah, jangan macam-macam, belajar yang benar biar hidupmu lebih baik,” kata Emaknya dan Ireng langsung mundur dari hadapan emaknya, pergi ke sumur, menimba air banyak-banyak.
Suatu pagi Ireng terbangun dengan perasaan senang dan was-was. Senang mendapati mimpi yang indah, memeluk seorang gadis tanpa melihat wajahnya. Perasaan senang itu diikuti rasa was-was, takut emaknya tahu celananya basah. Ireng pergi ke sumur sambil memegangi selangkangannya dengan kedua tangan. Emaknya yang sedang memasak di dapur heran melihat tingkah anaknya. “Bukan ngompol, mimpi basah. Sudah baligh kamu, sudah bisa buntingin gadis, kata emaknya ketika Ireng malu-malu mengatakan ngompol saat tidur.
Seperti remaja lainnya, Ireng mulai mengerti rasa suka. Ya, suka, cinta belum jelas benar di kepalanya yang masih muda itu. Dia juga sering membaca sobekan-sobekan majalah yang menjadi pembungkus bumbu dapur yang dibeli emaknya di pasar. Ireng pernah menemukan artikel konsultasi seksual, dia bergidik membacanya. Aku pernah melakukannya, sambil senyum dia melanjutkan bacaannya. Sayang, hanya dalam mimpi, gumamnya ketika menyelesaikan artikel yang separuh itu. Sisanya ada di sobekan kertas lain, entah berada di mana.
Ireng mencoba mendekati beberapa gadis di sekolahnya. Jangan banyangkan Ireng menghampiri mereka di kantin atau di gerbang sekolah lalu mengajak mereka pulang bersama. Baru menghampiri di lorong sekolah saja, gadis-gadis itu sudah menjauh darinya. Tidak ada yang tahan berada di dekatnya. Ireng pun mengubur mimpinya memiliki kekasih dan hanya mengkhyalkannya sebelum tidur dan berbuah basah di selangkangannya.
Semasa SMA, Ireng menyukai seorang gadis, Maryam namanya. Tiga tahun bukan hal mudah bagi Ireng memendam cintanya. Ireng berpikir ratusan kali untuk menyatakan perasaannya, tapi pengalaman pahit di SMP membuatnya mundur. Ireng mulai menulis surat cinta, tak terhitung buku tulisnya dirobek dan dijadikan bola-bola kertas yang dibuang di bawah kolong tidurnya. Hingga suatu hari Ireng memutuskan untuk menghampiri Maryam di kantin sekolah dan berniat menyerahkan surat darinya.
Surat yang disodorkanya ke Maryam masih digenggamnya ketika ludah Maryam jatuh tepat di wajahnya. Belum satu kata pun keluar dari bibirnya. Dia mengelap wajahnya dengan surat itu lalu pergi meninggalkan sekolah. Selamanya.
# # # # # #
Di bawah arahan gurunya, Ireng mulai menjalani mlaku seminggu. Seminggu hanya meminum air putih, seminggu hanya makan singkong, seminggu hanya makan nasi putih yang dikepal-kepal dan diberi sedikit garam. Selama 40 hari Ireng tidak diperbolehkan memakan makanan bernyawa. Jika melanggarnya, dia harus memulainya dari awal dan artinya, dia semakin lama berhasil mencapai keinginannya.
Ireng tak boleh menggunakan alas kaki. “Biasakan kulit kaki menyentuh tanah agar kau menyatu dengan bumi,” kata gurunya suatu waktu.
Setelah 40 hari, Ireng diajarkan mantra-mantra. Setiap mantra memiliki tingkat kesulitan berbeda-beda. Kadang dia harus melapalkan mantra tanpa henti di bawah pohon besar, kadang di atas batu kali, di cabang pohon, di bawah gubuk, kadang sambil merebah di atas tanah tanpa mengenakan pakaian. Sehelai benang pun tak boleh menempel di tubuhnya.
“Jangan bergerak, jangan membuka mata sampai aku bilang buka. Akan banyak godaan datang, makhluk-makhluk itu ingin tahu kehebatanmu,” kata gurunya ketika menyuruhnya duduk di atas batu kodok di dalam goa.
Di atas batu itu terdapat stalaktit yang menjatuhkan air satu-satu. Air itu harus tepat jatuh tepat di atas kepala. Jika ujian ini berhasil dia lewati, dia akan naik satu tingkat. Jika gagal, maka ilmunya tak bisa digunakan.
Godaan menjelma apa saja, kadang suara ketawa, suara benda jatuh, kadang seperti ada yang memeluknya, membuatnya gigil.
