dia


Belakangan, aku dilanda semacam perasaan bersalah. Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang itu-itu saja, yang membuatku menarik sedikit jarak dari kekasihku. Membuatku berpikir, benarkah ini, apa ini yang kuinginkan, atau hanya semacam godaaan yang datang ketika kamu memiliki kekasih baru.
Bisakah cinta datang berkali-kali dalam diri seseorang ketika dia menjalani hubungan percintaan dengan seseorang?
Dia datang saat kondisi hubunganku masih bertunas, belum bertumbuh menjadi pohon yang besar. Akarnya-akarnya begitu mudah dicabut dari hati. Aku bisa saja berhenti menyiraminya dengan kasih sayang, membiarkan hubunganku layu, lalu mati. Atau kubiarkan orang lain menyiraminya, melepasnya, membiarkannya tumbuh di hati lain, bukan di hatiku.
Aku dan dia hanyalah dua manusia yang tidak bisa mengatasi rasa sepi. Tidak tahu cara menghabiskan waktu sendiri-sendiri. Yang seharusnya tidak merasa sendiri karena kami memiliki kekasih, tapi jarak mengambil peran besar, membuat hubunganku dan hubungannya hanya sebatas sapa melalui telepon genggam. Yang tidak mengubah rasa sepi, yang tidak membuat kami merasa tidak sendiri.
Seberapa besar kata-kata mampu melipat jarak di antara sepasang kekasih? Barangkali, hanya sedikit yang berhasil. Aku dan dia masuk dalam kategori gagal.
Kami bertemu di sebuah kafe di Tebet. Dia begitu mudah bercerita, seperti seseorang yang telah lama saling mengenal. Aku hanya diam, tidak dapat berkata apa-apa. Jika saja sebuah obrolan dapat dilakukan melalui tulisan, mungkin lebih mudah bagiku mengutarakan apa yang ingin kusampaikan. Kata-kata yang keluar dari mulutku hanya candaan garing, anehnya, dia tertawa. Sesaat lupa tentang kisah percintaannya dengan kekasihnya.
Anehnya, aku begitu bahagia melihatnya tertawa. Kata-kata yang ada di kepalaku begitu mudah mengalir lewat bibirku. Aku tidak lagi membutuhkan komputer jinjing, tidak membutuhkan kertas dan pulpen, tidak membutuhkan aplikasi pesan dalam telepon genggam. Aku hanya perlu senyumnya dan semua kata mengalir begitu mudahnya.
Tahi lalat di dahinya, matanya yang hanya terlihat segaris ketika tertawa, caranya menyentuh tanganku, mengusap lembut pungung tanganku, menghapus noda kopi pada bibirku, membuatku jatuh seketika. Sesekali dia menopang wajahnya dengan kedua tangannya, mendengarkanku bercerita, menungguku selesai berbicara. Dia hanya menunggu, tidak berkomentar, tidak mengajukan pertanyaan. Memulai perkataan dengan senyuman, yang membuatk mendadak tuli, tidak lagi berfokus pada perkataannya, hanya wajahnya yang kupandangi.
“Aku masih mencintainya, tapi aku juga menyukaimu,” katanya sambil mengubah posisi tubuhnya. Wajah kami berhadapan, napasnya menyentuh wajahku.
Aku mengecup bibirnya, kecupan yang membuatnya melupakan perkataannya. Kami bergumul, saling memburu, aku mencengkram kuat kedua tangannya, menguasai permainan ini. Dia sedikit meronta, berpura-pura meronta, seolah tidak ingin kalah dalam pertarungan. Perlawanan yang sia-sia, aku tahu titik kelemahannya setelah kami beberapa kali melakukannya. Dia pasrah dan semua berjalan dengan mudahnya.
Apa yang lebih penting dari dua orang dalam satu ruang yang merindukan pelukan, kecupan bibir, dan menghirup aroma tubuh yang bercampur parfume selain hubungan seksual yang menyenangkan, kupikir tidak ada, kami pikir tidak ada.  Kata-kata, status, dapat menunggu. Kekasihku, kekasihnya, barangkali masih menunggu pesan yang belum kami balas berjam-jam lamanya. Biarlah mereka menunggu, kami tidak bisa menunggu.
Dia merebahkan kepalanya di dadaku, mengulangi perkatannya. “Aku masih mencintainya, tapi aku juga menyukaimu.”
“Aku juga mencintainya, tapi aku juga menyukaimu.”
“Terus?”
“Terus seperti ini.”
“Kekasihku akan datang besok. Kita harus menarik jarak seminggu ke depan. Setelahnya, aku milikmu.”
“Jangan ceritakan apa yang kamu lakukan bersama kekasihmu. Aku tidak mau mendengarnya.”
“Dan jangan ceritakan apa yang kamu lakukan bersama kekasihmu. Aku muak kamu menyebut namanya.”
“Lagi?”
Dia tersenyum lalu menarikku ke pelukannya. Esok pasti datang, biarlah datang. Kekasihnya akan datang, tapi malam ini milik kami.



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar