Ia mengayunkan kedua kakinya pelan, bergantian, bunyi kecipuk mengiringi gemericik sungai. Ia berharap di mata kakinya terdapat pintu yang langsung menuju hatinya, tempat menyimpan rindu, tempat harap menggebu-gebu. Rindu perlahan turun menuju pintu, jatuh ke sungai. Ia membiarkan semua-semua rindu perlahan mengalir bersama aliran sungai. Terjebak di sungai dangkal, meliuk menghindari air tercemar, tapi sudah sifatnya air menerobos penghalang karena takdirnya harus mengalir menuju muara.
Menuju laut.
Rindu yang dikirimkannya adalah rindu yang teramat tua. Telah ia peram lama seorang diri. Rindunya tak mengenal kata musim. Musim telah berganti-ganti, tapi ia tetap terpaut pada satu hati. Ia ingin belajar kepada petani buah yang memeram hasil panennya di satu tempat dan mengambilnya ketika masak. Tidak membiarkan  buah terlalu matang di pohon, membusuk, dimakan codot atau jatuh ke tanah. Ia ingin belajar agar ia tahu, kapan waktu terbaik menyampaikan rindu yang telah diperamnya kepada seseorang, sebelum rindu itu membusuk dan melukai dirinya sendiri.
Ia telah menarik diri dari percakapan-percakapan yang hanya memperpanjang harapan. Harapan seperti tanaman liar yang merambat di dinding rumahmu. Jika tidak dipangkas, tidak kamu rapikan, ia akan menjalar dan merusak. Ia tidak ingin harapnya terus tumbuh pada perempuan itu dan merusak segalanya. Ia menghindari pertemuan sebab ia tidak tahan menatap matanya dan ingin menyelam di sana. Pertemuan membuatnya berhenti mengenal kata cukup. Ia ingin memiliki, ia ingin dicintai seperti dirinya mencintai perempuan itu.
Tahun-tahun kesepian pernah dijalaninya. Alih-alih berupaya menghalaunya, ia memilih mengakrabinya. Ia memilih menjadi teman sepi. Tidak perlu berbagi, tidak perlu diberi, ia mencukupi dirinya sendiri dan memenuhinya dengan sepi. Lalu perempuan itu datang. Mengisi malam-malamnya dengan percakapan. Layar telepon genggam sering menampilkan namanya yang sebelumnya hanya pemberitahuan dari provider atau pesan yang berisi pekerjaan. Ia sudah lupa caranya tersenyum ketika mengetik pesan di handphone-nya, perempuan itu mengingatkannya. Menghadirkan kembali bahagia yang telah lama hilang darinya.
Cinta pernah mengetuk hatinya. Hanya sesaat setelah dia belajar percaya cinta itu indah. Hanya sesaat tapi meninggalkan luka yang dalam. Amat dalam. Maka diperamnya rindu tanpa pernah ia sampaikan kepada perempuan itu. Hingga ia terjaga di satu pagi, menelusuri lengang menuju sungai. Ia ingin mengirimkan rindunya.
Rindu yang dikirimkannya akan bertahan di laut, bersembunyi di balik karang, bersembunyi di dasar laut hanya agar awan tak mengambilnya dan menjadikannya hujan. Ia akan bertahan hingga perempuan beraroma laut datang, melangkahkan kakinya pelan menyusuri pasir putih. Hingga ia memeluk laut dan rindu menemukannya di sana. Memeluknya. Mengabarkan pada perempuan itu, ada seseorang yang begitu merindukannya.




Aku berdiri di depan rumahmu, berjinjit memencet bel di ujung beton tempat besi-besi menancap, memagari rumahmu. Degup jantung yang lebih cepat, keringat dingin membasahi kausku. Gemetar jemari yang mengepal di besi yang warna catnya telah memudar, memunculkan karat di banyak sisi. Kudengar derit pintu bergeser pelan, cahaya dalam rumah memantulkan bayangan  memanjang melewati celah pintu, tipis, dan sulit ditebak.
Perlahan pintu terbuka, lebar, pelan, tanda kehati-hatian. Langkahmu serupa angin malam, berhembus pelan tanpa meninggalkan gaduh, hanya bisik lembut. Berdiri di depan pagar, mematung, menatapku. Tatapan yang menusuk mataku, masuk ke dalamnya, bersembunyi di jantung dan hati, berharap tak pergi lagi.
Kamu menyentuh tanganku, keringat masih menempel di sana dan getarnya belum berhenti. Usapan lembut pada punggung tangan meredakan kegelisahan dan ketakutan dan kesedihan, berganti bahagia, juga harap, juga senyum yang sejak lama hilang dari bibirku dan direnggut paksa dari bibirmu.
Kita bicara mengenai cuaca, pekerjaan yang melelahkan, tulisan-tulisan yang semakin jarang ditampilkan, penjual mie ayam di dekat pohon rindang, tentang luka-luka yang perlahan menggerogoti hidup kita. Ia memakan harap, mengambil bahagia. Lalu kita bicara mengenai mimpi-mimpi, rumah kecil di dekat sawah, kamu ingin menuai bersama petani ketika masa penen tiba. Memandikan sapi, memeras susu, semua-semua asal bersamaku dan semua-semua asal bersamamu.
