Aku sebenarnya enggan untuk menemui temanku di salah satu kafe yang terletak di selatan Jakarta. Meski besok hari libur perayaan natal, aku masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan sampinganku. Mendengar suara tangisnya di telpon, tanpa pikir panjang aku langsung merapikan komputer jinjingku dan menuju kesana.

Disana, aku mendapati dirinya yang sedang tertunduk lesu. Maskaranya luntur dan wajahnya pucat pasi.

“Kenapa dia begitu bahagia,” katanya.

Aku ingin bertanya perihal ‘dia’ yang temanku maksudkan. Tapi kuurungkan, aku menunggu lanjutan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hampir satu menit dia terdiam sejak kalimat pertama keluar dari mulutnya. Kuputuskan untuk menyulut sebatang rokok. Kemudian dia meminta sebatang rokok dan kubantu menyulutnya.



Barangkali, tak semua orang menganggap kita manusia. Kita hanya barang yang dipertaruhkan dan dibuang saat tak lagi layak disimpan.

Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan. Malam itu, aku sedang memikirkan banyak hal dalam hidup. Pekerjaan besar juga menantiku, sehingga kuputuskan untuk menuliskan pesan singkat untuk perpisahan kita pada hari berikutnya, dimana aku sudah tidur seharian dan bisa menuliskannya dengan baik.

Jika kamu berpikir aku akan membencimu setelah kata putus terucap, kamu salah. Aku tentu tak mau membebani hidupku untuk memikirkan satu orang saja. Membenci adalah pekerjaan yang menuntut banyak hal. Menghabiskan waktu untuk selalu menghujat dan mencari cara untuk membalasmu tentu hanya akan membuat hidupku repot dan aku tidak mau melakukannya. Aku juga tak ingin membuang waktu hanya untuk memikirkan seseorang yang hanya memperlakukan orang lain sebagai barang yang bisa dibuang kapan saja saat tak lagi diperlukan.

Hari ini, aku ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh lima orang berbeda dan mungkin beberapa hari ke depan, akan banyak pertanyaan serupa kepadaku. “Kenapa kamu bisa jatuh hati sama perempuan sombong itu?” begitu pertanyaan mereka. Ada yang mengganti kata “jatuh hati” dengan suka dan ada pula yang mengganti kata” kamu” dengan “Loe”.  Tapi intinya sama, mereka ingin tahu kenapa aku bisa menjalin hubungan dengan Namira.
Seperti mesin penjawab otomatis, aku menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban seragam. “Aku justru menyukai kesombongannya,” begitu jawabanku kepada mereka tanpa lupa sebelumnya memberi senyum agar terkesan ramah.
Aku mengenal Namira dua minggu lalu, tepatnya satu minggu  memperhatikannya dan satu minggu perlahan-lahan bisa mendekatinya. Aku dan Namira satu kantor, namun posisi kami yang bersebrangan membuat aku baru melihatnya dan belakangan ini mulai memperhatikannya. Aku bekerja sebagai desain grafis di sebuah perusahaan advertising dan Namira mengisi posisi manager Accouting.  Aku berhubungan dengan desain-desain dan dia berhubungan dengan angka-angka, dua hal yang sangat berbeda.  
Perjuampaanku dengan Namira sungguh biasa saja. Aku sedang merokok di dekat pintu masuk kantor lalu Namira lewat di depanku. Tidak ada kata permisi atau senyuman yang keluar dari bibirnya ketika melewatiku, pandangannya lurus ke depan dan tidak memerhatikan sekelilingnya. Sejak saat itu, setiap pagi aku memutuskan untuk selalu merokok di dekat pintu masuk kantor agar bisa melihatnya. 






Hai jelek, semoga selalu bahagia yah!

Sudah musim hujan lagi, aku bahkan tak sempat mencicipi musim kemarau sepanjang tahun ini. hujan datang lebih sering dari tahun lalu. Payung yang kita beli di toko dekat kantorku sudah rusak beberapa bulan lalu saking seringnya kupakai.  Untungnya, toko yang menjual payung itu masih menyisakan beberapa stok payung yang sama.  Aku membelinya tiga sekaligus, berjaga-jaga jika payungku akan rusak kembali.

