kuhentikan suara lagu yang berputar sebab setelahnya akan jeda panjang, memanggil kesunyian. bukan sunyi, melainkan sepi dan aku tidak siap, belum menyiapkan apa-apa. seperti lagu yang terputus di tengah, aku perlu menyiapkan jeda, sebelum benar-benar habis, sebelum benar-benar hubungan ini berakhir, sebelum kesedihan lahir dari rahim perpisahan.
seorang polisi datang menghampiri, meminjam korek api. menyulut rokok yang telah menyelip di kedua jarinya. memerhatikan puntung-puntung rokok yang berserakan di bawah kakiku yang abunya telah beterbangan. sebentar lagi, satu puntung akan jatuh lagi ke tanah, menambah sampah di muka bumi, mencermarkan udara sejak tadi.
“Merokok itu tidak bisa buru-buru. kau perlu menyadari bahwa dirimu sedang merokok, bukan hembas-hembus begitu. begitu kamu sadar apa yang kamu lakukan, setiap tarikan dan hembusan akan memberi kenikmatan,” katanya, mengembalikan korek yang dipinjamnya.
kusulut sebatang rokok baru, kuhisap pelan-pelan, menghembuskan asapnya pelan-pelan, seperti instruksinya. kuhidupkan lagi pemutar lagu, lagu terakhir yang akan membawa sepi setelahnya. sia-sia mengantisipasi kesepian, sia-sia mengantisipasi perpisahan. pada akhirnya, perpisahan selalu membawa kesedihan meski telah dipersiapkan dan dipikir matang-matang.
lagu itu telah berakhir. rokokku masih setengah. aku belum ingin beranjak kemana-mana. biar kunikmati setiap isapan dan hembusan hingga rokok ini habis, setelah itu akan kupikirkan kemana kaki-kaki ini melangkah.