Ireng hampir saja membuka matanya ketika godaan itu membisikkan pengalaman pahit hidupnya di dalam hati. Setan tahu, hati manusia rapuh dan mudah menjadi sedih. Ireng ingat pesan gurunya, jangan bergerak, jangan membuka mata dan dia tak mau kalah dengan dedemit-dedemit itu. Pagi itu gurunya memintanya membuka mata, sambil tersenyum puas dia mengatakan, kamu telah naik satu tingkat bocah. Ireng tersenyum lalu ambruk.
# # # # # #
Sejak Maryam meludahi wajahnya, Ireng tak mau lagi sekolah. Dia tetap berangkat pagi hari menggunakan seragam sekolah lalu berbelok ke arah pasar. Menjadi kuli panggul, mengerjakan apa saja agar pikirannya menjauh dari penghinaan itu. Seperti kita tahu, memaksa melupakan sesuatu hanya akan membuat ingatan itu semakin melekat di ingatan kita. Penghinaan itu menyulut bara di hatinya, menjadi api dendam yang besar dan siap melahap siapa saja.
Seperti disiram bensin, api di hatinya membesar ketika melihat Maryam jalan bergandengan tangan dengan seorang pria. Merasa rikuh ditatap seperti itu, Maryam melengos, memalingkan wajahnya. Lelaki yang bersamanya tak terima dan menghajar Ireng habis-habisan. Memar memenuhi wajahnya, membuat giginya tanggal tiga.
Ireng pulang dalam keadaan payah. Emaknya yang sakit keras dan terbaring di kasur menatap wajah anaknya dengan tatapan nanar. Dihampiri ibunya, dicium punggung tanggannya, dipeluknya. Indung dan anak itu menangis berdua. “Kejamnya hidup ini, Mak.” Tangisnya pecah disusul suara tangisan emaknya yang semakin besar. Suara tangis emaknya memelan, tak berganti isak, tetapi kematian. Emaknya mati meninggalkannya seorang diri.
“Buruk rupa aku, miskin aku, dihina semua orang, dihina perempuan. Kini kau ambil emakku, maumu apa tuhan?” teriak Ireng.
# # # # # #
Ireng memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, bersiap pulang ke kampungnya. Bersiap menuntaskan dendamnya.
“Bocah, kamu bisa sehebat diriku jika tekun berlatih. Kamu tidak memiliki bakat alam tetapi dendammu sungguh besar. Itu yang menjadikanmu hebat.”
Dicium tangan gurunya, diambilnya kalung yang diserahkan kepadanya. Ireng tak ingin menjadi hebat, tak ingin menguasi seluruh ilmu gurunya. Dia hanya ingin menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Dia merasa ilmunya cukup untuk mengakhiri semuanya.
# # # # # #
Seperti kepergiannya yang tak pernah dipertanyakan orang-orang, kedatangannya pun ke desa hanya dianggap angin lalu saja. Ireng tak pernah dianggap ada atau jika ada yang memerhatikannya, dia hanya dianggap seonggok tai di atas aspal yang ingin segera dienyahkan.
Kabar pernikahan Maryam sampai ke telinganya. Di kampung ini, kau tak perlu bersusah payah mencari kabar orang lain, dia akan datang kepadamu dengan sendirinya. Ireng tersenyum sinis, waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga.
Suara petasan mengubah suasana pagi yang hening menjadi ingar bingar. Suara petasan digantikan Alunan rebana, suara fals ibu-ibu yang melantunkan salawat menyambut kedatangan besan, keluarga mempelai pria. Sambut-menyambut  di antara kedua keluarga telah usai. Kedua mempelai duduk di hadapan penghulu, bersiap melapalkan janji suci.
Ireng beridiri di bawah pohon, memerhatikan kedua mempelai yang meski tak terlihat wajahnya pasti sedang tersenyum bahagia. Dia mulai melapalkan mantra-mantra, membacanya berkali-kali, matanya tak lepas dari Maryam. Mempelai pria menjabat tangan penghulu, penghulu menarik tangan itu erat, mengucapkan kata-kata. Belum keluar satu kata patah pun dari bibir mempelai pria, Maryam ambruk. Dari mulutnya keluar kalajengking, kaki seribu, lalu darah kental. Maryam menggelepar, mati seketika.
Sejak kematian Maryam, warga mulai mempertayakan keberadaaan Ireng. Ireng hilang bak ditelan bumi. Ada yang mengatakan Ireng pergi menemui gurunya di ujung hutan dekat Selat Sunda. Ada yang mengatakan Ireng Moksa, betapa di Goa. Namun tak ada satupun yang tahu keberadaannya.
Ireng tak lagi dianggap seonggok tai, tak lagi dianggap angin lalu.








Setumpuk surat dan sebingkai foto diletakkan pak RT di atas meja. “Buang saja atau bakar,” katanya kepada anak perempuannya yang duduk di bangku sekolah menengah atas itu ketika bertanya milik siapa surat dan bingkai foto itu.
Seperti umumnya gadis remaja, dia membayangkan isi surat itu berisi pesan-pesan cinta. Di zaman teknologi yang begitu mudahnya mengirimkan pesan melalui telepon ganggam, dia kadang memimpikan mendapatkan setumpuk surat dari seorang pria. Bagaimana pun dia bosan dengan aplikasi pengirim pesan, terlalu mudah, terlalu biasa.
Diambilnya setumpuk surat itu dan dibawanya ke dalam kamar. Setelah mengganti seragam putih abu-abunya dengan kaus bergambar papan surfing dan bertuliskan ‘I Love Bali’ hadiah dari temannya yang berlibur di sana dan diam-diam membuatnya iri, serta celana pendek berwana biru langit, dia mulai membuka surat-surat itu.
Dirunutnya surat-surat itu berdasarkan tanggal yang tertera di sebelah kanan kertas. Baru merunutkannya saja membuat hati gadis itu berbungah, merasakan senang yang teramat sangat. Manis sekali, pikirnya. Tunggu saja sampai dia membacanya, dia akan berpikir ulang, masih maniskah isi surat-surat itu atau justru membuatnya menyesal telah membacanya.
Suara ketukan pintu dari Bu RT tak digubrisnya. Gadis itu telah tenggelam sepenuhnya dalam baris-baris tulisan itu. Membuat matanya sembab, ujung guling yang ditindihnya ikut basah dengan air matanya. Sesekali dia mengelap ingus dengan ujung kausnya, malas beranjak mengambil tissue di atas meja.
Dia mengubah posisi tubuhnya, membaca surat itu sambil telentang, jika matanya panas dan siap menumpahkan air, dia kembali tengkurap. Jika pegal, dia duduk sambil memeluk guling, yang ujungnya basah dijatuhi air mata atau ingusnya yang tak sempat dielapnya terburu jatuh di sana. Kadang dia berhenti, membiarkan air matanya jatuh, mengelap ingusnya lalu melanjutkan membaca suratnya.
# # #
Tak pernah ada yang tahu dari mana lelaki tua itu berasal. Suatu pagi, seseorang melihatnya keluar dari gubuk berdinding triplek itu. Gubuk reyot yang sudah bertahun-tahun tak ditempati karena takut diganggu hantu perempuan dan anak kecil.  Pemiknya mati di sana. Bunuh diri beserta dua  anak perempuannya dengan menenggak racun tikus bersamaan setelah suaminya kabur dengan pembantu komplek. 
Beberapa warga memperingatinya, lelaki tua itu tak menggubrisnya dan mengatakan tak takut hantu, dia lebih takut harapan. Warga mengira lelaki itu sinting, bagaimana bisa seseorang lebih takut hantu daripada harapannya sendiri. Sebenarnya warga sedikit merasa tenang dengan kehadirannya. Dengan ditempatinya rumah itu, tak ada lagi hantu perempuan dan anak-anaknya meski tetap ada saja yang masih percaya hantu itu kini berpindah ke pohon beringin di pekuburan. Tak apa di pekuburan, setidaknya tidak dekat dengan rumah mereka, begitu pikir warga.
Rasa senang warga berubah menjadi rasa kesal ketika melihat lelaki itu selalu duduk di pinggir jalan sambil mencekik botol anggur murahan. Bekerja serabutan pada siang hari dan menumpahkan segalanya pada botol anggur di malam hari. Namun melihat sikapnya yang baik dan tidak pernah mengganggu, lama-lama warga bisa menerimanya.
Setelah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana, tetap tak ada satu pun warga yang tahu dari mana asal usul lelaki itu. Mereka hanya tahu lelaki itu keluar dari rumah berhantu pada pagi hari dan menenggak  anggur murahan pada malam hari di gang masuk perkampungan.
# # #
Gadis itu meletakkan setumpuk surat di sisi kanan tubuhnya. Berjalan ke arah meja, mengambil kotak tissue dan mulai menghapus air matanya lalu ingusnya. Selembar tissue kering yang menjadi basah itu dikepalnya, dibentuknya bulat-bulat menyerupai bola lalu dilemparkanya begitu saja. Dia membalikkan kotak tissue, mengorek dengan jari telunjuknya dan tak menemukan sehelai tissue pun di dalamnya. Satu box tissue telah menjelma bola-bola kertas dan memenuhi lantai kamarnya.
Kini, dia menjadi satu-satunya orang di perkampungan itu yang mengetahui sebagian cerita lelaki tua itu. “Lelaki malang, hidupnya menyedihkan. Tapi dia setia,” gumam gadis itu.
Dari setumpuk surat, gadis itu mengetahui sepenggal kisah lelaki tua itu. Lelaki yang memutuskan kabur dari rumah demi bisa menikahi kekasih yang amat dicintainya. Mereka sepakat bertemu di sebuah persimpangan. Lelaki itu menunggu dengan sabar, tetapi kekasihnya tak pernah datang, tak pernah terlihat batang hidungnya. Lelaki itu terus menunggu, hingga dia menyadari, kekasihnya tak akan pernah datang dan menempati janji yang mereka buat.
“Jika bukan kau, aku tak akan menikah dengan orang lain. Tidak akan,” tulisnya di akhir surat pertama.
Lelaki itu terus melangkah, menjauh dari rumah, menjauh dari orang-orang yang mengenalnya. Dia tak punya cukup muka untuk ditunjukkan ke hadapan keluarganya. Kembali ke rumah sama saja mencoreng wajah bapaknya dua kali. Pertama, ketika dia kabur dari rumah demi perempuan yang ditentang keluarganya. Kedua, kembali dari rumah setelah mencoreng muka ayahnya, muka tokoh kampung yang disegani seluruh warga dan dia tak ingin mencoreng muka bapaknya dua kali dan memutuskan pergi. 
Keluarganya pasti berpikir dia telah pergi jauh dengan kekasihnya. Menetap di satu tempat dan menikah dengannya. Hidup berbahagia dan memiliki dua anak, perempuan dan laki-laki. Nyatanya hidup mengantarkannya pada garis lain. Bukan pada prasangka keluarganya, bukan pula pada harapannya. Hidup mengantarkannya sebagai seorang lelaki yang marah pada dunia dan satu-satunya yang menyelamatnya hanya sebotol anggur murah yang ditenggaknya di gang perkampungan.
Lelaki itu hidup menyendiri. Bekerja serabutan agar dapat makan, membeli beberapa batang rokok dan miras murah. Dia tak sempat menuliskan surat perpisahan, ajal keburu menjemputnya. Tapi dia sempat menyerahkan sebingkai foto dan setumpuk surat yang tak pernah dia kirimkan ke kekasihnya yang mungkin telah berbahagia dan memiliki banyak anak.
Setumpuk surat dan sebingkai foto yang membuat gadis itu menangis tersedu-sedu.
# # #
Perempuan tua itu membuka halaman demi halaman buku bersampul cokelat miliknya. Kertas-kertas di dalamnya telah menguning dimakan usia. Tinta pada baris-baris tulisan tangan sedikit memudar. Namun perempuan itu hapal baris-baris kata yang ditulis untuknya. Dia hanya ingin melihat tulisan tangan itu, menyentuhnya, seperti menyentuh tangan kekasihnya. Menggenggamnya erat dan tak ingin melepaskannya.
“Apakah ini cinta?” tanyanya dalam hati.
Pertanyaan itu seringkali menghantuinya. Satu-satunya yang dapat mengenyahkan pikiran itu darinya ketika melihat buah hatinya. Melihat mereka tumbuh, memberi rasa tenang dalam dirinya. Jika bukan cinta pada suaminya, cinta datang dari anak-anaknya dan dia merasa cukup dengan itu.  Toh tidak ada yang sempurna, selalu ada yang tidak sempurna di hidup ini, pikirnya.
Namun, ketika anak-anak tumbuh dewasa dan memilikinya dunia sendiri, kesepian menggedor-gedor hatinya. Pertanyaan tentang cinta datang bersamaan dengan rasa sepi itu. Anak tertuanya telah bekerja, merantau. Anak bungsunya memilih tinggal indekost dekat kampusnya. Suaminya, entah kemana. Dia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.
Perempuan itu menyesal tak menepati janji pada kekasihnya. Mereka sepakat bertemu di persimpangan jalan, kabur dari rumah, menikah, dan hidup bahagia selamanya. Dia terlalu takut menghadapi badai di depan dan memilih mengurungkan niatnya.
