Barangkali kamu tak mengingat apa-apa. Tak apa. Tak ada kewajiban bagi kita merawat pohon kenangan. Aku ingin merawatnya, meski kutahu, luka akan tumbuh subur bersama pohon kenangan yang kian tumbuh besar di hati dan kepalaku.
Seseorang selalu membutuhkan tempat singgah bahkan setelah menemukan rumah untuknya pulang. Kamu, rumah paling nyaman, memberi kehangatan, memberi rasa tentram. Caramu melihat, tak seperti kebanyakan orang yang hadir dalam hidupku. Jernih. Caramu mendengarkan selalu berhasil membuatku mengeluarkan kata-kata yang seringkali harus kutahan agar tak kuungkapkan. Hatimu seperti pintu tanpa kunci, selalu terbuka bagi orang-orang yang kausayangi, katamu padaku.
Matamu seperti pohon rindang yang meneduhkan, terkadang tajam seperti pedang. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutmu mencerminkan hati dan kepalamu. Kamu mengungkapkan apa yang ada di kepalamu. Kamu mengucapkan apa yang hatimu rasakan tanpa takut membuat orang lain terluka dan seringkali membuat orang lain terluka. Tapi, kamu selalu ada, ketika satu per satu pesinggah pergi, ketika orang yang kamu cintai memilih pergi, kamu belajar melepasnya dan menerimanya singgah di hatimu seperti tak terjadi apa-apa, katamu lagi.
Kepalamu seperti batu, keras dan pandir. Kamu berjuang seolah tak mengenal kata cukup, memperjuangkan cinta tanpa mengenal kesia-siaan. Kepalamu, naif adanya. Betapa bodohnya dirimu dikalahkan cinta dan itu justru yang membuatmu istimewa. Kamu terlahir mencintai seseorang dengan tulus meski tak ada cinta yang benar-benar tulus untukmu. Kamu, lelaki terbodoh yang pernah kutemui dan aku membencimu setengah mati. Kuharap kamu mati muda agar tak hidup dengan ilusi cinta dan tak dibodohi banyak wanita.
Cintamu, cinta yang tabah. Dipenuhi luka-luka. Anehnya, kamu selalu berhasil percaya, ada cinta yang baik untukmu.
*Mengenang kematianmu. Jika doamu dikabulkan, kita akan berjumpa dalam waktu dekat

Di balkon lantai dua, kopiku mendingin dihajar udara malam. Dengan mata yang tetap terjaga, kulihat langit yang keruh, berisi bintang-bintang redup yang hendak jatuh. Hening, malam menelan suara-suara manusia, hanya bunyi kendaraan dari kejauhan, bunyi tiang listrik yang dipukul petugas ronda. Sebentar lagi, dunia tak akan sama. Sesaat lagi, kita tak menjadi siapa-siapa, tak berarti apa-apa.
Bintang jatuh, seperti biasa, selalu tergesa-gesa. Ekor mataku yang menangkapnya.
Aku ingin berdoa, ingin meminta, dan sekali saja, aku tak ingin mendapat jawaban tidak. Aku ingin bersamamu, perempuanku. Sebentar saja, saling memeluk, saling menggenggam. Diam, duduk dengan tenang. Tak perlu pergi lagi, tak perlu bersembunyi lagi. Sebentar saja, tak perlu selamanya. Aku mencintaimu dan jika waktu untukku hanya sementara, itu pun tak apa. Jika lukaku tak akan sembuh selamanya, itu pun tak apa.
Aku ingin menukar seluruh bahagia dengan pertemuan singkat kita.
Sayangnya, setelah perpisahan yang merenggut percakapan-percakapan, aku tak pernah tahu kabar tentangmu. Aku merindumu dan berharap kamu bahagia.

Aku belum pernah berhadapan dengan kematian, belum pernah melihat malaikat maut, tapi kupastikan, wajah lembut yang berkeriput didera waktu, wajah perempuan tangguh yang ditempa kalut puluhan tahun, wajah yang memandangimu dengan mata berkaca-kaca, sudut mata yang basah, tapi ditahan agar tak tumpah, mampu mencerabut nyawamu dari jasadmu. Wajah perempuan yang melahirkanku, menatapku dengan sendu, hatiku hancur seketika.
Jemari tangannya menguning, aroma kunyit menyeruak dari sana. Tangannya basah diselimuti wudhu yang tak pernah dibiarkan hilang dari tubuhnya. Tangan itu yang kini memegang tanganku, mengusap-usap lembut punggung tanganku. Tangan yang membesarkanku, memasak puluhan tahun di dapur rumah, mencuci, menyetrika, dan memelukku dengan bangga ketika hari kelulusan meski nilaiku tak seberapa.
“Mama sering masuk rumah sakit, akhir-akhir ini semakin sering aja. Mama khawatir tak sempat melihatmu menikah, tak melihat menantu Mama merawatmu kelak. Sudah ada seseorang, Nak?”
Jika orang lain yang bertanya, aku akan menjawab seadanya. Menghalau tatapan penuh tanya dari keluarga besar bukan hal sulit bagiku. Aku tak pernah terbebani dengan pertanyaan semacam itu. Dan untuk kali pertama, mama bertanya padaku. Dia selalu menjadi orang pertama yang melindungiku dari pertanyaan-pertanyaan keluarga besarku. Perempuan bersahaja yang menjadi benteng untuk melindungi anak-anaknya.
Hatiku dipenuhi satu orang. Satu nama yang tidak pernah memudar dari kepalaku. Aku pernah memintanya menjadi pendamping hidupku. Dia perempuan pertama yang membuatku berani melangkah sejauh ini, perempuan yang membuatku yakin akan pernikahan. Perempuan yang membuatku berani bermimpi banyak hal setelah didera kekalahan-kelahan hidup. Perempuan pertama yang kuminta menjadi istriku dan perempuan pertama yang menolak lamaranku.
Aku tak menyalahkannya, juga tak ingin memaksanya. Aku memahami kondisinya dan menghormati keputusannya. Dan masih mencintainya sampai hari ini, sampai esok, dan nanti-nanti.
“Baru putus, Ma, butuh waktu lama mencari penggantinya. Mungkin bertahun-tahun,” jawabku. Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Aku tak ingin membebaninya dengan cerita-cerita kegagalanku melamar perempuanku.
Tangan itu melepas genggamannya dari tanganku, menangkup wajahnya, air mata yang sedari tadi ditahannya agar tak tumpah, kini mengaliri pipinya. Isak yang pelan, tapi jelas terdengar. Sekali lagi, dalam hidup, aku telah menyakitinya. Hatiku tambah sakit rasanya.
“Jangan terlalu lama,” katanya, pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Umurmu sudah cukup, Nak. Jika kamu mau, Mama bica carikan untukmu, banyak gadis baik yang Mama kenal.”
Hatiku belum sembuh benar, lukaku belum mengering sepenuhnya. Kepala dan hatiku masih berisi satu nama dan aku masih mengharapkannya. Aku memang tidak pernah memintanya lagi, bukan aku tak mencintainya lagi, aku hanya tak ingin mengganggu kehidupannya. Aku selalu memegang prinsipku; memperjuangkan orang yang kita cintai itu baik, tetapi jika itu membuat orang yang kita sayangi terganggu, aku akan memilih diam.
Aku ingin menemukan dan ditemukan. Menemukan seseorang yang kubutuhkan, bukan sekadar kuinginkan. Aku ingin ditemukan seseorang yang membutuhkanku, bukan sekadar menginginkanku. Kupikir, butuh waktu lama menemukannya. Mungkin setahun, dua tahun, bertahun-tahun, atau mungkin aku tak akan menemukannya dan menghabiskan hidupku sendiri saja.
Aku ingin mengatakan semua hal yang ada di kepalaku. Menceritakan perempuanku kepada mamaku, namun bibirku kelu.  Aku tak ingin melihat air matanya jatuh lagi, cukup sudah aku menyakitinya. Dalam hidup singkat ini, aku ingin melihatnya bahagia, membahagiakannya.
“Aku sedang tidak mencari, tapi kalau Mama pilihkan, aku menyetujuinya. Aku percaya, pilihan Mama baik untukku. Aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Mungkin aku tidak bisa menikahi perempuan yang kucintai, tapi aku akan membahagiakan perempuan yang kunikahi.


“Dia akan datang pada setiap kesempatan yang dia punya. Dia akan datang, aku yakin dia ingin datang, hanya saja tidak sekarang, bukan sekarang, tapi dia pasti datang.”
Tapi dia tidak datang, sekarang, kemarin, kemarin lagi, sebulan, setahun, bertahun-tahun lalu, dia tidak pernah datang. Ingin sekali kuucapkan kalimat itu kepadamu, ingin sekali aku meneriakkannya tepat di depan wajahmu agar kamu sadar, dia tidak akan datang, tidak hari ini, esok, lusa, sebulan, setahun, dan kamu akan menghabiskan tahun demi tahun hanya menunggu seseorang yang bahkan tak sempat membalas pesanmu di hari berkabungmu.
Jika dia mencintaimu, menginginkanmu sebesar kamu menginginkannya, dia akan membuat waktu untukmu, tak sekadar meluangkan waktu yang dia punya. Kamu bukan sisipan yang bisa diselipkan di tengah kesibukannya. Kamu bukan tamu sekali datang yang harus membuat janji hanya sekadar bertegur sapa lalu diabaikan. Kamu bukan wahana hiburan, saat hidupnya menjadi begitu membosankan, dia baru datang kepadamu, bermain denganmu lalu pergi begitu saja.
Sudah berapa banyak malam-malam penuh tangsian kamu habiskan untuknya. Sudah berapa kali kamu mengganti telepon genggam yang kamu hancurkan saat dia tak jadi menemuimu. Sudah berapa tulisan yang kamu buat hanya untuk satu orang, satu nama yang tak menjadikanmu prioritas dalam hidupnya.
Aku ingin mengatakan semua itu, namun urung kulakukan. Di matamu, aku melihat diriku. Aku yang rasional, yang mengkalkulasi banyak hal, yang menyerah begitu mudahnya tanpa kepastian. Di matamu, kutemukan diriku yang irasional. Aku yang mencintai seseorang yang mencintai orang lain. Mengharapkan seseorang yang mengharapkan kehadiran laki-laki lain, mendengarkan satu nama bertahun-tahun, kisah-kisah sedih yang itu-itu saja. Aku yang tetap berjuang meski telah berkali-kai diminta pergi. Aku yang menawarkan hatiku untukmu pulang, meski kamu hanya sesekali datang lalu pergi lagi, mengejar rumah yang bahkan tak pernah bisa kamu gapai.
“Dia akan datang,” kataku.
“Kamu juga percaya itu?” tanyanya.
“Dia akan datang . . . saat kamu belajar melepasnya. Saat kamu memutuskan tak lagi menunggunya. Saat hatimu belajar mencintai orang baru. Dia akan datang, karena dia tak ingin kehilangan seseorang yang dia tau amat sangat mencintainya. Memahami semua perbuatannya, menerimanya kapan pun dia datang. Dia menginginkanmu, tapi hanya sebatas itu.”




Aku lahir dan dibesarkan sepi. Pada usiaku yang masih balita, aku telah dikenalkan arti sepi sesungguhnya. Seperti halnya keluarga-keluarga sederhana lainnya, kedua orangtuaku bekerja di pasar, aku dititipkan pada nenekku, perempuan tangguh yang ditinggal mati suaminya puluhan tahun. Di depan rumah sederhana, dia menjajakan makanan ringan di atas meja, menggantung plastik berisi air di atasnya guna mengusir lalat-lalat, namun matanya tetap awas mengamatiku yang tidak pernah bisa diam.
Aku lupa bagian ini, ingatan tentang masa kecilku perlahan tenggelam ditindih ingatan baru. Nenek kerap menceritakannya berulang-ulang padaku, betapa tidak bisa diamnya diriku dan selalu membuat gaduh. Bekas luka di pelipis kananku sebagai bukti kenakalanku waktu itu, luka itu masih ada hingga saat ini.
Masa remajaku pun diisi sepi. Gemar kabur dari sekolah tidak membuatku akrab dengan teman-teman yang sering menongkrong di warung saat jam pelajaran berlangsung. Aku memilih duduk di pojok, merokok seorang diri atau membaca buku hasil curian dari perpustakan sekolah.
Dan, seperti cerita-cerita sebelumnya, kisah hidupku hanya serangkaian cerita murahan yang monoton dan mudah ditebak, sepi selalu menemaniku. Jika sepi menjelma manusia, kupikir dia satu-satunya kawan yang kumiliki dan aku tak pernah berniat kehilangannya.
Sepi itu baik, begitu pikirku. Jika kamu membaca novel-novel karangan Haruki Murakami, dengan mudahnya kamu menemukan tokoh penyendiri. Pengarang Jepang yang dianggap berkiblat ke Barat sebagai insipirasi dari tulisan-tulisannya itu seolah berkata kepada pembacanya; sendiri itu baik, sepi itu baik, dan di dunia yang sejak awal di-setting tidak adil ini, banyak orang yang menjalani hidupnya sendiri. Jadi, meski kamu sendiri, kamu tidak pernah benar-benar sendiri.
