“Ini seperti di sinetron,” katanya, membuka percakapan, “datang seseorang yang lebih baik, lebih soleh, dan lebih mapan darimu.”
Kalimatnya menggantung di sana. Ia butuh jeda. Kata-kata barangkali sedang memenuhi kepalanya dan ia harus memilih kata yang tepat, yang tak melukaiku lebih dalam. Meski sehalus apa pun kata-kata yang dipilihnya, perpisahan tetap saja menorehkan luka.
“Dan itu membuatku ragu melangkah bersamamu,” katanya lagi sambil melempar pandangannya dariku ke arah anak kecil yang bermain di taman itu.
Kalimat yang baru saja ia lontarkan kepadaku membuatku terbelah dua. Sebagian diriku kecewa, karena seseorang yang ingin kubagi semua-semuanya dalam hidupku, menjalani satu per satu bagian hidup, menyusun rencana hidup bersamanya, tak memilihku.
Sebagian diriku yang lain menyadari bahwa, ia berhak bahagia dengan seseorang yang ia inginkan dan ia butuhkan. Meski apa-apa yang ia inginkan dan butuhkan, tidak ia temukan dalam diriku.
Keputusannya tidak memilihku dan keputusanku untuk menghargai keputusannya, kuharap akan membawa hal baik bagi kami di kemudian hari.
Hari ini, di taman ini, ketika ia memintaku berhenti menghubunginya lagi, membuatku tak bisa apa-apa selain belajar menerimanya. Ketika langkahnya menjauh dariku, aku berjanji pada diriku akan memperbaiki diri sekaligus berdoa, semoga apa-apa yang ia harapkan akan tercapai.
Semoga ia bahagia.