“Aku ingin dimakamkan di dekat taman buah. Ketika kau mengunjungiku, kau seperti sedang piknik, bukan mengantar tangis dan kata-kata yang tak lagi mampu kujawab.”
Tiap kali memikirkanmu, aku menyelipkan satu harapan. Seperti surat kecil yang ditulis Saajan Fernandes kepada Ila yang diselipkan di kotak makan siang, ia bercerita, ketika istrinya meninggal, ia mendapat makam horizontal. Aku ingin membeli tempat untuk kuburanku dan mereka menawariku makam vertikal. Aku telah berdiri di bus dan kereta sekian lama selama hidupku, bahkan aku juga harus berdiri ketika mati nanti,  tulisnya. Tentu saja, harapanku tak seperti Fernandes yang ingin dimakamkan secara horizontal tepat di sisi istrinya.  
Aku berharap jasadmu dikremasi.
Lalu aku pergi mengunjungi satu tempat kesukaanmu, laut yang tenang kehijauan, karang-karang indah yang kamu pandangi ketika menyelam. Sepotong roti yang kamu bawa untuk kamu hancurkan, mengundang ikan-ikan datang, mengerubutimu. Kamu yang mencintai laut seringkali melupa bahwa tubuhmu telah pucat saking lamanya berenang di sana. Dan keindahan lainnya yang selalu ingin kamu bagi denganku, termasuk senja, yang menurutku biasa saja.
Aku ingin melarung abumu dan semua ingatan tentangmu di sana, tempat kesukaanmu. Pada laut tempatmu berpulang, aku ingin mengucap selamat tinggal pada kecewa, juga luka-luka, juga terima kasih untuk setiap momen kebersamaan kita. Lalu berharap sekembalinya dari perjalanan itu, aku tak lagi merasa sedih setiap kali mengingat kematianmu. Tapi aku sadar, tak ada yang benar-benar hilang dan terhapus.
Karena musim membawa ingatan yang tak pernah benar-benar terhapus ke tempat tidurku.
Dan seperti harap-harap yang mati, harap yang lain kembali bertunas. Aku bahagia harapanku tak tercapai. Kini, tiap kali memikirkanmu, aku menyelipkan satu harapan, semoga kamu tenang di sana, di hamparan ruput, dekat taman buah, tempatmu beristirahat.
Aku akan mengunjungimu dalam waktu dekat.


Seharusnya senja sebentar saja, seperti hari-hari yang biasa. Warna langit yang serupa jeruk matang hanya indah jika ditatap sebentar saja, jika terlalu lama ia menjadi biasa saja, seperti siang yang terik atau malam panjang tanpa bintang atau malam purnama yang ditutupi awan mendung. Tapi hari ini menjadi pengecualian; senja bertahan lebih lama, entah karena apa atau ditujukan untuk siapa. 
Dan senja yang tak biasa ini membuatku cemas, akankah muncul keajaiban-keajaiban atau kesialan, bagiku, tak bisa kubedakan keduanya ketika seseorang dari masa lalu datang membawa seikat bunga, menghampiriku. Duduk di sampingku. 
"Kamu tak suka senja, tidak pernah, seperti tak menyukai hujan dan laut. Mereka hanya latar, bumbu khusus, penambah nikmat untuk kopimu tanpa gula," katanya. 
Mata kami bersirobok saat kupalingkan wajahku, lalu turun ke bibirnya, tempat kata-kata itu meluncur deras dan tak salah. Tahun-tahun yang panjang, tahun-tahun yang berlalu cepat, dan ia masih saja mengingat hal-hal kecil itu. Kembali kutatap langit sore itu, tak ada tanda-tanda jubah malam akan mengambil alih hari lalu menutupi seluruhnya dengan gelap. Di kepalaku muncul pertanyaan, di bagian bumi lainnya, entah di negara mana, apakah senja bertahan lebih lama dari biasanya atau ujung jubah malam mulai menutupi hari.
Manusia-manusia, sepasang, dua pasang, sendiri, orang tua mematung di hadapan senja itu dengan tangan memegang telepon genggam. Seorang anak menarik ujung kaus ibunya, anak lain menarik celana ayahnya, meminta ditemani bermain. Tapi senja yang tak biasa, yang lebih lama dari sebelumnya membuat mereka terpesona dan ingin segera memotretnya untuk dibagikan di lini massa.
Tangan-tangan yang sedari tadi sibuk dengan telepon genggam kini terkulai. Wajah-wajah manusia yang begitu antusias berubah cemas. Pertanda apakah ini, mungkin begitu pikir mereka. Pun juga pikirku. Tentang apa  semua ini; senja yang tak biasa dan seseorang dari masa lalu. 
"Kamu menjemputku?" Tanyaku dan jawaban yang kudapat hanya senyuman. 
Ia mengikis jarak di antara kami, menyandarkan kepalanya di pundakku. Seperti dulu-dulu, menemaniku menatap senja yang tak kamu suka, katanya. Pipiku terasa hangat, lapisan tipis di mataku pecah juga, mengaliri pipi, jatuh ke bibir. Asin. 
"Aku nggak tahu kamu secengeng ini sekarang," bisiknya. 
Aku lebih cengeng lagi saat kamu pergi, tepatnya, saat kabar itu datang, tiba-tiba. Di satu senja yang biasa, di tempat yang biasa, aku menunggumu datang, tapi yang datang hanya suara parau dari sambungan telepon. Di ujung sana, kata-kata seperti sulit sekali dieja, terbata-bata, begitu lirih, dari ibumu yang mengabarkan kematianmu.
Seorang pengendara tolol menabrakmu, membuatmu terpental hingga beberapa meter sebelum kepalamu membentur trotoar. Sebelum kendaraan yang mengantarkanmu tiba di rumah sakit, malaikat maut telah dahulu menjemputmu.
"Senja itu . . . senja terakhir, apakah indah?" tanyaku.
"Ya, sangat indah, kecuali satu hal, kamu tak ada waktu itu."
"Setelah ini, kita akan melihat senja bersama-sama, sebanyak yang kamu mau."
Ia menggeleng lemah, seperti isyarat yang mengatakan kepadaku, belum waktunya, belum saatnya. "Teruslah hidup, sayang," katanya.
Ia bangkit berdiri setelah menyerahkan seikat bunga yang ia bawa kepadaku. Jubah malam mulai mengambil hari, senja yang tak biasa berakhir bersama kepergiannya. Ia menghilang ditelan gelapnya malam. 

aku tidak akan mendoakan semoga kau panjang umur, kawan, karena tidak semua manusia suka berumur panjang.
pun juga bahagia. bahagia seperti kembang api, menggelegar, memuncah di dadamu, lalu kosong,  setelahnya hanya hampa. sedang kau, kau ingin seperti danau, tak berombak, tak bergelombang. tersembunyi di hutan yang belum terjamah manusia, danau yang sepi, kau yang memilih sunyi.
hari-hari berlalu begitu cepat. hari-hari bergerak begitu lambat. kau mengulang tanggal lahirmu. dan hidup menghadirkan begitu banyak tanda tanya, yang mungkin tidak pernah bisa kau jawab sepenuhnya.  
tapi, teruslah hidup, kawan.