Kini dia menjamahmu dengan lembutnya. Membuaimu dengan rayuan lembut tak berbekas. Tak ada paksaan dan luka, seolah dia memberinya tanpa prentensi. Lihat dengan mata terbuka, maka kau kan melihat seluruh semesta dihadirikan untukmu. Gedung pencakar langit, mobil mewah, rumah megah dan kembang setaman. Apakah ia malaikat. Bagimu mungkin ya, tapi bagiku dan segelintir orang, dia tak lebih dari pada berhala. Layakkah dia disembah?
Kamu marah padaku saat aku menyuruhmu meninggalkannya. Kamu murka semurka-murkanya. Dia begitu berharga bagimu, seolah dia menjadi pilihan antara hidup dan mati. Apakah kamu benar-benar mati tanpanya, atau kamu justru mati jika terus bersamanya. Hanya kamu yang bisa menjawabnya. Kamu tak butuh aku, segala yang kamu butuhkan ada di hadapanmu. Manusia mana yang berpaling, jika dihadapkan pada surga.
Gedung tinggi yang menjulang itu kini runtuh, mobil dan rumah hilang tak berbekas. Kamu layu bersama kembang setamanmu. Malaikat yang kamu agung-agungkan itu kini menjelma menjadi iblis. Dia tak lagi merayumu dengan lembut, tak lagi membuaimu dengan rayuan manisnya. Tangannya yang merangkulmu telah menjerat lehermu dengan kuatnya. Kini kamu tak bisa lepas lagi, Indonesia.
Akhirnya kamu sadar, perang belum usai. 1945 hanyalah satu fase dari sekian fase yang harus kamu lewati. Kini kamu sadar, bertempur melawan kolonialisme lebih mudah. ketimbang melawan kapitalisme. Kamu sadar, dengan runcing bambu, penjajah itu bisa musnah tapi kamu terlena dengan penjajah ekonomi. Sang jenderal kapitalisme telah menjeratmu dengan Harta. Semangatmu pupus, Nasionalisme pudar.
Lalu apakah kita hanya berdiam diri menunggu mati? atau kita berjuang meski tak tahu kapan kita akan merdeka? Kamu yang mampu menjawabnya.
7 Juni, Siang hari di warung kopi...