Tahun berganti, dia menemukan seorang lelaki dan memutuskan menikah dengannya. Bertahun-tahun menikah, pertanyaan tentang cinta kembali datang kepadanya. Membuatnya ragu melanjutkan bahtera pernikahannya. Mereka belum dikaruniai anak dan hidupnya tak juga membaik setelah menikah. Suaminya tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tak dapat memenuhi harapannya memiliki momongan.
Mereka memutuskan bercerai tepat di hari ulang tahun pernikahannya yang keempat.
Terbesit dalam hatinya untuk menemui kekasihnya dulu. Getar ketakutan melingkupi seluruh tubuhnya. Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Dia mengurungkan niatnya dan memutuskan melanjutkan hidup. Tak lama setelah itu, dia bertemu seorang lelaki yang mengajaknya menikah. Lelaki tampan dan mapan. Lelaki yang dapat memenuhi kebutuhannya dan membuatnya aman.
Meski telah menikah, pertanyaan tentang cinta kembali menghantuinya. Namun keraguan itu menghilang ketika mereka akhirnya beranak-pinak. Penyesalan yang memenuhi hatinya sedikit terobati dengan kehadiran putrinya dan semakin terkikis setelah anak keduanya lahir. Pertanyaan tentang cinta tetap saja datang dan wajah anaknya mampu membuatnya menepis serangan itu.
# # #
Kini di usia senjanya, ketika anak-anak telah tumbuh dewasa dan memiliki dunianya sendiri, suaminya yang dulu begitu posesif, selalu menemaninya dan tak pernah memberinya jeda sedikit pun untuknya menikmati waktu seorang diri atau berkumpul bersama teman-temannya, telah berubah dingin dan selalu menghilang dari rumah, pertanyaan tentang cinta lebih sering datang kepadanya.
Dia memikirkan kekasihnya. Memikirkan kemungkinan bertemu dengannya dan jika lelaki itu masih sendiri atau sudah sendiri, dia ingin hidup bersamanya. Anak-anaknya sudah besar dan dia yakin mereka akan memahami pilihan mamanya.
Kadang dia berpikir, mungkin ini karma yang harus diterimanya karena telah menyia-nyiakan seseorang yang amat mencintainya. Dia memiliki anak-anak yang baik dan hidupnya berkucukupan, tapi hidupnya tak pernah benar-benar merasa bahagia. Selalu ada yang kosong di dalam hatinya dan dia percaya, satu-satunya yang dapat mentupi kekosongan itu hanya kekasihnya.
Perempuan itu hidup dengan penyesalan. Lelaki itu hidup dengan menyedihkan. Yang satu telah mati, satunya lagi berharap bertemu sebelum mati tanpa tahu yang diharapkannya telah mati.








Lelaki tua itu duduk di gang masuk perkampungan. Tangannya mencekik leher botol miras murahan yang dibelinya di warung dekat pangkalan ojek. Dia akan duduk di sana sepanjang malam, sesekali meminta rokok pada orang-orang yang lewat. Murni meminta. Dia tidak pernah memaksa, tidak memalak siapapun. Dia meminta dengan cara yang baik, jika tak diberikan, dia akan membiarkan orang itu lewat begitu saja. Tidak ada umpatan apalagi kekerasan.
Jika sedang beruntung, dia bisa menenggak anggur merah cap kakek tua tanpa harus membelinya. Para tukang ojek dan beberapa orang yang entah bekerja apa biasanya menjadikan pangkalan itu sebagai tempat judi. Penjudi yang menang besar malam itu memberinya satu botol gratis, seringnya sisa-sisa botol yang mereka tenggak. Lelaki tua itu membawa botol-botol minuman yang isinya tinggal separuh itu dengan perasaan senang. Duduk di gang masuk perkampungan. Duduk sepanjang malam.
Lelaki tua itu tetap duduk di sana walau hujan sekalipun. Dia hanya pindah beberapa langkah, berteduh di pos ronda. Beberapa warga yang mendapat tugas berjaga malam itu tak pernah terusik dengan kehadirannya. Mereka sesekali memberi beberapa batang rokok dan secangkir kopi. Rokok diterimanya dan kopi ditolaknya. Dia tak ingin menyentuh kopi lagi, sudah puluhan tahun dia membenci minuman itu. Selain air putih, dia hanya menenggak anggur merah.
Lelaki itu pulang ke rumah ketika suara kentongan di tiang listrik berbunyi empat kali. Membawa botol-botol kosong itu dan memasukkan ke dalam karung yang teronggok di samping rumahnya. Jika karung sudah terisi penuh, dia menjualnya ke tukang loak. Uangnya cukup membeli dua botol anggur murahan.
