Aku ingin bilang, aku paham keraguanmu. Namun tidak sepatah kata pun yang keluar. Aku ingin bilang, aku mengerti ketakutanmu untuk memulai dan sendiri menjadi pilihan paling masuk akal buatmu.
Aku ingin kamu tahu bahwa aku memahamimu, tapi, entah kenapa di saat seperti ini aku justru kehilangan kemampuan berkata-kata. Di saat kamu butuh dikuatkan dan diyakinkan.
Barangkali, kebisuan menjadi hadiah untuk akhir sebuah pertemuan. Sebab ‘sementara’ yang kamu ucapkan di ujung pertemuan, menjadi akhir segalanya. Kamu menutup pintu rapat-rapat untuk semua hal yang berkaitan dengan kita.
Tapi, kalau aku masih punya kesempatan untuk menjawab, aku memilih untuk tetap ada di sini.
Duduk di sampingmu. Melihatmu gemetar menahan tangis ketika bercerita tentang kekecewaan. Di tengah tangismu yang belum yang reda, kamu melanjutkan cerita, tentang tanggung jawab, tentang membahagiakan orang-orang tersayang, tentang impian, harapan, rencana-rencana yang telah kamu susun dan ingin segera kamu wujudkan.
Matamu yang memerah itu menatapku ketika punggung tanganku menyentuh pipimu, menghapus air matamu. Tangan tirusmu meraih tanganku, menggenggamnya erat. Aku ada, selalu ada, di sini, di sampingmu, menemanimu, kataku, membuat tubuhmu yang sempat kaku berangsur mengendur. Kubiarkan kamu bersembunyi di pelukanku.
Aku ingin di sampingmu. Menemanimu melewati semua-semuanya. Menjalani semua fase hidup bersamamu. Aku ingin terus berjalan bersamamu. Menginjak tempat-tempat baru, melakukan hal-hal baru. Mengulang kecupan yang sama, pelukan yang lebih erat dari sebelumnya.
Kamu perjalanan terjauh yang pernah aku punya.
Kalau kamu perlu lebih banyak waktu untuk punya keberanian dan bisa kembali percaya, silakan ambil sebanyak yang kamu mau. Aku mau menunggu dan jangan pernah suruh aku pergi.*
*video klip Orang Biasa – Glenn Fredly

“Ini seperti di sinetron,” katanya, membuka percakapan, “datang seseorang yang lebih baik, lebih soleh, dan lebih mapan darimu.”
Kalimatnya menggantung di sana. Ia butuh jeda. Kata-kata barangkali sedang memenuhi kepalanya dan ia harus memilih kata yang tepat, yang tak melukaiku lebih dalam. Meski sehalus apa pun kata-kata yang dipilihnya, perpisahan tetap saja menorehkan luka.
“Dan itu membuatku ragu melangkah bersamamu,” katanya lagi sambil melempar pandangannya dariku ke arah anak kecil yang bermain di taman itu.
Kalimat yang baru saja ia lontarkan kepadaku membuatku terbelah dua. Sebagian diriku kecewa, karena seseorang yang ingin kubagi semua-semuanya dalam hidupku, menjalani satu per satu bagian hidup, menyusun rencana hidup bersamanya, tak memilihku.
Sebagian diriku yang lain menyadari bahwa, ia berhak bahagia dengan seseorang yang ia inginkan dan ia butuhkan. Meski apa-apa yang ia inginkan dan butuhkan, tidak ia temukan dalam diriku.
Keputusannya tidak memilihku dan keputusanku untuk menghargai keputusannya, kuharap akan membawa hal baik bagi kami di kemudian hari.
Hari ini, di taman ini, ketika ia memintaku berhenti menghubunginya lagi, membuatku tak bisa apa-apa selain belajar menerimanya. Ketika langkahnya menjauh dariku, aku berjanji pada diriku akan memperbaiki diri sekaligus berdoa, semoga apa-apa yang ia harapkan akan tercapai.
Semoga ia bahagia.




Kamu beranjak dari tempat duduk selepas memasukkan telepon genggammu ke dalam tas. Berjalan meninggalkan meja tempat kita mengisi waktu dengan percakapan. Punggungmu kian menjauh dari pandanganku. Aku hanya perlu mempercepat langkah untuk sampai di sampingmu, namun jarak yang membentang itu rasanya tak mampu kukejar meski berlari sekalipun.
Dari jarak ini, aku bisa melihatmu lebih utuh. Menilai perasaanku kepadamu secara lebih jernih. Dari jarak yang seharusnya dapat kukikis dengan mempercapat langkahku, aku menyadari perasaan sayang kepadamu telah tumbuh di hatiku.
Tapi kita berada pada kualitas diri yang berbeda. Ini bukan tentang materi, pun status sosial, jabatan yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih besar. Bukan pula tentang definisi cantik dan tampan, pun tentang gaya hidup yang memisahkan antara rumah makan di pusat perbelanjaan atau tempat makan pinggir jalan.
Ini tentang cara kita melihat dan memperjuangkan hidup yang menempatkan kita pada kualitas yang berbeda.
Di depan sebuah kafe bergaya kolonial itu, kamu melabaikan tangan, mengucap kata sampai jumpa. Di jalan menuju tempat motorku diparkirkan, aku mengucap selamat tinggal pada harap, pada keinginan untuk bisa hidup bersamamu.


Matamu menatap layar telepon genggam di atas meja. Tanganmu sesekali menyentuh angka-angka di aplikasi kalkulator, memencet tanda tambah, kurang, bagi, dan sama dengan. Memindahkan hasil perhitunganmu di buku catatan, memasukkan angka tersebut di kolom tabel yang di atasnya tertulis Biaya Hidup Dasar (BHD). Kamu tengah mengkalkulasi kebutuhan dasar hidup kita, memperkirakan apa saja kebutuhan pasangan setelah menikah.
Ketika kuserahkan hasil perhitunganku, kamu melihatku dengan tatapan aneh, seolah tak percaya aku telah membuatnya. Aku bertanya kepada teman-temanku yang sudah menikah, kataku, meski kamu belum melontarkan pertanyaan, tapi tatapanmu mengisyaratkan pertanyaan dari mana angka-angka itu aku dapat. Tentu saja, disesuaikan dengan gaji bulananku, tambahku lagi.
Kamu mensejajarkan hasil perhitungan kita. Uang belanja di daftar milikmu terlalu besar, kita toh makan siang di tempat kerja. Uang entertain pun terlalu besar, kupikir, kita tak selalu menghabiskan akhir pekan di luar, katamu. Biaya entertain sengaja kubuat besar dengan asumsi sesekali kita akan menjalani ‘hari malas sedunia’. Kamu dan aku tak perlu menjalani serangkaian aktivitas seperti hari-hari biasa, mencuci pakaian misalnya, kita bawa saja ke laundry. Kamu tak perlu memasak, kita bisa memesannya melalui GoFood. Kita bisa menonton seharian, mengobrol, atau melakukan apa saja tanpa perlu memikirkan urusan beberes rumah, kataku.
Kamu menggeleng mendengar penjelasanku. Betapa malasnya pasanganku ini, mungkin itu yang terlintas di kepalamu.
Berbeda denganmu yang memberikan angka lebih besar untuk kebutuhan cicilan rumah, aku justru menempatkan biaya lebih besar untuk travelling. Kita tidak ingin selamanya mengontrak, bukan? tanyamu. Iya, tapi kita butuh jalan-jalan, kataku. Tunggu, ini bukan kamu. Kamu tidak akan menempatkan urusan perjalanan lebih besar daripada memiliki rumah, sergahmu. Memang, tapi kamu suka travelling, jawabku.
Kamu bersikukuh untuk memprioritaskan memiliki rumah ketimbang jalan-jalan. Travelling, katamu, memang menyenangkan, hobi yang tidak ingin kamu lepaskan meski telah menikah, bahkan ketika memiliki anak-anak. Tapi memiliki rumah dan hidup bersamamu jauh lebih menyenangkan dari apa pun, katamu lagi.
Keputusanku menempatkan angka-angka itu didorong keinginan untuk mendukung kesukaanmu menjelajahi dunia, juga sebagai jawaban dari pertanyaan yang dulu pernah kamu berikan kepadaku. Apakah aku masih bisa menjalani hobiku? Apakah aku boleh memintamu permintaan yang cukup besar? Tanyamu. Kamu boleh meminta apa pun kepadaku, seperti road trip ke Iceland selama dua minggu. Meski akhirnya akan disesuaikan dengan tabungan kita, jika tak mencukupi, kita harus menggeser tujuan perjalanan kita. Aku akan berusaha memenuhi keinginanmu, tapi aku juga harus belajar mengatakan tidak jika ternyata aku tidak mampu memenuhinya.
Jika laki-laki yang keren adalah yang bisa memenuhi semua permintaan pasangannya, aku tidak masuk dalam kategori itu. Di hadapanmu, aku tidak pernah berpikir memposisikan diriku sebagai superman, seseorang yang mampu menanggung semua-semuanya sendiri. Aku memposisikan diriku sebagai seseorang yang berharap bisa berperan dan tidak menutup ruang untuk pasangannya mengambil peran dalam hubungan ini.
Kamu bertanya, seberapa bessar peran yang bisa kamu berikan dalam kebutuhan dasar hidup ini. Tidak ada aturan baku, bisa 70:30, 50:50, atau bisa kukover seluruhnya. Toh di luar kebutuhan hidup dasar ini masih banyak kebutuhan lainnya yang harus kita pikirkan. Kita bisa berkaca dari teman-teman kita yang telah menikah, tapi tak bisa begitu saja menerpkannya dalam hubungan kita. Setiap hubungan punya konteksnya masing-masing. Konsep-konsep yang mereka terapkan belum tentu sesuai dengan hubungan kita. Pun konsep-konsep yang kita buat bisa bertahan lama atau hanya berlangsung sebentar saja. Saat itu terjadi, kita harus memikirkan cara-cara baru agar kita bisa terus bertumbuh bersama.
Di tengah diskusi mengenai kebutuhan hidup, di saat kamu masih memerinci daftar dalam tabel itu, aku mengucap syukur dalam hati, betapa menyenangkannya memiliki seseorang yang mampu diajak berdiskusi, pun seseorang yang mampu mengelola keuangan dengan baik, yang tidak pernah terpikir sebelumnya olehku dan mungkin tidak bisa kulakukan tanpamu.


Previous PostPostingan Lama Beranda