Namun akan berbeda jika sepi berubah menjadi kesepian. Kesepian tidak mengenal waktu dan tempat, dia datang kapan saja, menyerang kapan saja. Kamu bisa merasa kesepian di tengah kerumunan massa sekali pun. Jika sepi membuatmu tenang, kesepian membunuhmu perlahan-lahan dan dunia tidak lagi nyaman untuk ditempati.
Tapi hidup terkadang bergerak seperti yang di katakan motivator di televisi atau kata-kata bijak yang kamu temukan di media sosial “hidup adalah serangkaian kejutan” dan itu terjadi dalam hidupku. Hidup berhasil mengejutkanku. Plot hidupku yang datar dan tidak nyaman jika seseorang membacanya, berubah total. Tokoh baru dalam cerita hidupku memberi warna dan mengubah jalan cerita yang itu-itu saja.
Kehadirannya tidak tiba-tiba, tidak membuat wajahmu merona pada pertemuan pertama atau jantungmu berdetak lebih kencang dari biasanya, perut yang tiba-tiba mulas seperti ada seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya dan kamu mulai percaya, kamu telah jatuh cinta.
Surat elektronik darinya telah dikirimkan beberapa bulan lalu, anehnya, aku tidak menyadarinya. Begitu pun kehadirannya di blog serta akun sosial mediaku, aku tak pernah menyadari kehadirannya. Lalu, pada malam hari, di tengah obrolan bersama teman-teman, sebuah pesan singkat masuk. Dari sanalah tokoh ini benar-benar masuk ke dalam hidupku.
Dan cerita ini berlanjut seperti yang kalian baca di blog-blog sendu – aku salah satunya – tidak ada hari tanpa pesan-pesan singkat dan malam terasa lebih panjang dari biasanya. Ada jeda beberapa hari saat kami tak saling menghubungi. Sederhana saja, aku tengah sibuk dikejar deadline majalah, dia sedang melakukan perjalanan dan berpuasa komunikasi dengan siapapun.
“Bagaimana rasanya jadi kamu?” tanyanya suatu hari ketika kuceritakan padanya bahwa aku lahir dan dibesarkan sepi.
Tidak ada yang istimewa, kecuali aku tidak mudah bertemu dan akrab dengan orang baru serta tidak pandai berteman dengan orang lain. Jika dipikir-pikir, temanku tidak lebih dari jumlah jari di kedua tanganku dan aku merasa tidak kekurangan atau merasa sedih akan hal itu.
Aku pamit sebentar dan akan mengunjungimu nanti, kata sepi kepadaku saat aku dan tokoh ini memutuskan berpacaran. Dan benar saja, sepi tidak terlihat lagi di sekelilingku. Datangnya tokoh ini ke dalam hidupku dan menjelma kekasihku, sepi tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Hari-hariku bergerak tanpa sepi, malam-malamku selalu diisi dengan percakapan-percakapan panjang.
Namun sepi tiba-tiba datang kepadaku, mengangetkanku. Kupikir, ia akan datang seperti seorang teman lama yang tidak berjumpa puluhan tahun, singgah ke rumahku dan menghabiskan bergelas-gelas kopi serta berpuluh-puluh batang rokok semalam suntuk lalu pergi keesokan harinya. Nyatanya, sepi datang lebih cepat dari perkiraanku. Bukan saja singgah, dia datang untuk menetap dalam hidupku. Beberapa hari setelahnya aku baru menyadari arti kehadirannya lagi dalam hidupku, aku dan tokoh ini berpisah. Memilih menjalani sisi hidup kami yang lain, sisi hidup tanpa kehadiran masing-masing.
Aku sering berharap, sepi akan datang saat usiaku telah beranjak senja. Istriku telah meninggal, anak-anakku telah besar dan berkeluarga. Mereka jarang mengunjungiku karena kesibukannya dan sepi datang tergesa-gesa menemuiku. Menemaniku duduk di teras rumah pada pagi hari, menikmati secangkir kopi tanpa gula sambil membaca koran. Menemaniku saat hantu-hantu kenangan menghantui malam-malamku.
Sepi datang terlalu dini, membawa serta kesepian bersamanya.
Kesepian adalah cara terburuk bunuh diri. Dunia tak lagi nyaman untuk ditempati. Aku merasakannya saat ini.
note;
Mengenai tokoh ini, aku tidak ingin menghapusnya. Kehadirannya tetap saja memberi warna dalam hidupku. Semoga dia baik-baik saja dan berbahagia.