Aku ingin memeluknya, menyesap aroma tubuhnya, aroma farfum bercampur keringat. Mengelus rambutnya sebelum melepas pelukan. Membiarkannya menarik lenganku, menempelkan punggung tanganku di pipinya, hal yang selalu dia lakukan di awal dan akhir pertemuan kami. Namun kakiku seperti terikat rantai dengan bola-bola besi, susah payah kumelangkah. Dan pada jarak yang bisa kutempuh hanya dengan tiga langkah, tubuh kami seperti terpaku, tepatnya membatu. Butuh beberapa detik bagiku menarik kesadaranku kembali, melangkah, dan berdiri tepat di hadapannya.
Dia mengenakan kaus biru tua, celana pendek selutut, dan sepatu berwarna hitam, sepatu putih kesayangannya mungkin telah haus dimakan waktu, tak dapat lagi dikenakan. Pergelangan tangannya polos tanpa gelang yang menghiasinya. Gelang dari rajutan bahan berwarna merah dan ungu yang selalu dia kenakan, tak lagi melekat di sana.
Tak banyak yang berubah darinya, tubuhnya tetap tirus seperti terakhir kami bertemu. Namun satu hal yang membuatku tubuhku tadi begitu berat melangkan; matanya. Tatapannya kosong. Dulu, aku begitu mudah menemukan binar di sana. Di lain waktu, menemukan luka-luka di matanya. Kini, aku aku tak menemukan apa-apa selain tatapan kosong, tidak luka, tidak juga bahagia.
Kami menyusuri jalan berbatu, langkahnya pelan, tidak tergesa-gesa seperti biasanya. Perempuanku, perempuan yang kukenal dulu selalu berjalan cepat-cepat seolah sedang diburu atau memburu sesuatu. Dia akan marah jika aku berjalan lambat, menarik lenganku, mengamit lenganku. Menungguku mengangkat wajah setelah membungkuk mengatur napasku yang satu-satu akibat mengikuti langkahnya yang cepat-cepat. Menyodorkan sebotol air mineral, lalu menarikku kembali berjalan.
Dia menjatuhkan tubuhnya di atas bangku beton yang menghadap danau, menatap air mancur, menatap ke sekeliling. Matanya menyapu pemandangan dari kiri ke kanan, lalu kanan ke kiri, tapi tak pernah berhenti di mataku. Dia tak pernah menjatuhkan pandangannya ke mataku.
“Sudah lama ya nggak ketemu,” kataku berusaha memulai obrolan, tetapi kata-kata yang keluar seperti memulai percakapan dengan orang asing. Bukan, bukan dengan orang asing, melainkan dengan seseorang yang pernah sangat begitu dekat denganku dan kembali menjadi asing.
Lebih mudah berbicara dengan orang asing ketimbang berbicara dengan seseorang yang pernah menjadi sebagian dari dirimu lalu menjelma asing. Sebagian dirimu masih melekat di sana, sebagian dirinya masih melekat kuat di diriku, tetapi aku tak menemukan sisa-sisa itu, yang kutemuan hanya seorang perempuan baru, yang tidak kukenali.
Aku memilih diam, tidak menemukan kata-kata untuk memancing percakapan lagi setelah kalimat pembukaku hanya ditanggapi diam olehnya. Aku menyulut rokok, berharap zat nikotin ini mampu membuatku lebih tenang, membantuku mengeluarkan kata-kata yang hanya memenuhi kepalaku tanpa bisa keluar dari mulutku.
“Kenapa kamu kembali? Maksudku, kenapa kita bertemu lagi?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Aku nggak tau.”
“Dari sekian banyak pilihan kata di dunia, kamu memilih menjawab nggak tau. Kenapa nggak mencari tau?” ucapnya, yang lebih mirip perintah daripada pertanyaan yang memerlukan jawaban.
Aku sedikit kesal dengan perkataannya barusan. Pertemuan ini bukan sepenuhnya keinginanku. Dia yang memintaku datang, dia yang memintaku menemuinya, meski aku tidak bisa membohongi diriku, aku juga menginginkannya, merindukannya. Lantas, semua beban pertemuan kini diserahkan ke pundakku, seolah aku satu-satunya yang harus bertanggung jawab. Aku bisa saja meledak-ledak, tetapi kutahan. Mungkin dia tidak siap, aku pun tidak siap, kami hanya terlalu bingung menyikapi pertemuan ini.
Kami tahu, sama-sama mengetahui bahwa pertemuan ini bukan untuk memperjuangkan kami lagi. Bukan untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab. Kami telah menemukan jawaban dari perpisahan kami beberapa tahun lalu. Namun, jawaban ‘tidak bisa bersama’ tidak pernah memuaskanku, barangkali tidak pernah memuaskannya juga.
Dulu, setelah kami berpisah dan masih sangat dekat, ketika masing-masing dari kami masih menjadi rumah untuk sekadar singgah, dia pernah bertanya padaku, “Apa masih ada kesempatan membangun kita lagi? apa next-nya kalau kita bersama lagi?” satu-satu jawaban yang bisa kuberikan hanya ‘tidak tahu’.
Setiap langkah, setiap keputusan yang kami ambil akan menuai risiko. Risiko tidak datang, dia mengiringi. Ada di setiap keputusan yang kamu ambil, kamu harus memilih, dan risiko menemani setiap pilihanmu.
Aku pernah mengatakan padanya, baik aku atau kamu yang pindah keyakinan, akan menimbulkan masalah bagi kelaurga kita. Jika kita memilih menikah beda agama, hal serupa akan tetap ada. Bahkan, ketika kita memutuskan hidup bersama tanpa memusingkan ikatan pernikahan, tetap tidak menjadi solusi yang baik bagi kita.
Aku ingin mencintaimu dengan cara yang baik, dan menjalani hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bukan hal baik. Aku tidak mengatakan semuanya buruk, setiap hubungan memiliki konteks-nya masing-masing. Aku tidak menghujat orang-orang yang memilih bersama tanpa ikatan pernikahan, hanya saja, pilihan itu tidak berlaku untuk kita.
“Mungkin kita terlalu lelah mencari dan ingin singgah lagi,” jawabku.
“Aku lelah mencari. Aku sudah berusaha menjalin hubungan dengan orang lain, tetapi selalu gagal. Setiap orang yang hadir, aku selalu membandingkannya denganmu, dan itu membuatku tidak bisa mencintainya. Lubang dihatiku, hanya mampu ditutupi satu orang, kamu.”
“Dan kosongnya hatiku, hanya mampu diisi satu orang, kamu.”
Dia beranjak dari duduknya, berjalan pelan meninggalkanku setelah sebelumnya memintaku tetap duduk dan tidak perlu mengantarnya. Dia ingin sendiri, ingin berjalan sendiri. “Setidaknya, aku tahu, masing-masing dari kita masih memiliki rasa yang sama,” katanya.
Tanpanya, hatiku akan tetap kosong dan tidak ada yang bisa mengisinya. Tanpaku, hatinya tetap saja berlubang dan tidak ada yang bisa menutupinya. Namun kami tahu, hidup harus tetap berjalan, meski hati kami kosong dan berlubang. Kami masih menyisakkan sedikit harap, suatu hari, kami akan menemukan seseorang yang mampu mengisi lubang dan kekosongan hati kami.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, terus menjauh, lalu hilang ditelan tikungan jalan.



Ditanamnya pohon rindu di atas hatinya yang gersang. Cinta pernah tumbuh subur di sana, hingga luka datang tiba-tiba dan menghancurkan semuanya. Kesedihan tak ubahnya musim kemarau yang panjang, membuat tanah retak, mematikan harap. Dia mulai percaya, hatinya hanyalah tanah gersang yang tidak dapat ditumbuhi apapun, tidak cinta, tidak juga rindu. Dia memilih menyerah, pasrah, dan membiarkan hatinya kosong tanpa harapan.
Sepertihalnya perpisahan yang datang tiba-tiba, hatinya jatuh tiba-tiba. Tanpa persiapan dan tak sempat mengantisipasinya. Dia belum percaya dan tidak ingin percaya akan cinta. Baginya, cinta tak ubahnya bunga sakura, mekar, dan memberi keindahan, lalu gugur dan menyisakkan kesedihan. Hatinya dipenuhi ragu, kepalanya dipenuhi pertanyaan, benarkah ini cinta atau luka yang menyamar dalam jubah cinta.
Dia hampir tak percaya, jika saja kupu-kupu tak mengepakkan sayap dalam perutnya, membuatnya mulas dan berdebar-debar, dia tak percaya bahwa dia telah jatuh cinta. Jatuh pada lelaki sederhana yang tak pernah menuntutnya, tidak pernah memintanya untuk mencintainya. Lelaki itu hanya meminta satu hal darinya, biarkan dia mencintainya, tanpa perlu memaksakan cintanya berbalas.
Lelaki itu membuatnya percaya akan cinta. Ditanami hatinya dengan pohon rindu, dipupuknya setiap hari. Teruslah tumbuh menjadi batang yang kokoh. Teruslah tumbuh, akan kubuat ayunan di dahannya, tempatku menghabiskan senja bersama lelaki sederhana yang membuatku jatuh cinta, katanya pada dirinya sendiri.
Tetapi  hidup selalu berhasil mengejutkannya. Dia tahu benar, cintanya pada lelaki sederhana berdiri atas keyakinan berbeda. Dia tahu benar, mencintainya hanya membuatnya semakin terluka. Pada malam yang kelam, ditebasnya batang pohon rindu. Dia ingin membunuh cinta dalam hatinya, jika saja dia mampu, dia ingin melakukannya, tetapi cinta tetap saja bertahan, di atas hatinya yang mulai gersang kembali.
Lelaki itu tidak pergi, tidak pernah benar-benar pergi. Bahkan, setelah kekasihnya memutuskan pergi dari hidupnya, lelaki itu memilih bertahan. Dia ingin kekasihnya percaya, hatinya dapat ditumbuhi apa saja, ditumbuhi cinta, juga rindu, juga bahagia, tidak hanya luka-luka.
“Sebelum semua terenggut dan hanya menyisakkan kesedihan, singgahlah, akan kurawat lukamu. Kudampingi dirimu hingga kamu kembali percaya, cinta itu ada dan kamu telah menemukannya,” kata lelaki itu pada kekasihnya.   
Lelaki itu terus saja menunggu, hingga akhirnya dia tersadar, kekasihnya tidak akan pernah datang. Lelaki itu berkemas, meninggalkan perempuan yang pernah amat dicintainya. “Barangkali, cintaku tidak dapat tumbuh di hatinya. Mungkin di hati yang lain, semoga ada hati yang lain,” ucapnya pada dirinya sendiri.






“Kamu akan tetap menulis untukku setelah kita menikah nanti?”
“Kuharap masih. Mungkin tak sesering sekarang, tetapi aku masih ingin menulis untukmu. Terus menulis untukmu.”
Kelak, jika  Tuhan yang Maha Besar menjawab harapan kita dengan kebersamaan, aku ingin menulis tentang kita. Mensyukuri kebersamaan kita. Kita makhluk yang teramat kecil di alam semesta, tetapi memiliki impian yang amat besar. Usaha kita mungkin terlalu kecil untuk impian kita yang teramat besar, tetapi jika kita percaya Tuhan maha mendengar doa-doa kita, tidak ada yang terlalu kecil di matanya.
Aku akan menulis untukmu, meski tak sesering sekarang. Terlalu banyak yang ingin kusimpan, dan hanya sedikit yang ingin kubagikan. Aku ingin menyimpan kehidupan kita dalam memori kepalaku atau menuliskannya untuk diriku sendiri. Kamu boleh membacanya, tentu saja, kamu sangat boleh membaca segala hal yang kutuliskan untukmu.
Aku akan menulis kabahagiaan-kebahagiaan kita dan merahasiakan pertengkaran-pertengkaran kita. Segala luka yang kita hadapi bersama, biarlah hanya kita saja yang tahu. Aku menutupinya bukan karena ingin terlihat harmonis di hadapan manusia-manusia lainnya, tetapi bukankah seperti itu sebuah keluarga, saling menutupi segala keburukan masing-masing dan tidak mengumbarnya di hadapan orang lain.
Kita tidak akan menjadi sepasang suami istri yang sempurna. Aku tidak sepakat jika seseorang mengatakan, kita bisa menjadi pasangan sempurna ketika saling melengkapi satu sama lain. Kita tetaplah dua manusia yang berbeda, terikat dalam satu ikatan yang sama, pernikahan. Cara pandangku, cara pandangmu, sesekali berdiri pada sisi yang berlainan. Tak apa, kita tak selalu harus sama dalam memandang, tetapi kita harus sama dalam hal mempertahankan;
Tidak ada yang boleh menyerah untuk memperjuangkan kita.
Kelak, ketika Tuhan mengizinkan kita bersama dalam sebuah ikatan pernikahan, aku ingin tetap menulis tentangmu, tentang kita.
*gambar dipinjam dari sini


Dia memasangkan perekat pada permukaan kardus, diulanginya sebanyak dua kali, memastikan perekat tak terbuka dan menumpahkan isi dalam kardus tersebut. Kardus kelima yang dirapikannya hari ini, kardus-kardus terakhir yang akan dibawanya pulang ke rumah orangtuanya. Sisanya, biar aku yang urus dan kirim ke rumah orangtuamu, kataku yang hanya dijawab dengan anggukan. Hanya anggukan kepala, tidak ada kata-kata.
Aku meletakkan segelas teh susu di atas meja, minuman kesukaannya. Minuman yang selalu dia minta ketika hari-harinya begitu lelah selepas bekerja. Minuman yang selalu dia minta untuk menemaninya bekerja sepanjang malam. Minuman sederhana, tetapi terasa istimewa ketika kamu yang membuatnya, katanya suatu malam. Minuman pertama yang dia pesan ketika kami berjumpa kali pertama di sebuah kedai dan kini, menjadi minuman penutup dari cerita kita.
Dia menatap lekat-lekat sebuah figura berwarna cokelat muda yang dipasang di dinding rumah kami. Foto kami berdua, berdiri di atas hamparan rumput sebuah taman kota dengan latar belakang sebuah kafe bergaya kolonia. Di foto itu, wajahnya tampak terkejut, aku mencuri kecup ketika lensa kamera pintarnya yang di-setting durasi beberapa detik mengabadikan kami. Dia memukulku pelan, lalu tertawa setelahnya.
Bagi kami, foto ini selalu istimewa, lebih istimewa dari foto pernikahan kami. Hari itu, selepas berfoto, aku memintanya menjadi pendamping hidupku. Aku tidak menyiapkan apa-apa, tidak juga cincin berkarat emas, hanya sebuah cincin yang kubeli di emperan jalan. Anggukan kepala darinya membuatku bahagia, menjadi orang paling bahagia sedunia.
Rasanya, segala ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan lenyap seketika, berganti dengan optimistis, harapan menyembul dari dada kami. Kami tahu, jalan terjal telah menunggu kami di depan. Bukan hal mudah meyakinkan orangtua kami akan sebuah pernikahan di atas pijakan berbeda keyakinan. Namun kami tak menyerah, tidak ingin menyerah. Kami ingin berjalan bersama, seberat apapun medan yang harus ditempuh, kami memilihnya untuk melaluinya bersama.
Rumah tangga kami tak sempurna, tidak melulu hanya bahagia. Cara pandangnya, cara pandangku kerap berada di sisi berbeda. Pertengkaran kerap hadir di sana, menggoyang kapal pernikahan yang baru saja berlayar.
