Semalam saya menghabiskan waktu dengan ber-sms-an ria, sambil berbaring merebahkan tubuh yang sehari-hari dipaksa untuk terus bergerak tapi malam ini saya malas beraktivitas jadi saya putuskan untuk menghabiskan waktu hanya di dalam kamar. Salah seorang teman tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan kami, awalnya saya menanyakan jadwal kuliah esok hari tapi setelah beberapa pesan singkat hilir mudik di Hape saya, pesan itu berganti dengan rencana surprise party untuk sahabatnya yang berulang tahun. Saya sendiri tak tahu kapan persisnya ulang tahun itu dirayakan dan apa surprise party-nya, dan teman saya mengajak ngopi sambil-kongkow-kongkow esok harinya, saya meng-iyakan.

Saya mulai bosan ber-sms ria, masih sambil berbaring saya teringat isi pesan singkat teman saya, “ulang tahun & surprise party” dua hal yang tak pernah saya jumpai bahkan ketika saya sudah menginjak umur yang ke 21. Ulang tahun dan surprise party seolah menjadi barang antik dalam hidup saya, bahkan kalau dicari dalam kamus besar kehidupan saya dua kata itu sulit untuk ditemukan, meski banyak juga kosa kata lainnya yang tak terdapat dalam kamus hidup saya.

Bagi sebagian orang ulang tahun merupakan hal yang sakral, setiap tahunnya momen bertambah usia ini harus dirayakan sebagai bentuk evaluasi dalam hidup. Bertambahnya satu tahun, menjadi momen untuk resolisi, evaluasi dan target meraih impian. Ulang tahun menjadi tonggak estafet dari kehidupan sebelumnya, dan momen ini menjadi titik baru perjuangan anak manusia. tak semua sependapat dengan hal itu, bagi sebagian lagi ulang tahun hanyalah ritual tahuanan yang dilewati dengan senang-senang, makan-makan dan happy party, tak ada resolusi, evaluasi atau target dari impian untuk masa depan, semua hanya untuk melengkapi ritual tahunan yang tak boleh hilang begitu saja.

Dan samapi saat ini saya belum menjatuhkan pilihan kemana saya berlabuh dalam mazhab tersebut. Buat saya tak ada yang istimewa dari ulang tahun, saya sendiri heran sejak kapan asumsi ini lahir dan mengakar dalam otak saya. Sambil mengorek-ngorek kantong memori saya yang telah usang saya terus menggali apakah ada kata ulang tahun yang mampir di otak saya. Sejak kecil hingga sekarang ritual itu tak pernah saya rayakan, bahkan meski kami tiga bersaudara tak pernah ada niatan untuk saling mengucapkannya, ulang tahun seperti hal yang tabu dalam keluarga kami. Meski sempat beberapa kali saya hadir dalam ulang tahun teman, tapi tak ada niatan untuk merayakannya.

Ulang tahun pun kadang menjadi penting bagi sepasang anak manusia yang sedang menajlin asmara, tak heran jika mereka terkadang bersusah ria untuk membuat kejutan yang takkan pernah dilupakan oleh pasangannya, tapi lagi-lagi hal ini tak berlaku bagi saya. Sempat menjalin hubungan dengan beberapa wanita tak lantas membuat saya berpikit bahwa surprise party untuk pasangan menjadi hal yang utama, buat saya ulang tahun jadian lebih penting dari pada ulang tahun pasangan kita. Maka saya heran jika ada pasangan anak manusia yang bertengkar hanya karena lupa mengucapkan “selamat ulang tahun” untuk pasangannya bahkan ada yang sampai mengakhiri hubungannya, seberapa pentingkah ucapan itu untuk mereka????

Saya sendiri tak dapat menilai penting atau tidaknya bagi orang yang merayakan ulang tahun, buat saya resolusi, evaluasi dan target hidup haruslah menajdi agenda bulanan atau dwi mingguan sebagai bahan renungan hidup. Dan memberi hadiah atau surprise tak mesti menunggu ulang tahun karena saya percaya hati untuk memberi tak perlu menunggu momen tertentu hati itu lahir dan mengalir untuk terus memberi.

Masihkan Menunggu Ulang Tahun???



“Aku ingin pergi”

“Kemana?”

“Kamu tau, aku sudah lelah dengan semua ini”

“Bertahanlah, kita hanya butuh waktu untuk memperbaiki semua ini”

“Satu tahun, sudah lebih dari cukup aku menunggu tapi lelah itu tak dapat lagi kubendung dan aku menyerah”

“Apa artinya kita akan sendiri-sendiri?”

“Ya, sebaiknya kita memang tak lagi bersama”
“Maaf”

Kata itu mengantarkanmu pergi dari hidupku, pergi dalam dimensi waktu yang tak terduga. Waktu selalu menyimpan misteri di dalamnya tak ada yang bisa menebak, karena manusia hanya bisa menerka-nerka, mengkalkulasi kenyataan dan harapan tapi kita tak pernah benar-benar tahu, hanya menerka dan berharap. Dan aku menikmati titik-titik kumpulan kejutan ini, dan ketika cerita kita berakhir, itu kejutan yang tak pernah aku harapkan.

