“Mau oleh-oleh apa?” tanyanya dalam pesan singkat.
Dia mengatakan padaku tidak akan dapat dihubungi tiga hari ke depan, sinyal yang buruk penyebabnya dan dia harus menghemat baterai sehingga menggunan flight mode. Telepon genggamnya hanya digunakan untuk mengabadikan pemandangan, membantu merekam ingatan yang mungkin akan mengabur di kepalanya.
“Kamu.”
“Aku?”
“Cepet pulang. Pulang dengan selamat. Itu oleh-oleh yang kuminta darimu.”
Tidak ada kabar darinya, bahkan, setelah tiga hari berlalu dia belum juga mengabariku. Aku mengecek situs kereta, tidak ada kecelakaan. Aku juga menonton siaran berita pagi dan malam hari, tidak ada peristiwa kecelakaan. Kupikir, dia baik-baik saja, hanya sedang menikmati waktunya tanpa ingin diganggu siapa pun.
Hingga suatu malam, tepat seminggu setelah tak ada kabar darinya, dia mengirimkan pesan singkat kepadaku. Ajakan untuk bertemu esok hari di sebuah taman. Aku punya oleh-oleh spesial buatmu, tulisnya dalam pesan singkat itu. Aku mengiyakan ajakannya.
“Nih oleh-oleh spesial buatmu,” katanya membuka pembicaraan.
“Mana?” tanyaku.
Aku tak melihat sebuah bungkusan atau apapun di tangannya. Dia berdiri di hadapanku tanpa membawa apapun, hanya dirinya. Aku tak menangkap gerak-gerik aneh, kecuali senyumnya yang terasa aneh, seperti senyuman yang dibuat-buat dan aku curiga karenanya.
“Aku,” katanya lagi dan membuatku terperangah. “Selama tiga hari di gunung, aku baru sadar, satu-satunya nama yang terus menggaung di kepalaku cuma kamu. Aku suka atau tepatnya, aku mencintai gunung. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mendaki dari satu gunung ke gunung lainnya dan tidak pernah sekali pun merasa bosan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin pulang secepatnya. Ingin bertemu kamu. Aku memikirnya selama beberapa hari dan aku tahu jawabannya; aku mencintai kamu.”
“Maaf.”
“Nggak perlu minta maaf, Du. Aku tahu, kamu masih menyayanginya. Aku kadang iri, seperti apa perempuan itu dan betapa dia tidak menyadari kamu mencintainya dengan begitu besar. Aku hanya ingin kamu tau, ada seseorang yang begitu besar menyayangi kamu. Aku akan menunggu.”
Mungkin ini yang namanya pulang. Saat kamu menyusuri jalan di belahan dunia, saat kamu mendaki gunung, saat kamu melakukan hal yang kamu cintai, pada akhirnya, kamu akan merindukan rumah. Merindukan seseorang yang menunggumu dengan sabar. Membuat langkahmu cepat-cepat, membuatmu ingin segera meninggalkan aktivitasmu dan bertemu dengannya. Menunggu dengan wajah cemas di bandara, apakah dia datang menjemputku atau tidak.
Kelak, jika aku sedang berjalan di sebuah kota atau menatap bintang-bintang di atas gunung, aku ingin tahu, siapa yang terus menggaung di kepalaku. Apakah namamu.
Kelak, jika kamu sedang menyusuri sebuah kota, menunggu jadwal kepulanganmu di sebuah bandara, aku ingin tahu, apakah aku masih menjadi satu-satunya orang yang kamu harapkan datang menjemputmu di bandara. Orang yang kamu harapkan memberi pelukan hangat. Seseorang yang selalu menjadi rumah untukmu pulang.





Dentuman musik memekakkan telinga, ruang dengan pencahayaan minim, dan sekumpulan serigala yang tengah haus alkohol berkumpul untuk merayakan ulang tahunku. Ulang tahun hanyalah kedok agar mereka bisa menarikku kembali ke dunia malam, hal yang sudah kutinggalkan bertahun-tahun lamanya. Tapi, kali ini, kupenuhi permintaan mereka. Kapan lagi berkumpul dengan sekumpulan serigala pembuat onar. Mabuk, berantem di parkiran, atau tepar di emperan pub.
Bersama mereka, aku tidak perlu mendengarkan ocehan-ocehan orang tentang pancapaian hidup. Orang-orang yang menganggap pengulangan hari lahir sebagai momentum lahir baru, jiwa baru, dan target-target baru. Begitu membosankan mendengarkan orang-orang mengatakan hal yang sama setiap tahunnya. Kawan-kawan serigalaku hanyalah sekumpulam manusia yang marah pada dunia dan melampiaskannya pada botol-botol minuman.