“JIka kita punya anak, kamu akan adzani dia?” tanyanya suatu hari.
“Mungkin, aku belum berpikir sejauh itu,” jawabku.
“hmmmm... jangan ya, aku nggak suka.”
“Iya, kamu mamanya, peranmu snagat besar, tapi mari kita ajarkan mereka untuk mengetahui ajaran agama kita. Kelak, ketika mereka tumbuh dewasa, mereka bisa memilih agama mana yang sesuai dengan keinginan mereka.”
Dan obrolan kami tentang anak, hanya sebatas obrolan yang tidak pernah terwujud. Kapal pernikahan kami karam, tidak dapat bertahan dari terjangan badai kehidupan. Kami memutuskan menyelamatkan diri dengan sekoci, menempuh bentangnya lautan, menuju daratan dengan kapal berbeda.
Kini, kami berdiri seperti dua orang asing, meski tak pernah benar-benar asing. Kami pernah membangun cerita bersama, meski akhirnya memilih untuk mengakhirinya, melanjutkan kisah hidup tanpa aku dan dia. Menjalani sisi-sisi hidup yang lain tanpa satu sama lain.
Dia meraih figura itu, menatapnya lekat-lekat. Menempelkannya ke dadanya, dipeluknya erat. “Aku yang simpan, ya,” ucapnya.
“Aku sebenarnya pengin simpan foto itu, kalau boleh.”
“Nanti aku scan dan kasih ke kamu,” katanya lagi. “Foto ini . . . membuatku mensyukuri banyak hal dalam hidup. Meski akhirnya kita berpisah, foto ini selalu mengingatkanku satu hal, kita pernah amat sangat bahagia dan aku bersyukur karenanya.”
Dia memasukkan figura itu ke dalam tasnya. Mengangkat satu kardus, memasukkan ke dalam mobil. Aku mengekorinya di belakang, membantunya membawa kardus-kardus tersebut. Teh susu telah mendingin, dibiarkan dingin tanpa disentuhnya. Barangkali, dia tidak ingin mengakhiri kisah kami dengan sesuatu yang selalu mengingatkannya akan pertemuan kami dulu.
Dia benar, segala kesedihan dan kekecewaan yang mengantarkan kami pada sebuah perpisahan, keputusan yang masih kami rutuki sampai hari ini, bisa sedikit terobati dengan sebingkai foto yang memuat kenangan indah. Pada akhirnya kita menyadari, selalu ada bahagia dalam cerita kita dan kita beryukur karenanya.




Aku tidak ingin merebut posisinya, menjadi pemeran utama dalam lakon hidupmu. Menjadi bahan dalam setiap obrolanmu, menjadi kebanggaan yang kamu tunjukkan di hadapan manusia-manusia. Menjadi alasanmu tersenyum sepanjang hari dan alasanmu menangis sepanjang malam. Dia yang kamu pilih sebagai aktor utama dalam hidupmu malah sibuk dengan segala urusannya, tidak acuh kepadamu. Pada malam-malam sepimu, dia menjadi aktor utama dalam hidup orang lain.
Aku tidak ingin menggantikan posisinya, pemeran utama dalam setiap jejak hidupmu. Aku mencukupkan diri menjadi figuran dalam setiap film yang kamu mainkan. Memastikanmu aman, memastikan tak seujung kukumu tersentuh kesedihan.
Namaku mungkin tidak pernah terselip dalam setiap percakapanmu, tidak pernah menjadi alasan dari segala bahagiamu. Tetapi, aku juga tidak pernah menjadi alasan dari setiap tangismu. Aku menantang segala bahaya untukmu, menanggung sebagian besar bebanmu, menjadi penampung segala kesedihanmu. Menjadi kotak tempatmu menyimpan rahasia-rahasia.
Aku hanyalah figuran dalam lakon hidupmu, tapi tanpaku, hidupmu tidak akan berjalan baik-baik saja.