# # #

Aku menemukanmu sebagai sahabat beberapa tahun silam, menemukan sisi lain yang tak kutemukan pada orang kebanyakan, termasuk sahabatku. Bersamanya aku membagi dunia nyataku, bercerita tentang cinta, tantang kuliah dan segala tetek bengek kehidupan dan bersamamu aku berbagi dunia personalku, tentang gerimis dan bintang kecil di ufuk timur yang kuberi nama Surriya. Dua dunia yang berbeda dan kutemukan dalam wujud manusia yang berbeda pula.

Ada keanehan yang merasuk dalam jiwaku saat menikmati dunia sendiriku. Semua kosong dan hanya ada aku, semua tak mengerti karena aku sendiri tak mampu menerjemahkannya dalam bahasa manusia. Aku merasa ganjil tapi kamu menggenapkanku dan sejak itu aku percaya bahwa aku bukanlah satu-satunya makluk aneh di palanet bernama bumi. Aku tidak lagi menikmati dunia personalku tapi menggilainya. Kegilaan yang kamu transfer entah lewat mana dan cara apa yang pasti kegilaan itu menjadi ritual yang tak terlewatkan.

Aku mulai membagi diriku menjadi angka-angka persentase, dunia nyataku 70% dan dunia personalku 30%. Aneh memang kedengarannya tapi itulah hidup di ruang massal selalu saja ada tuntutan dan 70% cukup untuk memenuhi tuntutan itu. Tapi apakah hidup mampu dipersentasekan, dibagi menjadi dua kutub yang berbeda, aku sendiri tak yakin mungkin ini cara satu-satunya untuk meyakinkanku.

Persentase itu tak bertahan lama, pembagian 70:30 melorot tajam menjadi 50:50 jadilah aku penghuni tetap dalam dimensi kesendirianku, tuntutan tak menjadi alasan untuk mengilainya. Dan berubahnya angka-angka itu, berubah pula hubungan kita. Aku tak hanya menggilai dunia personalku tapi juga kamu. Kamu dan dunia itu sudah menjadi satu paket utuh, seperti membeli sebuah hadiah dan kamu menjadi kotak tampat hadiah itu bernaung.

Aku mulai menjadi bagian darimu, masuk dalam duniamu, pergaulanmu, berkenalan dengan sahabat-sahabatmu tapi tidak keluargamu. Kata terakhir adalah hal tabu yang dibicarakan setidaknya sejak kita memulainya sebagai sahabat hingga menjadi sepasang manusia aneh kamu selalu terhenti pada kata itu dan aku tak ingin masuk ke arah dimana kamu tak nyaman. Aku mulai memahami sekaligus menikmati terjun dalam dalam duniamu, dunia yang berbalik jauh dengan duniaku.

Beberapa bulan berjalan, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Lagi-lagi persentase itu tak bertahan lama, angka 50:50 kini berbanding terbalik menajadi 80:20 jadilah aku makhluk rasional yang mulai mencintai dunia nyata. Dan sejak itu pertengkaran kita dimulai, rentetan pertengkaran menghiasi hubungan kita.

Aku mulai menuntut dicintai secara nyata, dan kamu membiarkannya terus mengalir hingga semua bermuara. Sejak perkenalan kita aku tahu kamu akan selalu begitu, menikmati dunia dengan caramu sendiri meski aku juga tahu kamu mencoba berunah demi aku tapi perubahan itu terasa begitu lamban bahkan aku menganggapnya stagnan.

Aku lelah, dan aku tak melihat kamu bereaksi atau sekedar mencoba menahanku dengan semua alasan yang mungkin tak nyata. Tapi kamu terlalu naïf, membiarkan pasir yang ada di tanganmu tetap terbuka agar tak jatuh di sela-sela jemarimu tapi cinta juga harus dipegang kuat-kuat agar ia tak lari saat ia jenuh dan aku tak melihat itu dalam dirimu.

Dan kemarin adalah akhir.

















Apa artinya pelengkap. Ada yang beranggapan complement adalah polesan akhir dari kesempurnaan, tanpa adanya pelengkap itu maka ada sesuatu yang kurang. Sebagian yang lain beranggapan complement sesuai artinya hanyalah pelengkap ada dan tidak adanya, tidak mengurangi bobot sesuatu. Dan aku lebih menyukai definisi yang terakhir, karena aku hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

Apa yang kamu rasakan jika orang yang kamu anggap istimewa menganggapmu biasa. apa artinya tak ada dan menarikkah bayangan, lalu diperhitungkankah sebuah pelengkap, lagi-lagi semua pertanyaan merujuk padaku. Tapi aku hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

Menjadi complement tidaklah menyedihkan, kehadiranmu tidak akan dipertanyakan. Kamu bebas terbang kemana pun kamu suka. Menjadi bajingan, penjahat, atau pelacur, kamu tetaplah kosong dan tidak pernah ada. Karena Kamu hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

apa artinya keindahan tanpa keburukan, kebajikan tanpa bersanding dengan kejahatan, orang baik dan pelacur tanpa complement semua sama-samar, namun tetap saja aku hanyalah pelengkap ada dan tidak ada tidak mengurangi apapun.