Seorang teman menarik tanganku dan membawaku ke lantai tiga. Ruang temaram yang membuat kepalaku makin pusing rasanya. Dia menyerahkan sebotol minuman setelah membuka pintu kamar dan meninggalkanku begitu saja. “Nikmatinlah ulang tahunmu, kawan,” katanya.
Ruang temaram yang tak nyaman dipandang, kecuali perempuan yang tengah berbaring tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Aku duduk di ujung dipan, membelakanginya. Minuman di tanganku rasanya lebih menggairahkan dan ingin kulumat habis seketika. Setiap teguk yang mengalir di kerongkonganku, seperti tangan ingatan yang terus memanjang dan menarikku pulang ke rumah kenangan.
Aku merindukan perempuanku yang sedang memasak di dapur kontrakannya yang kecil. Memeluknya dari belakang, menciuminya. Dia akan mengusirku, memintaku duduk dan tidak menganggunya memasak. Hari ulang tahunku, terbuat dari masakan orang yang paling kusayangi, senyuman perempuanku, dan pelukan hangat.
Ulang tahunku hanyalah hari biasa yang kuhabiskan dengan tidur seharian di rumah. Aku sering bolos kerja, berpura-pura sakit hanya agar tidak mendengar ucapan dari teman-temanku. Kehadirannya, mengubah hari yang selalu kuanggap biasa saja menjadi luar biasa. Tidak ada perayaan, tidak ada kue berukuran besar dengan tumpukan lilin, tidak ada hiasan, hanya cup cake dengan satu lilin menyala, masakannya, dan perempuanku tentunya.
Isi botol telah berkurang separuh dan aku benar-benar tersesat di rumah kenangan. Di kepalaku, hanya kenangan tentangnya yang terus saja berputar-putar. Perempuanku yang mengenakan kaus putih belel, celana pendek dan rambut panjangnya yang diikat satu. Aku tak tahan melihat anak-anak rambutnya yang jatuh lalu menyelipkannya di telinganya. “Tanganmu bau rokok, keluhnya, lalu berusaha beranjak dariku. Aku menarik tangannya, dia duduk kembali, tepat di sampingku.
“Menikahlah denganku,” pintaku.
Perempuanku meremas ujung bajunya, air matanya jatuh satu-satu. Buliran hangat itu semakin deras mengalir di pipinya. Aku tahu, aku telah melukainya. Pertanyaan tentang pernikahan seharusnya kuenyahkan dalam kepalaku, tapi aku tidak mau melepasnya, tidak bisa kehilangannya lagi.  
“Aku tidak menyangka kamu mengajukan pertanyaan sakral itu, sedangkan kita tahu jawabannya,” ucapnya lirih.
“Aku tahu, tapi aku tidak ingin menyerah. Belum pernah menyerah untuk kita.”
“Sebaiknya kamu pulang, sudah larut.”
Kutenggak habis minumanku, rumah kenangan hancur, serpihan-serpihannya hilang diterbangkan angin, mengembalikanku pada kesadaran. Kesadaran yang mengingatkanku bahwa sekali lagi aku telah dikalahkan hidup yang brengsek ini.
Cinta yang membuatku berjuang mati-matian, cinta juga yang mengalahkanku.
Sekumpulan serigala barbau alkohol berdiri mematung di hadapanku. Heran menatapku yang tak menyantap mangsa empuk di atas kasur itu. Seorang teman menarikku keluar dari ruang pengap itu, mengajakku melempiaskan kemarahan pada botol-botol minuman. Lainnya memangsa perempuan itu.






Nak, manusia yang besar, bukan hanya mereka yang menggenggam kemewahan hidup. Kamu benar, di negeri ini, kekayaan membuat orang menjadi terpandang dan kemiskinan hanya membuat orang lain enggan menatap wajah orang lain meski hanya menggunakan sebelah matanya. Tapi, Nak, jika kau tak memiliki harta berlimpah, bukan berarti kamu kecil di hadapan manusia-manusia.
Kakekmu hanya seorang guru agama miskin. Mengajar ngaji di kampung tanpa memungut biaya sepeser pun dari murid-muridnya. Dia disegani banyak orang, bahkan setelah wafat berpuluh-puluh tahun, rasa hormat warga tidak memudar, kehormatan itu terus mengalir ke keluarga kita. Uwakmu meneruskan jejak kakekmu, menjadi guru ngaji dan disegani, begitu pun bapakmu. Meski hanya seorang ustad kampung, dia dihormati banyak orang.
Nak, kelak, jika kamu memiliki kekayaan, kuharap, bukan itu yang membuatmu dihormati banyak orang tapi sikapmu pada orang lain. Kebaikan dan kemurahan hatimu pada sesama. Kamu pernah merasakan tak ada lauk pauk menjelang hari raya, mengenakan pakaian yang sama selama bertahun-tahun, warnanya telah memudar dimakan usia. Maka, berilah sedikit kebahagiaan pada mereka agar mereka terhibur di hari raya. 
Nak, belajar memaafkan agar hatimu lapang. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk dirimu sendiri. Memaafkan tidak membuat orang yang melukaimu merasa lebih baik, tetapi membuatmu merasa lebih baik. 
Ibu tahu, kamu lelaki pendendam. Kamu marah pada dunia. Di matamu yang menyimpan luka, bara kemarahan sering menyala di sana, siap membakar siapa saja, apa saja. Ibu merindukan matamu yang teduh. Mata bocah baik hati, mata  lelaki yang mengalirkan kasih sayang. Kamu harus ingat, satu musuh, satu orang yang kaubenci terlalu banyak untuk dunia fana ini. Jangan bebani hidupmu untuk membenci orang lain. 
Nak, jangan terbebani dengan pertanyaan ‘kapan menikah’ dari banyak orang. Mereka tak benar-benar mengenalmu, tak benar-benar tahu kondisimu. Orang-orang terdekatmu memahami keputusanmu. Ibu, bapak, dan kakakmu tidak bertanya, bukan kami tidak ingin kau segera membangun rumah tangga tapi kami memahami kondisimu.
Kamu anak paling pendiam di rumah, kamu menyimpan bebanmu seorang diri. Sejak kau bekerja sambil kuliah, ibu tidak pernah mendengarmu mengeluh. Ibu tahu, beban yang pikul berat meski kau tidak pernah mengatakannya. Guratan wajahmu terbaca jelas olehku. Hatiku selalu tahu kondisi anakku.
Nak, kesedihan bukanlah sesuatu yang bisa kauhabiskan seorang diri. Bagi bebanmu pada orang yang kaupercaya.



Nak, matahari tak selalu terik dan membakar, ada kalanya dia begitu hangat dan menenteramkan. Jangan terlalu larut dalam kemarahan, amarahmu akan menghanguskan apa saja, siapa saja, termasuk dirimu sendiri. Jadilah matahari pagi, lembut dan menghangatkan. Cintai seseorang dengan lembut, marah untuk sesuatu yang pantas membuatmu marah lalu melembutlah. Beri dia kehangatan agar nyaman bersamamu.
Nak, senja yang dipuja-puja tak pernah angkuh dan merelakan dirinya dibalut malam. Keindahan yang tak pernah bisa digenggam, keindahan yang hanya berlangsung sesaat. Begitu pun cinta, Nak, ada yang tak bisa kaugenggam meski sangat kauinginkan. Senja mengajarkanmu arti berserah, mengajarkanmu arti merelakan. Belajarlah melepas, belajar merelakan.
Nak, bumi tak pernah mengeluh meski dihujani. Tak pernah marah meski manusia-manusia tak ramah. Bumi mengajarkanmu arti kesabaran. Ingat, tidak ada kesedihan yang menetap selamanya, tidak ada bahagia yang bertahan selamanya. Jika hidup memberimu luka-luka, balutlah lukamu. Jika hidup memberimu bahagia, bersyukurlah. Jangan menyerah, karena bumi tak pernah menyerah untuk manusia, untukmu.
Nak, awan kelam kerap menutupi cahaya bintang, cahaya bulan, langit hanya berupa jubah hitam pekat. Begitu pun pandanganmu, tak melulu jelas, terkadang kamu tak melihat apa-apa selain kegelapan yang mamatikan harap. Tapi, angin akan membawa awan mendung pergi perlahan, cahanya bintang dan bulan akan menerangi langkahmu.
Nak, jika seseorang yang selalu kamu sebut namanya dalam doa-doamu tak menjadi jodohmu, percayalah, akan ada seseorang yang selalu menyebut namamu dalam setiap doanya. Seseorang yang menginginkanmu melebihi apapun, melebihi siapapun. Bersabarlah, kamu dan dia akan saling menemukan.
Nak, gema takbir kemenangan sebentar lagi berkumandang. Bersyukurlah agar hatimu lapang, agar hatimu tenang.