Cahaya dalam rumah memantulkan bayang seseorang melalui celah pintu yang sengaja kamu biarkan terbuka. Langkah berat, perlahan, terdengar derit dari pintu yang digeser kasar. Tatapan cemas matamu mengisyaratkan kepadaku, sudah waktunya pergi. Kecup dari celah pagar yang tak tuntas, genggaman tangan yang harus terlepas. Kesedihan mulai merambat di hati. Kita hanya perlu sendiri-sendiri, sementara waktu hingga kita dapat bersama dan tak ada yang bisa memisahkan kita.


Aku harus menulis sebab sebentar lagi bumi hancur dan mengubur siapa saja yang hidup di atasnya. Hidup-hidup. Aku harus menulis jika ingin abadi, bukanlah salah satu cara memperpanjang ingatan seseorang tentangmu adalah dengan menulis. Tapi, jika bumi dan semua-semua yang hidup mati, siapa yang akan membaca tulisanku.
Anggap saja dari tujuh miliar lebih manusia yang mati - tak perlu kau hitung hewan-hewan dan jenisnya, tak perlu kau tambahi angka-angka di kepalamu dengan tumbuhan-tumbuhan apalagi meributkan mana yang masuk golongan buah-buahan atau sayuran, seperti kau selalu mengingatkan kekasihmu bahwa tomat masuk dalam golongan buah-buahan dan bukan sayuran meski ia seringkali menjadi pelengkap masakan seperti halnya sayuran lainnya, tak perlu kau hitung itu – ada satu manusia yang masih hidup. Kupikir dia tidak akan membaca tulisanku. Dia akan sibuk bertanya-tanya mengapa dunia tiba-tiba hancur sampai perutnya menjerit minta diisi.
Dia akan mengumpulkan fakta-fakta, menganalisa, lalu mencari makan untuk memenuhi perutnya dan membantunya berpikir. Bahkan jika kebutuhannya telah terpenuhi, kupikir dia tidak akan membaca tulisanku sebab tulisanku dimuat di blogspot. Internet mati, komputer hancur, pembuatnya ikut terkubur, dan jika ia memaksakan dirinya merakit komputer, menghidupkan jaringan internet seorang diri, ia kan memilih membuka media sosial. Menceritakan hidupnya hingga jarinya pegal, mengumpat sepuasnya. Tak lupa memajang fotonya di atas puing-puing bangunan yang roboh.
Pertanyaan itu mengambil waktuku menulis. Jika kecepatanku menulis rata-rata satu paragraf dalam dua menit, aku telah kehilangan lima belas paragaraf hanya untuk memikirkan siapa mau membaca tulisanku. Dan jika sebatang rokok mild habis dalam delapan menit, aku telah menghabiskan tiga batang rokok dengan jeda dua menit sebelum menyulut rokok baru. Sialan betul memang. Harusnya tak kupirkan bagian remeh ini.
Kusulut batang keempat, sialnya kepalaku malah mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Barangkali, setan yang bosan karena kehilangan pekerjaan yang sudah diwariskan turun-temurun dari sebelum diciptakannya Adam dan Hawa akan membaca tulisanku. Kubayangkan sekelompok anak-anak setan sedang duduk dan membanggakan pekerjaan orang tua mereka.
“Ayahku berhasil menggoda pejabat-pejabat di pemerintahan untuk korupsi,”
“Apa hebatnya. Ayahku berhasil menggoda mereka korupsi, menyuruhnya kawin lagi. keluarganya barantakan dan masuk penjara. Semoga saja tidak tobat di dalam sana,” timpal setan lain.
“Ayahku menyuruh atasannya si komandan setan untuk solat dan ia tak mau,” katanya bangga.  
Menggoda manusia pekerjaan turun-temurun yang menjadi kebanggan para setan. Tapi Manusia telah mati, setan tak lagi bisa merisak keturunan Adam. Menggoda sesama setan tentu tak menarik, menggoda dengan menyuruh temannya beribadah lebih tak masuk akal lagi.  Tapi jika setan rajin beribadah setidaknya ada yang bisa digoda untuk meninggalkan ibadah. Ide tolol ini sempat terpikir, namun diurungkan. Pelarian saat dirimu begitu bosan Adalah membaca, mungkin setan akan membaca tulisanku
Malaikat yang tiba-tiba kedatangan seisi dunia tentu tak sempat membaca tulisanku. Bayangkan, terdapat tujuh miliar lebih manusia yang harus dihitung amal dan perbuatannya. Ditimbang amal baik dan buruknya dan melakukan serangkai tes keimanan untuk kemudian ditentukan masuk surga atau neraka. Betapa lama waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan ini. Ini belum termasuk proses penyucian dari dosa yang katanya sehari di dunia seperti setahun di alam sana.
Rokokku telah habis. Gelas di samping kananku hanya menyisakkan ampas kopi di dasarnya. Aku belum menemukan siapa yang akan membaca tulisanku selain setan-setan yang bosan. Itu pun jika mereka baca.
Aku harus pergi ke warung membeli rokok. Menjerang air dan membuat secangkir kopi lagi. Setelah itu aku akan menulis dan meminta kepada Tuhan agar menunda menghancurkan bumi sebab tulisanku belum selesai.