Tadi pagi si Cemong melahirkan, anak-anaknya lucu. Saat melihatnya, aku langsung mengingatmu. Kamu pasti ingin melihatnya, nanti akan kulampirkan fotonya untukmu.  Aku akan memberikan dua anak lainnya untuk Maya dan Rafi. Bukan aku tak sayang, sejak kamu memberikannya padaku sebagai hadiah ulang tahunku, aku berjanji akan merawatnya dengan baik. Tapi aku tak sanggup jika harus merawat si Cemong dengan ketiga anaknya, jadi kuberikan kedua lainnya pada sahabat kita.

Tyo, surat kali ini tak akan sepanjang biasanya. Aku mencuri-curi waktu untuk bisa menuliskannya untukmu. Pukul tujuh –empat jam dari sekarang-akan ada seseorang yang datang ke rumahku untuk melamar. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, tentu saja bukan urusan tetek bengek seperti menyiapkan makanan  dan merapikan rumah. Semua itu sudah diurus oleh Mama. Selain make up, aku harus menyiapakan hati untuk menerima seseorang dalam hatiku, dalam hidupku.



“Bagaimana nanti jika kita berpisah?” katamu sambil mengenakan jaket yang sebelumnya kamu simpan di batangan kursi.

Hujan tiba-tiba saja datang, deras, tanpa aba-aba. Segelas oranye jus yang baru dua kali kamu minum pun kamu biarkan begitu saja, lalu memesan secangkir cokelat hangat. Barangkali hujan seperti pemanggil kesedihan, menggerakkan saraf di otakmu menjadi sendu. Sebelumnya, Jakarta begitu panas. 34 derajat celcius, katamu setelah melihat aplikasi di telpon genggammu. Aku hanya mengiyakan, tak paham bagaimana aplikasi itu bisa menunjukkan panasnya kota ini. Obrolan kita mengenai cuti dan liburan pun berubah seketika, menjadi sebuah pertanyaan tentang perpisahan.

“Aku akan melamarmu bulan depan,” katamu sambil menggenggam erat tanganku. Aku tetap diam, menunggu kata-kata yang keluar setelah kalimat itu. “Jika projek besar ini kudapatkan, kita akan langsung menikah sebulan setelah lamaran berlangsung.”

Lagi-lagi, aku hanya diam. Tak ada sesuatu yang meletup dalam dadaku. Hatiku tak seperti mercon yang siap meledak, ia seperti petasan di pinggir jalan yang dibiarkan dingin. Kalau pun dibakar suaranya tak lagi nyaring.  Hatiku sepi-sepi saja, tak lagi bergemuruh. Aku tetap tersenyum seperti biasa, seperti manusia kebanyakan yang mendapat kabar gembira. Kamu tentu saja tak dapat membedakannya, mana senyum tulus dan mana senyum dipaksakan. Kamu terlalu sibuk dengan kebahagiaanmu sendiri.

Aku masih diam, mendengarkan semua andai-andai yang kauciptakan. Mendengarkan impianmu membeli rumah setelah menikah,  membangun keluarga kecil berdua tanpa campur tangan orang tua kita. Kamu mengatakan akan pulang lebih awal, tidak lagi menghabiskan waktu bersama teman-temanmu sepulang kantor seperti yang biasa kamu lakukan. Kamu akan bekerja lebih giat,  mengerjakan beberapa projek dalam sebulan agar uangnya bisa ditabung untuk anak kita kelak.  Aku mendengarkanmu dan sesekali bertanya ke hatiku, ‘kenapa aku tak bahagia mendengarnya’.


Aku mengetik tulisan ini tadi malam, selepas kau pulang dari kosanku. Tentu setelah merapikan sisa makanan dan cemilan yang membuat kamarku berantakan. Abu dari rokokmu beterbangan kemana-mana, membuat pekerjaanku bertambah. Mungkin akan kubelikan asbak, jika tidak sempat membelinya kamu akan kularang merokok dalam kamarku atau kusuruh kau berdiri di depan kosanku sambil menghabiskan kesukaanmu itu. Jika kau cukup pintar, bawa atau belilah asbak sendiri agar kau tetap bisa merokok dalam kamarku.

Hari minggu adalah hari yang sibuk untukku. Maka, kukirm pesan untukmu agar kau tak mengeluh.

# Jangan berharap terlalu banyak menghabiskan waktu denganku. Aku bisa memberimu waktu beberapa jam di hari sabtu tapi tidak samasekali di hari minggu. Sebagai wartawan mingguan tentu pekerjaanku lebih banyak dihabiskan di akhir pekan. Ada saja agenda kebudayaan yang harus kuliput dan aku tak bisa meninggalkannya hanya untuk sekadar berjalan-jalan atau ngobrol denganmu.

# Berjalan kakilah. Kamu tidak bosan naik motor atau taksi. Cobalah sekali-kali naik angkot dan berjalan kaki. Duduk di halte menunggu bus, berhimpitan dengan penumpang lain. Berjalan lah lebih banyak, selain menyehatkan, berjalan kaki juga mengasah kepekaanmu. Kamu akan belajar merekam sekitarmu lebih baik.






Setiap manusia bertumbuh, usia salah satu yang tak bisa kita bantah. Dia bertambah sekaligus berkurang secara bersamaan. Bertambah angka dan berkurang jatah hidup.  Ada yang akhirnya menemukan kata nyaman dan memutuskan untuk menetap, ada pula yang akhirnya mencari tempat baru untuk singgah karena belum menemukan apa yang dia cari. Meski dalam hidup, sejuta alasan dapat kita temukan (ciptakan) dan akhirnya menentukan apakah ingin menetap atau pergi.
Saya memutuskan untuk pergi. Memilih peran meninggalkan dan membuat orang lain pada posisi ditinggalkan. Memilih tempat berteduh baru dan memulai sesuatu yang baru. Bukan kata nyaman yang saya cari, saya nyaman berada disini. Hanya saja, saya merasa perlu tempat bermain baru dan menantang diri saya menjadi pemimpin dari permainan itu. Saya tahu, risiko gagal sangat besar tapi kemungkinan saya berhasil juga sangat besar.
Saya tentu bukan teman yang baik. Saya menyadari hal itu. Saya lebih suka menghabiskan waktu untuk menikmati secangkir kopi sendiri atau bersembunyi di balik komputer jinjing sambil mendengarkan lagu. Saya tak tahu masalah apa yang kalian hadapi bahkan tak pernah bertanya tentang kegelisahan yang kalian takutkan.
Semoga, sebelum salam perpisahan terucap kemudian berpisah, saya pernah berbuat baik kepada kalian. Meski hanya satu kali.
Selamat bermain teman-teman...





“Akhirnya kamu menikah juga. Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah dengannya. Setau saya, kamu baru berkenalan beberapa minggu,” kataku pada seorang teman yang akan menikah besok pagi.

“Dia mau sama saya, buat saya itu cukup.”

“Loh, jadi kamu tidak mencintainya?”

“Saya pernah amat mencintai seseorang dan tidak mampu memilikinya. Saat itu, cinta saya mati. Saya tidak bisa mencintai orang lain selain dia. Saya tidak mengatakan tidak bisa hidup tanpa dia, hanya saja, saya tak bisa mencintai orang lain setelah kehiangan dia. Sampai saat ini saya masih hidup, meski tidak baik-baik saja tapi bukankah hidup memang tidak pernah baik-baik saja. Tolong jangan ceramahi saya tentang cinta yang tumbuh dan sebagainya menjelang hari pernikahan saya. Dia sudah lama mati.”

“Ayolah bro, wake up. Kamu yakin bisa jalani rumah tangga dengan dia tanpa cinta. Itu hanya akan menyakiti banyak orang nantinya,” kataku dengan sedikit kesal.

“Terkadang menikah bukan soal cinta saja, bisa saja soal eksistesi. Umurku sudah tidak muda lagi dan aku butuh pengakuan. Dia juga butuh pengakuan, kami sama-sama sadar akan hal itu. Tapi bukankah seseorang bisa hidup dengan orang lain yang tidak dia cintai. Ibu saya dijodohkan dan menikah tanpa cinta. Mereka bisa hidup bahagia.” Katanya datar.

Aku menenggak bir dalam botol, bir yang tersisa sedikit itu, kandas seketika. Dia juga menggak bir miliknya. Kami sama-sama diam. Aku masih memikirkan pernikahannya esok hari. Memikirkan bagaimana dia bisa menjalani biduk rumah tangga tanpa cinta. Jika pada akhirnya mereka menyerah di tengah jalan, tentu bukan hanya dia yang tersakiti tetapi juga pasangannya dan keluarga besar mereka.

Dia menenggak habis bir dalam botolnya. Terdiam dan aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.



Aku tak bisa melarangmu pergi, memaksamu untuk tetap tinggal juga bukan hakku. Aku ingin meminta sedikit waktu dari waktu-waktu yang kau punya, yang tentu saja sudah kaubagi-bagi dengan banyak orang. Namun, jatahku tak kunjung kau berikan. Jadi, kutuliskan saja beberapa hal yang ingin kukatakan kepadamu melalui surat ini.

Carilah teman untuk menemanimu ngebir sepanjang malam. Jangan biasakan dirimu ngebir sendiri sepanjang malam. Tentu saja, aku tak melarangmu untuk ngebir, hanya saja kau seringkali melakukannya seorang diri. Jangan tiru aku, aku terbiasa tidur di bar jika sudah tidak kuat untuk pulang tapi aku khawatir jika kamu melakukan hal serupa. Di sana, tentu tidak ada aku, maka carilah teman jika kau ingin menghabiskan sepanjang malammu di bar.

Kopi buatanmu terlalu manis. Kau tahu, aku penyuka kopi hitam dan kau akan dengan mudah menemukan kata-kata kopi dalam tulisanku bahkan dalam lini masa aku kerap kali menyebutnya. Jika nanti kau kembali, sekadar bercengkrama di balkon kosanku sambil melihat bintang dan berinisiatif membuatkan kopi, tolong beri satu sendok teh saja gula pada kopiku. Tanpa gula pun tak apa, kadang aku menyukai kopi hitam tanpa gula.


Bunuhlah dengan pisau, bukan dengan kata-kata

Kau tahu, saat marahmu reda dan kembali tersenyum, akan akan selalu membalas dengan senyuman. Sebuah senyuman yang tidak akan pernah sama lagi. Sebuah senyuman formalitas, basa-basi. Karena senyum hangat yang kutawarkan kepadamu telah mati , dia terbunuh dengan kata-katamu. Saat kamu meluapkan segala kata-kata menyebalkan itu di hadapanku, di hadapan orang-orang kemarin siang, dia terbunuh.

Mungkin kamu tak sengaja melakukannya, tapi bukankah sebuah pembunuhan bisa saja terjadi tanpa kesengajaan. Jangan menagihku untuk kembali tersenyum seperti sebelumnya, jangan pernah. Aku bisa saja membangunkan kembali senyum hangatku yang telah mati itu, tapi otakku merekam semuanya, ingatan-ingatan menyebalkan itu. Dan aku tak mau membangkitkan senyum hangatku lagi hanya untuk kembali kau bunuh.

Saat marahmu reda dan kembali tersenyum, akan akan selalu membalas dengan senyuman tapi (kita) tak pernah sama lagi.





Aku meletakkan telpon genggamku. Berbaring di atas kasur tipis yang busanya hampir habis. Mataku menatap langit-langit kamar dan pikiranku menembus batas langit-langit itu, mengantarkanku pada sebuah rumah nun jauh di sana. Melihat perempuan tua sedang menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Aku merindukan masakannya dan segala hal tentangnya. Suaranya yang hanya bisa kudengar melalui telpon genggam sedikit mengobati rasa rinduku. Meski suara tetangga tempat ibu meminjam telpon sempat membuatku kesal karena menutupi suara ibu yang pelan.  “Tenang bu, lebaran kali ini aku pasti pulang,” gumamku.

Sudah dua lebaran aku tidak pulang ke rumah. Lebaran pertama, aku baru lulus kuliah dan belum mendapatkan kerja. Pekerjaanku sebagai pramuniaga di sebuah toko baju tentu saja tak kuhitung, gajinya kecil dan  tabunganku selama bekerja sudah kukuras habis untuk membiayai skripsi dan wisudaku. Bahkan aku tak mampu membelikan ibu tiket untuk datang menghadiri wisudaku. Tapi aku tahu,ibu pasti bangga melihatku menggunakan toga.

 Sedangkan, lebaran kedua aku harus dinas di luar kota. Sebagai anak baru, tentu saja aku harus menuruti perintah atasanku dan mengambil tugas seniorku yang juga ingin pulang dan menemui keluarganya.  Aku sedikit kesal sekaligus bersyukur. Uang dinas keluar kota dan lembur selama ini bisa kutabung dan ketika pulang nanti bisa membawa oleh-oleh lebih banyak untuk keluarga.


Lelaki itu hanya diam ketika melihat perempuan yang paling dicintainya meninggalkannya di teras rumah sendirian. Dia bahkan tak berani untuk memintanya untuk tetap tinggal dan menemaninya mengobrol. Sebenarnya, dia sudah menyiapkan bahu terhangat yang dia miliki untuk perempuan itu bersandar. Dia juga sudah latihan menyela jemarinya dengan tangannya sendiri agar tidak kaku ketika nanti menyisipkan jari-jarinya di jemari perempuan itu. Tapi lelaki itu hanya diam dan hanya bisa menatap punggung perempuan itu dengan rasa penyesalan lalu membiarkan perempuan itu menutup pintu rumahnya.

“Aku bosan menatap bulan separuh,” kata peremuan itu sebelum meninggalkannya. Lelaki itu heran, bagaimana bisa sesuatu yang paling perempuan itu sukai dalam hidup seketika menjadi hal membosankan untuknya. Seperti kamu mencintai seseorang dengan segenap jiwa, namun ketika terbangun dari tidur tidak ada sedikit pun yang membekas. Ia raib begitu saja. Menguap bersama udara.

“Kapan terakhir kali kamu menangis?” kata seorang teman setelah buka puasa bersama di Kedai Kita, Bogor, sore tadi berakhir. Hanya tinggal kami berdua, lainnya sudah pulang dengan berbagai alasan. Ada yang harus pulang cepat kerena kerja shift malam, ada yang harus menidurkan anaknya yang rewel minta pulang dan ada yang ingin menghabiskan malam minggunya bersama pasangannya. Teman saya punya pasangan tetapi memilih untuk menghabiskan waktu bersama saya, mungkin sedang bertengkar, hal itu terlihat dari pertanyaan yang dilontarkan kepadaku barusan.  

Aku hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Aku menyeruput kopi, bahkan saat berbuka puasa pun aku memesan secangkir kopi hitam. Setelah meneguk sedikit, aku mengatakan lupa kapan terakhir kali aku menangis dan perkara menangis bagiku adalah hal yang rumit untuk dijelaskan.

“Aku suka banget menangis,” katanya setelah mendengar jawaban saya yang saya pikir tidak dia simak sedikit pun.


Kepada Malam, saya sering menitipkan pemikiran dan kegelisahan-kegelisahan saya tentang hidup. Tentang pekerjaan, tentang percintaan, tentang apa saja yang membuat dahi saya berkerut dan kembali menyeruput bergelas-gelas kopi hitam dan berbatang-batang rokok. Saya membaginya dengan Malam tanpa menutupi apa pun. Saya menelanjangi diri saya di depan Malam, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan di depan siapa pun.

Kepada Malam, saya sering manghabiskan waktu untuk mengobrol. Meski terkadang saya sibuk menulis, membaca blog orang-orang atau melihat sosial media. Namun Malam tetap menunggu saya menyelesaikan semuanya, lalu menemani saya mengobrol seperti biasa. Kadang hingga pagi tetapi lebih sering hingga jarum jam menyentuh angka 12, karena Malam selalu mengingatkan saya untuk istirahat dan bekerja keesokan harinya.
“Mau nyerah lagi sama bosan?” katamu sambil memutar-mutar sedotan dalam gelas es teh manismu. Matamu tertuju pada gelas di hadapanmu, posisi yang sama seperti tiga bulan lalu saat aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan dengan alasan yang kamu pertanyakan barusan. “Terserahlah, ini sudah enam kali juga kamu lakukan dan tidak ada gunanya berdebat. Toh, kamu juga akan melakukan apa yang kamu inginkan.”

Aku tak ingin menjelaskan apa pun, kamu pasti sudah hapal kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Tidak ada masalah dengan pekerjaan, aku mengerjakannya sebisaku meski aku tahu itu jauh dari kata maksimal. Aku sadar, aku adalah orang yang agak lambat belajar hal baru.  Lelah tentu bukan alasan, bekerja dimana pun selalu melelahkan. Tidak hanya tenaga tetapi pikiran.

Semalam, temanku melontarkan pertanyaan, apa saja ingatan yang paling melekat pada seseorang tentang mantannya setelah mereka putus. Aku tak menggubris pertanyaan itu dan memutuskan untuk pulang lebih awal karena harus menyelesaikan artikel pesanan dari salah satu bank ternama di kota ini.

Aku baru saja menyelesaikan tulisanku pagi ini. Cukup lama aku mengerjakannya, bukan hanya  karena perkara mood, tapi aku perlu reserch sebelum menjadikannya sebuah tulisan yang utuh. Sambil menunggu ngantuk, aku mencatat beberapa hal yang kuingat tentang mantanku pada pagi hari.

Dia selalu menanyakan, tidur jam berapa semalam?
Aku mengatakan belum tidur. Sebagai seorang freelancer, aku lebih sering mengerjakan artikel pesanan pada malam hari dan menghabiskan waktu siangku dengan tidur. Selama jadian, hanya beberapa kali aku mengatakan tidur jam 1 pagi. Itu pun karena esok pagi aku sudah ada janji dengan seseorang dan pagi yang kumaksud selalu di atas pukul 11.00.

“Apakah kesedihan selalu tinggal lebih lama daripada kebahagiaan Bu?”

“Apa maksudmu nak?”

“Baru kemarin kita mencicipi musim kemarau tapi hujan sudah datang lagi. Hampir setiap hari dia datang, bahkan seminggu terakhir  ini tidak pernah absen,”

Hujan seperti pertanda kesedihan. Langit serupa wajah yang menumpahkan air mata, menggelontorkan butiran-butiran kecil ke bumi. Seperti hujan yang datang lebih sering daripada kemarau tahun ini, kesedihan juga menggelayut lebih lama di rumah kita. Sedangkan kebahagiaan hanya sesekali masuk melalui celah jendela, lalu pergi tertiup angin.

Aku masih ingat saat ibu menangis setelah membaca surat yang kemudian hari kutahu dari lelaki itu. Ya, aku menyebut lelaki itu, bukan ayah, karena aku tak mau menjadi anak dari lelaki pengecut yang meninggalkan istrinya. Itu kali pertama aku melihat ibu menggantungkan kesedihan di langit-langit 
rumah kita. Setelahnya, langit-langit rumah hanya berisikan kesedihan.

Setelah kepergian lelaki brengsek itu, hidup kita berubah. Hidup kita seperti kotak saran di toko-toko, isinya hanya cercaan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah bisa kita jawab selain dengan senyuman. Tetangga menggunakan fungsinya dengan baik, menanyakan kabar lelaki itu, bergunjing tentangmu. Mereka dengan mudah menuduhmu sebagai perempuan yang tidak becus mengurus suami dan perihal lain yang meyakitkan hatimu.


Rinduku menggigil semalam. Mengharap pelukmu yang tak kunjung datang. Kini dia telah mati kedinginan.

