Senyum Mama

Aku mengecek satu-satu benda dalam tasku, memastikan tidak ada yang tertinggal. Surat lamaran, foto kopi Ijazah, foto kopi transki nilai, foto Kopi Kartu Tanda Penduduk dan pas foto ukuran 4X6. Jas hujan sudah kulipat dan turut kumasukkan ke dalamnya, bagasi motorku terlalu sempit dan hanya cukup untuk memuat sepasang sandal jepit serta kanebo. Aku menyemprot beberapa bagian kemejaku dengan parfume, mematut sebentar di depan cermin lalu menuju kamar tidur utama, kamar tidur orang tuaku untuk pamitan ke mama.

Mama jatuh sakit seminggu lalu yang mengharuskannya dirawat di rumah sakit. Itu pun kami harus berembuk dahulu karena pada saat yang bersamaan ayah jatuh sakit. Ingin sekali aku memaksa kakakku untuk merawat keduanya, tetapi kondisi kami tak memungkinkan. Meminjam uang? Itu sudah kami lakukan berkali-kali, bahkan sampai saat ini kami hanya mampu membayar setengahnya. Uang tabunganku sudah ludes sejak dua bulan menganggur dan sebagian lagi untuk menutupi biaya kuliah adikku. Mengandalkan kakakku tentu tak mungkin, gajinya sebagai seorang guru sudah tersedot banyak untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi biaya kebutuhan keluarga kecilnya, tentu sangat egois jika memaksanya untuk menanggung seorang diri.  Namun Ayah memastikan dirinya baik-baik saja dan memintaku untuk menyewa angkot lalu mengantarkan mama ke rumah sakit.

Setelah menyepakati jadwal jaga rumah sakit antara aku, kakak dan adikku, aku pulang ke rumah. Mencari BPKB motor, mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan sekadar untuk menutupi biaya rumah sakit.  Menjaminkan BPKB  adalah pilihan terakhir, aku tak punya apa-apa untuk dijual. Aku melakukannya tanpa sepetahuan mereka, yang pasti akan melarangku karena aku membutuhkan motor untuk mencari pekerjaan baru.

Kini mama hanya mampu terbaring di atas kasur. Mama hanya bisa tersenyum saat aku mengecup kening dan punggung tangan kanannya. Ada buliran kecil yang menyembul di sudut mataku, tapi secepat mungkin aku berpaling dan menghapusnya. Ada perasaan sakit yang begitu dalam ketika melihatnya hanya mampu terbaring di atas kasur. Menikmati hidup hanya dalam lingkup yang sangat terbatas. Ada benda tajam yang terasa begitu menusuk hatiku saat melihatnya tak mampu mengejar cucu semata wayangnya.

Aku melajukan motor adikku perlahan, lalu memutuskan berhenti di sebuah warung kopi. Memesan secangkir kopi hitam dan menyalakkan sebatang rokok.  Hari ini tak jadwal panggilan kerja, aku membohongi mama agar aku bisa melihatnya tersenyum. Jika tuhan ingin menghukumku karena telah berbohong kepada mama, aku siap. Tidak ada yang lebih berharga selain melihat orang yang paling kamu sayangi dalam hidup ini tersenyum dalam pesakitannya. Dan jika aku harus menebusnya dengan neraka, maka aku mengikhlaskannya.

Semoga cepat sembuh Mama...



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar