Hari Burung



Dentuman musik memekakkan telinga, ruang dengan pencahayaan minim, dan sekumpulan serigala yang tengah haus alkohol berkumpul untuk merayakan ulang tahunku. Ulang tahun hanyalah kedok agar mereka bisa menarikku kembali ke dunia malam, hal yang sudah kutinggalkan bertahun-tahun lamanya. Tapi, kali ini, kupenuhi permintaan mereka. Kapan lagi berkumpul dengan sekumpulan serigala pembuat onar. Mabuk, berantem di parkiran, atau tepar di emperan pub.
Bersama mereka, aku tidak perlu mendengarkan ocehan-ocehan orang tentang pancapaian hidup. Orang-orang yang menganggap pengulangan hari lahir sebagai momentum lahir baru, jiwa baru, dan target-target baru. Begitu membosankan mendengarkan orang-orang mengatakan hal yang sama setiap tahunnya. Kawan-kawan serigalaku hanyalah sekumpulam manusia yang marah pada dunia dan melampiaskannya pada botol-botol minuman.
Seorang teman menarik tanganku dan membawaku ke lantai tiga. Ruang temaram yang membuat kepalaku makin pusing rasanya. Dia menyerahkan sebotol minuman setelah membuka pintu kamar dan meninggalkanku begitu saja. “Nikmatinlah ulang tahunmu, kawan,” katanya.
Ruang temaram yang tak nyaman dipandang, kecuali perempuan yang tengah berbaring tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Aku duduk di ujung dipan, membelakanginya. Minuman di tanganku rasanya lebih menggairahkan dan ingin kulumat habis seketika. Setiap teguk yang mengalir di kerongkonganku, seperti tangan ingatan yang terus memanjang dan menarikku pulang ke rumah kenangan.
Aku merindukan perempuanku yang sedang memasak di dapur kontrakannya yang kecil. Memeluknya dari belakang, menciuminya. Dia akan mengusirku, memintaku duduk dan tidak menganggunya memasak. Hari ulang tahunku, terbuat dari masakan orang yang paling kusayangi, senyuman perempuanku, dan pelukan hangat.
Ulang tahunku hanyalah hari biasa yang kuhabiskan dengan tidur seharian di rumah. Aku sering bolos kerja, berpura-pura sakit hanya agar tidak mendengar ucapan dari teman-temanku. Kehadirannya, mengubah hari yang selalu kuanggap biasa saja menjadi luar biasa. Tidak ada perayaan, tidak ada kue berukuran besar dengan tumpukan lilin, tidak ada hiasan, hanya cup cake dengan satu lilin menyala, masakannya, dan perempuanku tentunya.
Isi botol telah berkurang separuh dan aku benar-benar tersesat di rumah kenangan. Di kepalaku, hanya kenangan tentangnya yang terus saja berputar-putar. Perempuanku yang mengenakan kaus putih belel, celana pendek dan rambut panjangnya yang diikat satu. Aku tak tahan melihat anak-anak rambutnya yang jatuh lalu menyelipkannya di telinganya. “Tanganmu bau rokok, keluhnya, lalu berusaha beranjak dariku. Aku menarik tangannya, dia duduk kembali, tepat di sampingku.
“Menikahlah denganku,” pintaku.
Perempuanku meremas ujung bajunya, air matanya jatuh satu-satu. Buliran hangat itu semakin deras mengalir di pipinya. Aku tahu, aku telah melukainya. Pertanyaan tentang pernikahan seharusnya kuenyahkan dalam kepalaku, tapi aku tidak mau melepasnya, tidak bisa kehilangannya lagi.  
“Aku tidak menyangka kamu mengajukan pertanyaan sakral itu, sedangkan kita tahu jawabannya,” ucapnya lirih.
“Aku tahu, tapi aku tidak ingin menyerah. Belum pernah menyerah untuk kita.”
“Sebaiknya kamu pulang, sudah larut.”
Kutenggak habis minumanku, rumah kenangan hancur, serpihan-serpihannya hilang diterbangkan angin, mengembalikanku pada kesadaran. Kesadaran yang mengingatkanku bahwa sekali lagi aku telah dikalahkan hidup yang brengsek ini.
Cinta yang membuatku berjuang mati-matian, cinta juga yang mengalahkanku.
Sekumpulan serigala barbau alkohol berdiri mematung di hadapanku. Heran menatapku yang tak menyantap mangsa empuk di atas kasur itu. Seorang teman menarikku keluar dari ruang pengap itu, mengajakku melempiaskan kemarahan pada botol-botol minuman. Lainnya memangsa perempuan itu.





Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar