Pukul 00:00, batas hari ini dan esok, juga batas hari ini dan kemarin. Masa depan yang bergulir menjadi masa kini dan masa kini yang tertinggal menjadi masa lalu.
Kamu pasti sudah tertidur pulas, celana pendek dan kaos gombrong menjadi ritual yang tak bisa kamu gantikan. Kamu akan mengeluh tak nyaman jika menggunakan gaun dan jeans. Kamu sangat detail terhadap hidupmu, cuci muka, cream malam dan perawatan lainnya menjadi rutinitas yang tak terbantahkan.
“Aku harus cantik,” begitu katamu padaku. Seolah kata cantik menjadi parameter cintaku padamu. “Semua cowok kan suka cewek yang cantik, langsing dan stylish, kalo aku jelek pasti ditinggalin.” Kamu mungkin lupa, nggak semua cowo berpikir seperti itu. Secantik-cantiknya kamu hari ini tak ada yang menjamin kamu akan tetap cantik esok, apakah aku akan pergi jika itu terjadi.
Kamu coba diet ketat, membentuk tubuhmu agar terlihat proporsional. Kamu ingin terlihat anggun menggunakan dress, terlihat cantik, agar orang-orang yang mengecewakanmu menyesal telah meninggalkanmu. Tapi kamu lupa, bahwa kamu melakukan hal itu bukan untukmu sendiri, kamu hanya ingin membuktikan bahwa kamu bisa, bahwa kamu hebat tapi kamu tak bahagia melakukan hal itu.
Jatuh bangun kamu berusaha melakukan itu, yang kamu dapatkan hanya satu-sakit. Kamu tak perlu melakukan itu, kamu terlalu berharga dan tak pantas jika hanya menjadi hiasan. Kamu bukan barang, yang harus selalu dituntut sempurna secara fisik. Banyak hal yang membuat kamu menarik.
Pukul 01.00, 60 menit berlalu tanpa kata. 60 menit yang panjang tapi terlalu singkat bagi kamu yang tertidur pulas. Bobo-bobo cantik, itu yang selalu kamu bilang padaku.
Posisi tidurmu miring ke arah kiri, hanya menyisakan wajah sebelah kananmu yang terlihat. Rambut panjangmu yang tergerai menutupi sebagian wajahmu, wajah manis tanpa polesan. Tangan kirimu bersembunyi dibalik bantal, tangan kananmu dibiarkan memanjang, berharap digengang atau menggenggam dan tak pernah dilepaskan.
Aku berharap ada disampingmu, tidur menghadap kiri agar bisa berhadapan dengan wajahmu. Menggenggam tanganmu sehingga kamu tak perlu lagi menggapai, sudah ada tanganku yang menggenggammu erat dan tak akan melepaskan.
Aku ingin terus berada dihadapanmu, melihatmu sesekali bergerak membetulkan posisi tubuhmu, menyisir anak-anak rambut yang bermain di wajahmu. Mengusap peluhmu dan menikmati harum bau tubuhmu.
Ketika sinar-sinar kecil menusuk celah-celah dinding kamar, kamu terbangun. Tersenyum mendapatiku ada di hadapanmu, senyum bidadari yang menghilangkan beban dunia.
Semoga ini nyata...
*untuk wdp yg membuat mimpi ini menjadi nyata...

Tak ada yang sempurna, tak ada yang terbaik dan tak ada yang paling bahagia. Terbaik bagi seseorang bisa jadi terburuk buatmu. kebahagiaan bagi seseorang, bisa jadi kesedihan buatmu. Semua relatif, bermain dalam kotak pikir individu.

Yang kamu pikir maksimal bisa jadi belum cukup buatnya. Yang terbaik menurutmu, mungkin tak berarti apa-apa buatnya. Mungkin seseorang yang kamu anggap istimewa, menganggapmu biasa.

Tak ada patokan, tak ada ukuran, yang ada hanyalah individu-individu…

“Pernahkah kamu mencintai seseorang, saking cintanya hingga takut memilikinya”

Tak ada yang menafikan bahwa setiap orang ingin bahagia tapi juga tak bisa dinafikan bahwa kita juga ingin membahagikan orang yang kita cintai. Pergolakan menuju ke arah sana begitu berat tak cukup berakhir lewat kata.

Untuk pertama kalinya dalam hidup saya mencintai seseorang begitu besar, saking besarnya hingga takut memilikinya.

Saya juga tidak tahu kenapa begitu cepat perasaaan ini bergulir, saya ingin pelan-pelan, ingin memberi hati saya kesiapan untuk kembali mencinta setelah sekian lama kosong. Saya takut, cinta yang tumpah ruah ini malah kering kerontang di tengah jalan.

Tak pernah ada yang tahu hidup akan membawa kita pada roda yang mana, hidup selalu menjadi misteri. Begitu pun hubungan saya dengan dia, tak ada yang bisa menjamin saya untuk bisa membahagiakan dia atau tidak, semua masih misteri dan terlalu dini untuk mengkalkulasi.

“lo coba membahagiakan dia menurut persi lo, menggunakan cara lo . Tapi lo harus sadar, dia gak akan selalu bahagia bersama lo. Lo gak bisa selalu membahagiakan dia, bahkan lo kadang melukai dia. Yang terpnting sekarang, ajak dia untuk membangun hubungan ini, membangun kebehagiaan bersama-sama, dia layak untuk ambil peran dalam mebahagiakan pasangannya. Egois kalo lo hanya berpikir sendiri tanpa pernah melibatkan dia,” kata sahabat saya.

Anes benar, saya nggak selalu bisa membahagiakan dia. Pasti ada saat dimana dia tidak bahagia dengan saya, ada saat dia merasa terluka oleh saya. Saya bukan siapa-siapa yang bisa menjanjikan kebahagiaan. Terlalu naif jika saya menjanjikan hal itu. Saya ingin mencoba, saya ingin membangunnya bersama-sama dengan dia. Saya ingin dia bahagia-selalu.

Amin...

02:32-23/11/11

Pernahkah kau menginginkan seseorang—tapi tidak ingin memilikinya? –theoresia-


Benarkah ini bentuk dari kebebasan atau justru keegoisan. Membebaskan seseorang untuk meraih cintanya, membiarkan dia terbang bebas dan singgah di (hati) mana pun dia suka. Memberikan kepercayaan bahwa cinta memilih seseorang bukan seseorang yang memilih cinta, sehingga kita dipilih (cinta) bukan memilih.

Tapi bukankah cinta diam-diam adalah egois. Mencintai seseorang tanpa pernah menyatakannya. Melepasnya tanpa berusaha memilikinya. Mencurahkan sesuatu yang samar-samar, bersebunyi dibalik manisnya persahabatan-temen curhat –tempat sampah. Meringkuk pesakitan di belakangnya dan tersenyum manis di hadapannya.

Benarkah ini ketulusan atau jutru ketakutan. Bukankah tak ada yang bisa menjamin seseorang untuk bahagia, begitu pun tak ada yang bisa menjamin-melepaskannya akan membuat dia bahagia. Setipis ini kah perbedaannya, sehingga sedikit saja hentakan membuatnya robek.

Tapi bagaimana pun kehilangan tetap saja menyakitan. Bukan perkara tolak-menerima, itu berada dalam ranah lain. Jalinan persahabatan-pacaran memberikan garis yang berbeda. Ada yang hilang dalam memiliki.

Mungkin tak perlu memaksakan, menikmati cinta diam-diam atau memiliki sekaligus kehilangan…

-->
“Semuanya sudah berakhir”. Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirmu setelah setengah jam berlalu tanpa kata. Tanganmu masih memutar-mutar cangkir yang isinya telah berpindah ke tubuhmu. Cangkir kosong itu kini menjadi kiblatmu, matamu tak lepas darinya. Tidak menoleh ke kanan, kiri atau belakang, menatap ke depan tak mungkin kamu lakukan, ada aku di situ. Matamu tak akan pernah mau menatapku, bahkan sedetik pun tidak.
Banyak hal yang membuat kita tertunduk, takut dan tak siap menghadapi kenyataan. Kita tak ingin memulai apalagi mengakhiri. Kalau memang diam membuat kita lebih banyak bersama, sebaiknya kita larut dalam diam. Tak perlu lagi kata, kebersamaan adalah obat mujarab dari hubungan kita.
Tapi hidup tak stagnan pada satu dimensi, ia dinamis. Ia mengharapkan waktu terus berjalan dan kita harus bergerak. Entah pahit atau manis itu konsekuensi logis dari hidup. Tak ada yang manis-manis saja, tak ada yang mudah-mudah saja. Perjalanan ini tetap harus berlanjut, kata ini harus disambung. Entah bagaimana akhirnya, hanya tuhan yang tahu.
Marcell benar, tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah kita lantas pergi, meski cinta tak kan bisa pergi. Benteng di hadapan kita terlalu tinggi, sulit untuk kita menggapainya.[1] Ini sulit tapi harus ada yang memulai, harus ada yang memutuskan.
“Ya, sudah berakhir rupanya” begitu saja kalimat itu meluncur dari bibirku. Ingin aku menarik kembali kata-kata itu dan membenamkannya di dasar laut, tapi tak mungkin, kalimat itu telah keluar dan memang sebaiknya keluar. Tatapanku kini tertuju pada cangkir kopi, isinya telah berkurang setengah. Mataku tak lagi memperhatikanmu, terlalu lelah menunggumu mengangkat kepala dan tersenyum manis seperti biasa.
“Kenapa tuhan menciptakan kita berbeda-beda kalau dia hanya ingin disembah dengan satu cara. Kenapa kita harus terjebak dengan identitas, melabelkan tuhan dengan satu nama. Bukankah agama representasi dari keyakinan personal, bukan sebuah keyakinan yang dipaksakan”. Suaramu meninggi, tatapanmu nanar, ada setitik air yang merembes di sana. Matamu menyala, tak pernah ku lihat kamu semarah itu, tak pernah ketika menatapku.
Kudekap tubuhmu yang masih berdiri kaku menahan marah. “Kenapa semua harus berakhir hanya karna perbedaan. Bukankah tuhan itu satu, lantas mengapa jika kita berbeda”. Kalimat demi kalimat terus mengalir dari bibirmu, suaramu tak selantang tadi, seperti berbisik, seperti angin.
“Karna itu tuhan menciptakan cinta, agar kita bisa bersama meski kita berbeda” bisikkku sambil membelai lembut rambutmu.
“Masukkan saja aku ke agamamu, dengan begitu kita tak perlu mengakhiri hubungan ini”. Kalimat itu seperti silet yang menyayat-nyayat hatiku, perih sekali mendengarnya.
“Bagaimana bisa aku percaya pada orang yang telah mengkhianati tuhannya yang disembah dengan segenap jiwa dan raganya”, kataku sambil merenggangkan pelukanku kepadamu. Nafasmu sudah teratur, tubuhmu sudah tak kaku lagi, amarah itu sudah berkurang. Kamu berkata seolah kita sedang menukar sebungkus mie instan dengan keyakinan, menggadaikan hal paling dasar untuk sebuah cinta. Cinta itu melengkapi bukan meniadakan.
“Jadi kita kembali sendiri-sendiri”, tanyamu minta kepastian.
“Dari awal kita menjalin hubungan ini, kita sudah tahu saat-saat seperti akan tiba. Cepat atau lambat hanya tuhan yang tahu. Jika memang harus sekarang, memang sudah saatnya, sudah waktunya. Inilah jatah hidup kita. Kita bisa saja menjalani semuanya tanpa harus memaksa salah satu dari kita mengikuti agama aku atau kamu, tapi bukankah kita tak ingin menjalani hidup ini tanpa restu dari keluarga kita. Jika kita percaya hidup ini adalah anugerah dan setiap detik adalah hadiah, maka dua tahun bersamamu aku mengamini itu. Bersamamu adalah anugerah dan hadiah terindah yang tuhan berikan kepadaku.
“Huh, sebaiknya sampai di sini. Tapi malam ini aku ingin menghabiskannya bersamamu, menikmati sepotong kue kuning yang menggantung di langit. Sepotong cahaya di hamparan pekatnya malam, terlalu pekat hingga garis langit dan bumi tak terlihat. Aku ingin menikmatinya berdua, sampai cahaya kemerahan datang menjemput, aku akan pergi bersamanya”.
Ritual ini sudah dimulai rupanya. Tanpa pikir panjang, aku mengambil karpet dan selimut di kamar. Malam ini akan jadi ritual terakhir untuk kita, rutinitas yang kerap kamu tagih jika kue kuning itu berbentuk sabit. Kamu selalu mengkhayalkan dapat menggantung disana, memancing bintang-bintang yang berkeliaran di langit pekat. Sinarnya yang lembut menghangatkan tubuhmu dan menerangi kegalauan hatimu. Jika bintang jatuh, kamu berharap dapat mengambilnya dengan jaring yang kamu siapkan di kantongmu. Jaring yang sama, jaring yang digunakan nelayan untuk mencari ikan. Dengan memejamkan mata kamu membuat satu harapan, harapan yang sama sejak dua tahun lalu. Harapan agar kita selalu bersama. Begitulah ritual yang kamu maksudkan.
Beralaskan karpet dan selimut hangat kita mulai melahap kue kuning yang tinggal sepotong itu. Udara dingin membuat tubuh kita bersentuhan, tanpa jarak, tanpa spasi. Bahuku selalu menjadi sandaran kepalamu, sandaran paling nyaman di dunia menurut persimu. Tangan kita saling menggenggam, tak ingin terlepas meski hanya untuk sesaat. Walau kita tahu esok pagi genggaman ini harus lepas. Tapi
Inilah hadiah, inilah anugerah dan inilah jatah hidup kita…
inspired by : Marcell 'Peri Cintaku'


[1] Liryc by peri cintaku ‘Marcel