Pagi masih terlalu muda ketika gelas kertas berisi kopi hitam mendarat di mejaku, mengeluarkan aroma lapuk yang tak menggugah selera. Kopi encer yang dibuat serampangan oleh tangan-tangan malas dan wajah kantuk pelayannya. Terpaksa kuteguk karena gigil mulai menjalar ke tubuhku.
Di atas kepalaku awan hitam berkumpul seperti gerombolan para domba yang digiring pegembala. Petir berkilat-kilat, merobek kain langit yang tampak muram. Alam memberikan latar suara magis di pagi yang syahdu, sebelum dirusak suara bising kendaraan. Latar yang mengiringi pertemuan kita.
Aku terpanggil, katamu memulai percakapan. Kamu menyebutkan nama negara, nama kota-kota, tempat wisata, penginapan, menyebutkan angka-angka. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini akan berakhir. Cukup kusimpulkan melalui satu kata: perpisahan.
Sudah kuhafal intro itu. Mimik wajahmu, cerita-cerita yang kamu bangun sebelum menuju kesimpulan yang sebenarnya begitu sederhana. kamu akan bercerita panjang lebar mengenai keberangkatanmu, perjalanan panjang untuk menemukan dirimu yang sebenarnya. Cerita panjang yang membutuhkan sepasang telinga untuk mendengarkan. Cerita dengan akhir yang sama, hanya nama-nama yang di dalamnya berbeda. Cerita yang tidak pernah melibatkan diriku di dalamnya, keculi rencana-rencana di awal keberangkatan dan kisah yang kamu bawa pulang.
Bertahun-tahun kusiapkan diriku menjadi tempat paling nyaman untukmu pulang. Tahun-tahun yang kulewati hanya untuk mendengarmu mengatakan tak akan mencari lagi, tak akan pergi lagi. Tahun-tahun yang sama kuhabiskan untuk meyakinkanmu bahwa ada aku yang selalu menunggumu. Tahun-tahun yang berakhir dengan sekali kedatangan, cerita-cerita panjang, dan berakhir dengan kepergianmu.
Kutarik ritsleting jaketku hingga ke ujung pangkal, gigil mulai menguasaiku. Entah karena pagi yang muram dan matahari yang tak kunjung datang atau karena kabar yang kuterima darimu hanya akan berujung pada perpisahan.