Dia biasanya bangun pukul sembilan atau sepuluh pagi atau di tengah waktu itu. Tak lebih, tak kurang. Ada semacam alarm di kepalanya yang berbunyi secara otomatis pada dua waktu itu dan itu selalu membuatnya terbangun. Setelah terbangun, dia menenggak air putih. Mencari sisa-sisa rokok di asbak yang terbuat dari potongan minuman kaleng. Jika tak menemukan separuh batang rokok, dia akan mengumpulkan puntung rokok kreteknya. Dihancurkannya puntung itu, dikumpulkan menjadi satu dan diletakkannya di atas papir. Dilintingnya, disulutnya, dihisapnya lalu dihembuskan perlahan.
Lelaki tua itu lalu mengambil karung dan kait yang tergantung di dinding. Berjalan meninggalkan rumah untuk mencari botol-botol bekas di dalam tong sampah atau berserakan di jalan. Dia seringkali mengumpat ketika melihat banyak orang yang mengeluh tentang banjir tapi senang sekali membuang sampah sembarangan. Keluhan itu hanya lewat sepintas saja di kepalanya, berganti dengan rasa syukur karena menemukan banyak botol dan gelas pelastik di jalan.
Kebodohan orang-orang itu memekakkan telinga, tapi membuat perutku terisi, ucapnya pada dirinya sendiri.
Dia tak selalu menyusuri satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Ada kalanya dia diminta warga memperbaiki genteng rumah, membabat rumput liar atau sekadar mengecat pagar rumah. Terkadang, hanya disuruh datang tanpa mengerjakan apa-apa dan pulang dengan membawa makanan serta uang. Dia tahu warga peduli, kasarnya, kasihan kepadanya. Dia tak ingin ambil pusing, setidaknya, dia bisa makan beberapa hari dan bisa membeli anggur murahan untuk menemani malamnya yang panjang.
Awalnya, warga merasa teganggu dengan kehadirannya. Hampir setiap malam warga yang melintasi gang itu selalu melihatnya duduk sambil memegang botol miras. Mereka takut lelaki itu akan bertindak di luar kesadarannya. Berlaku kasar dan memalak warga yang lewat. Setelah bertahun-tahun, warga terbiasa dengan kehadirannya. Terlebih, lelaki itu tak mengganggu siapa pun, dia hanya duduk sepanjang malam dan minum seorang diri.
Sesuatu yang awalnya dianggap mengganggu berubah menjadi biasa jika sudah terbiasa. Tak jarang menjadi semacam rindu. Seperti ketika lelaki tua itu tak terlihat dua malam berturut-turut di gang itu. Pertanyaan yang sama juga kerap terlontar dari ibu-ibu yang senang bergosip sambil membeli sayur di tukang sayur keliling, para penjudi di pangkalan ojek serta pemilik warung penjual miras.
Setelah bertahun-tahun menjadi pelanggannya, tukang warung merasa khawatir dengan lelaki tua itu. Bagaimana pun, lelaki itu menjadi pelanggan tetapnya. Saat jualannya tak laris, saat aparat berperut buncit sok-sok menegakkan aturan yang membuatnya harus kucing-kucingan menjual miras, saat para pemakai sorban menggertak dan akhirnya berdamai dengan mengambil puluhan botol darinya, lelaki tua tetap datang di malam hari, menggedor-gedor warung yang pura-pura ditutup dan membeli sebotol anggur darinya.
Penjaga warung menitipkan warungnya ke tukang ojek. Membawa sebotol anggur, dua bungkus roti yang tanggal kedaluarsa sudah lewat seminggu tetapi tetap saja laku dibeli, pergi menemui lelaki tua. Diketuknya pintu rumah bedinding triplek dan beratapkan asbes itu. Lelaki tua dengan suara terpatah-patah menyuruhnya masuk. Dia tak pernah mengunci rumahnya, tak pernah takut kehilangan apapun karena memang tak ada papun yang bisa dicurinya darinya.
Satu-satunya yang bisa dicuri darinya adalah harapan, itu pun telah direnggut darinya berpuluh-puluh tahun lalu dan hanya menyisakkan satu untuknya. Yang disimpannya baik-baik seorang diri.
“Tak perlu bangun. Makanlah roti ini dan minum anggurnya jika kau sudah sehat,” kata pemilik warung itu lalu pergi meninggalkan rumah lelaki tua setelah meletakkan bungkusan yang dibawanya di samping tempat tidur lelaki itu.
Dari tukang warung, para tukang ojek tahu lelaki itu sakit. Tukang ojek bercerita kepada istrinya, istrinya bercerita saat membeli sayur di tukang sayur keliling, lalu menyebar di pengajian ibu-ibu, dan menyebar di kalangan bapak-bapak. Para pembantu yang membeli sayur dan kebutuhan lainnya di pasar tahu dari tukang ojek yang mengatarnya lalu bercerita ke majikannya, terus begitu hingga satu kampung tahu kemana lelaki tua itu tak tampak batang hidungnya selama beberapa hari.
Pak RT yang ingin terlihat berwibawa di hadapan warganya berkeliling dari rumah ke rumah, meminta sumbangan bagi lelaki tua yang sakit itu, yang bahkan belum pernah dijenguknya. Selalu ada peluang jika kau bisa memanfaatkan, begitu pikir pak RT. Sebagian uang sumbangan masuk ke kantongnya, diberikannya ke istrinya dan membayar tunggakan uang sekolah anaknya. “Lelaki tua tentu tak membutuhkan uang yang banyak,”pikir RT itu.
Ditemani beberapa warga, lelaki berkepala abu-abu itu membawa uang hasil sumbangan warga untuk lelaki tua itu. Dia mendorong pintu perlahan setelah beberapa panggilan tak mendapat jawaban. Lelaki itu terbaring lemah di atas kasur yang busanya sudah menipis, yang hanya memisahkan dirinya dirinya dari lantainya yang beraspal. Dua bungkus roti tergeletak di sampingnya masih dalam keadaan utuh. Lumut-lumut hijau sebagian menutupi roti itu. Lelaki itu tak menyentuhnya dan hanya meminum sedikit anggur pemberian tukang warung itu.
Tak banyak barang di dalam Rumah itu. Kardus berisi beberapa helai pakaian yang terletak di ujung kasurnya, teko plastik berisi air putih dan kompor gas pemberian pemerintah yang tak pernah dia gunakan karena tak paham bagaimana memasang selang kompor ke tabung gas. Dia juga tak tertarik mencari tahu setelah melihat tayangan televisi yang terpasang di pangkalan ojek memberitakan meledaknya tabung gas 3 kg.
Dia tahu suatu hari dia akan mati tapi dia tidak mau mati dalam keadaan tubuh penuh luka bakar akibat meledaknya tabung.
Di sisi kanan, tergantung karung dan pengaitnya. Di sisi kiri tergantung satu benda yang menarik seluruh perhatian warga yang menjenguknya. Sebuah bingkai foto, kertas foto di dalamnya sudah menguning, menempel dengan kaca. Namun, jelas menampakkan foto lelaki tua dan seorang perempuan.
Dalam foto itu, lelaki itu tampak bahagia. Tersenyum. Tangan kanannya merangkul pundak si perempuan yang menguncir kuda rambutnya. Warga mulai menebak-nebak di mana foto itu diambil, latar belakang foto itu hamparan rumput yang luas dan pada usia berapa mereka difoto. Namun tak ada satu pun yang berani menanyakannya ke lelaki itu, tidak di saat lelaki itu terbaring lemah dan mau sedang memeluknya.
Suara batuk lelaki tua itu menyadarkan warga dan mengalihkan pandangan mereka dari foto itu. Mereka jongkok di samping lelaki tua itu. Seseorang mengambil bingkai foto dan menyerahkan ke lalaki tua itu dan meminta lainnya mengambil segepok surat yang disimpan di bawah tumpukan bajunya di dalam kardus.
“Jika suatu hari dia datang atau kalian melihatnya di jalan, tolong berikan ini kepadanya.”
Kalimat itu menutup perkataannya, menutup hidupnya. Napasnya tersengal-sengal setelah mengatakan itu lalu hilang seluruhnya. Mulutnya menganga, matanya terbuka. Bahkan di akhir hidupnya lelaki itu tak pernah tersenyum. Dia mati dengan meninggalkan pesan dan membuat warga sedikit menyesal telah menjenguknya. Hanya menyusahkan saja, pikir mereka. Pak RT yang ingin terlihat berwibawa itu mengurus proses pemakamannya dan membawa bingkai foto serta segopok surat itu ke rumahnya.


Liburan hanyalah memindahkan aktivitas dari satu tempat ke tempat baru. Definisiku mengenai liburan ditentang habis Nai. Bagi Nai, liburan melepaskan atribut sehari-sehari, menanggalkan pekerjaan, melakukan hal-hal baru. Mengunjungi tempat wisata, mencicipi makanan di berbagai tempat dan tentu saja mengabadikannya dalam bidikan kameranya.
Liburan bagiku hanya memindahkan aktivitas sehari-hari. Jika biasanya aku menikmati kopi di dalam kamar, kini berpindah ke penginapan. Jika menghabiskwan waktu berjam-jam di kedai kopi yang menurut Nai monoton karena hanya mendatangi tempat itu-itu saja, kini, mencicipi kedai kopi baru, tentu membawa komputer jinjing dan bekerja.
Ini yang paling menyenangkan; tidur seharian, leyeh-leyeh di atas tempat tidur, malas mengunjungi tempat wisata yang selalu ramai dan membuat pusing kepala.
Nai sangat kesal jika sudah bersiap-siap pergi dan aku masih mengumpet di balik selimut. Dia akan menarik selimutku dan aku akan menariknya kembali menutupi seluruh tubuhku. Terkadang, dia menyibak sedikit saja, membuat satu kakiku menyembul di ujung selimut. Dia akan mengelitiki telapak kakiku, menarik-narik jemariku dan jika upaya tak berhasil, dia menarik kakiku dengan kasar.
Yang paling menyebalkan, jika Nai membuka jendela dan membiarkan sinar matahari pagi yang menurutnya hangat dan menyehatkan itu, yang menurutku sangat mengganggu dan merusak tidurku, masuk melalui jendela. “Kalau cuma mau tidur, mending di rumah aja, nggak perlu pergi jauh-jauh,” umpatnya kesal.
“Kamu yang memaksaku pergi liburan. Aku cuma butuh tidur.”
“Jadi merasa terpaksa? Yasudah. Tidur aja sana atau pulang sekalian,” suaranya sedikit meninggi ketika mengatakan itu. Duduk di ujung kasur, membelakangiku.
Ini bukan strategi baru, Nai kerap melakukannya jika aku malas beranjak dari tempat tidur atau malas melakukan aktivitas di luar ruangan. Bodohnya, meski aku tahu ini hanyalah trik agar membuatku bangun, tetap saja aku mengikutinya. Nai tahu, sangat tahu, aku tak bisa melihatnya bersedih. Dia tahu aku sangat mencintainya dan trik ini, meski diulang berpulh-puluh kalipun tetap saja mempan terhadapku.
Aku memeluknya, mencium rambutnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ekor mataku menangkap senyuman di bibirnya. Senyum jail.
“Nggak mandi?” tanyanya ketika  aku keluar dari kamar mandi dan hanya cuci muka.
“Ini perintah juga?”
“Nggak hehehe.”
Tujuan wisata, tempat makan dan segala hal yang berkaitan dengan liburan kuserahkah ke Nai. Aku tidak memiliki rencana satu pun. Aku membiarkannya memilih tempat-tempat yang disukainya dan aku mengekor di belakangnya. Satu-satunya yang ingin kukunjungi hanyalah kedai kopi. Kepalaku butuh kafein agar bisa bekerja dengan normal. Dari sekian banyak tempat yang dikunjungi, Nai memberiku waktu menghabiskan satu hingga dua jam di kedai kopi.
Kupikir ini kesepakatan yang adil. Nai bahagia mengunjungi tempat-tempat yang disukainya, aku bahagia menemukan segelas kopi yang nikmat dan kita bahagia bisa melakukannya bersama-sama. Apalagi yang kurang dari melihat orang yang amat kamu cintai duduk di sebelahmu sambil tersenyum dan berbagi tawa bersama, kurasa tidak ada.
# # #
Aku terbangun, dipaksa bangun oleh denyut kepala yang tidak berhenti. Belakangan, sakit kepala lebih sering hadir daripada ucapan selamat pagi dari orang yang kucintai. Kaki kiriku menyembul dari ujung selimut.
Tidak ada yang mengelitikinya, tidak ada yang menarik satu per satu jemariku, tidak ada yang menariknya paksa keluar dari balik selimut. Tidak ada yang membuka jendela dan membiarkan cahaya matahari masuk. Tidak ada yang merengek dan memasang wajah kesal di ujung kasur sambil membelakangiku. Tidak ada yang kupeluk petama kali ketika kuterjaga. Tidak ada yang kucium rambutnya sebelum kakiku melangkah menuju kamar mandi untuk sekadar sikat gigi dan cuci muka.
Kehadiran Nai sebagai kekasih hanya ada dalam kepalaku, kepingan-kepingan masa lalu yang sering diputar di kepalaku dan aku menyaksikannya sambil beharap bisa memilikinya sekali lagi. Di kehidupan nyata, kehadirannya tak lebih sebagai seorang mantan kekasih, sebagai teman lama yang ingin berbagi cerita.
Tidak ada Nai di sampingku, bahkan di hari-hariku kini.