Aku meletakkan stoples kaca di rak kayu yang tingginya satu setengah meter. Ada beberapa stoples lainnya di sana. Aku pikir, kemarin adalah stoples terakhirku tapi nyatanya aku harus kembali menyimpan satu lagi. Aku menyimpan rindu yang mati dalam stoples itu. Melabelkan namamu di sana agar aku selalu ingat, rinduku untukmu telah mati dan kukubur dalam stoples itu.

Aku coba menyelimutinya dengan harapan. Bukan kah harapan adalah nyala dari kehidupan. Tapi harapanku tak cukup hangat untuk membuatnya terus hidup. Dia butuh kamu, sekadar memeluk dan mengecup keningnya. Dia butuh kamu, sekadar tersenyum manis sambil menyela jemarinya.  Dia butuh kamu, sekadar mengatakan rindu. Dia butuh kamu, cukup adanya kamu.

Tapi bukan salahmu jika dia harus mati, salahku yang terlalu mengharapkan satu pelukan darimu.  Satu pelukan yang mampu menghangatkan.  Namun kamu tak kunjung datang lalu dia mati perlahan.






“Berhentilah menarik-ulur nak, kamu memang mahir menerbangkan layanglayang dan memenangkan sebuah pertandingan. Tapi kamu pemain yang buruk soal  perasaan. Berhentilah menarik-ulur, karena itu hanya akan melukai hati seseorang dan dirimu sendiri.”






Dalam dua bulan ini sudah beberapa kali aku ke Bandung, baik untuk urusan pekerjaan maupun jalanjalan. Ada launching buku dan talkshow yang harus aku kerjakan di sana dan sekali pun tak pernah aku menghubungimu. Mungkin kamu mengetahui melalui lini masa twitter-ku. Tapi itu bukan sebuah kode untukmu. Kamu tahu, aku bukan seorang yang pandai menggunakan kodekode, aku orang yang lebih suka berterus terang meski terkadang itu menyebalkan.

Maaf Cha, telah melepasmu. Meski kata ‘melepas’ seharusnya melengkapi kata sebelumnya, yakni ‘memliliki’.

Aku sadar, menjalani sebuah hubungan tanpa label apa pun bersamamu adalah sebuah keputusan yang bodoh. Aku tahu, keputusan kita saat itu karena kita masih terluka dengan masa lalu dan tak ingin melakukan kesalahan yang sama. Tapi membiarkan sebuah kebersamaan tanpa label sama saja membiarkanmu pergi perlahan dan aku menyadarinya setelah perpisahan tanpa kata.

Barangkali, tidak semua hal di dunia ini harus diungkapkan. Seperti mencintaimu, aku membiarkannya tumbuh dalam diam.

Aku mungkin tidak tulus mencintaimu, karnanya aku memiliki alasan. Bukankah cinta yang tulus tidak memiliki alasan, aku tidak tahu dan tidak pernah benar-benar tahu. Yang kutahu, aku suka memerhatikanmu diamdiam, melihat senyummu dan caramu tertawa.

Namun itu tak sebanding dengan melihat wajah kucelmu. Aku menyukainya dan mungkin itu alasan kenapa aku menyukaimu. Mungkin itu juga yang membuatku berusaha untuk menggenggam tanganmu, meski dengan cepat kamu menariknya. Mungkin kamu berpikir aku iseng, tapi aku ingin menggenggam tangan itu, menyela selasela jemarimu yang kosong.

Mungkin, kamu berpikir aku menghinamu dengan mangatakan wajah kucelmu itu. Aku tidak bermaksud, sungguh. Aku ingin mengatakan banyak hal, hanya saja katakata yang keluar selalu sama, seperti nada mencela. Kamu mungkin tidak pernah tahu, beberapa tulisanku terakhirku selalu tentangmu. Aku sengaja menyamarkannya, meski aku tidak pernah tahu kamu membacanya atau tidak.

Mungkin kamu tak pernah tahu dan sebaiknya tidak tahu bahwa aku menyukai wajah kucelmu, mencintai kamu.