Sesampainya di rumah, saya langsung menyalakan televisi hal yang jarang sekali saya lakukan di sore hari. Biasanya saya masih beraktivitas di kampus entah itu ngopi bareng temen-temen atau menjalani kegiatan di organisasi. Malam selalu menemani langkah saya pulang ke rumah, enggan rasanya menghabiskan senja di rumah lembayung kekuningan itu lebih nikmat jika disantap bersama-sama teman dari pada menikmatinya dalam kotak bernama rumah. Tombol remote tv saya tekan berkali-kali mencari acara yang menarik untuk ditonton, setelah beberapa kali merubah channel tiba-tiba tangan saya berhenti pada salah satu program pencarian orang baik di Indonesia. Tujuannya mungkin untuk membuktikan bahwa untuk menjadi baik tidak harus kaya karena target dari acara ini adalah orang-orang yang tidak mampu dan terpenting untuk menunjukkan masih ada orang baik di muka bumi ini yang penuh dengan tindak kejahatan dimana-mana. Mungkin.
Acara itu menampilkan seorang nenek yang sedang menangis, mengadu pada orang-orang bahwa belanjaan yang telah ia beli diambil orang dan dengan kesedihan yang nampak dibuat-buat si nenek meminta bentuan kepada orang lain untuk membelikan belanjaannya yang dicuri tadi agar si nenek tidak dimarahi majikannya ketika pulang ke rumah. Disitu diperlihatkan sulitnya mencari orang yang mau membantu, berkali-kali si nenek ditolak dan pada akhirnya si nenek menemukan sang manusia baik hati yang mau membantunya, dibelikanlah si nenek belanjaan tersebut. Dan di akhir acara sang penolong tersebut diberi uang oleh tim program tersebut.
Melihat acara tersebut sontak membuat saya teringat pada kejadian beberapa bulan lalu. Saya teringat pada ibu-ibu penjual pecel, pecel ini bukan pecel lele tapi isinya sayur-sayuran seperti daun singkong, bayem, di tambah bakwan dan disiram dengan bumbu kacang yang pedas dan jadilah saya seorang vegetarian dadakan saat itu. Sambil melahap jajanan pengganjal perut itu saya berbincang-bincang santai dengan ibu penjual pecel itu, di situlah saya tau bahawa si ibu pecel itu yang lupa saya menanyakan namanya berjualan pecel sebelum saya lahir, tahun 80an tepatnya.
Spontan saya bergurau “Wah nggak punya duit nih bu, boleh minta nggak?”.
Si ibu pecel tadi langsung jawab “ kalo minta sih boleh mas”
“ Minta sih gratis tapi habis makan bayar, iya kan bu? Tanya saya
“Ya nggak lah mas, kalo minta seh saya kasih, tapi nggak banyak mas”
“Emang nggak takut rugi bu?
“Namanya saling tolong mas, dulu waktu pertama ke Jakarta juga saya kalo nggak punya duit ya minta mas”
Deg, hati saya saat itu seperti terkena bogemen cukup keras. Bagaimana mungkin si ibu penjual pecel itu rela memberikan pecel gratis di tengah keadaan ekonominya yang tak juga baik. Penghasilannya mungkin tak seberapa dari berjualan pecel, tapi kebaikannya mengajarkan saya satu hal bahwa menjadi baik tak harus menunggu kaya.
Saat itu saya menjadi yakin, masih banyak orang baik di bumi ini. Dan mudah-mudahan kita salah satu diantaranya.




















































Ini hari pertamaku berada di taman ini, taman yang berada di pusat kota. Bau asap kendaraan masih tercium dari sini, maklum meski taman ini hijau dengan pepohonan yang cukup rindang tapi karena letaknya yang dikelilingi oleh kendaraan tetap saja menimbulkan polusi. Aku tahu benar pepohonan yang rindang itu bukanlah penduduk asli yang tumbuh di tempat ini, sepertinya pepohonan itu dimigrasian secara paksa oleh pemerintah agar membuat taman ini lebih sejuk. Padahal program paksa itu belum tentu sesuai dengan habitat si pohon, bisa saja si pohon mogok makan dan minum seperti yang dilakukan para manusia di luar sana yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah dan akhirnya mati layu karena kekeringan.

Hidup adalah kumpulan titik-titik kejutan, itulah yang kupahami. Dan penempatan aku di taman ini adalah sebuah kejutan yang besar. Berada di tengah-tengah kota, menjadi penghias taman yang dilengkapi dengan fasilitas mengakses internet gratis, dan terpenting aku akan menjadi pilihan favorit setiap muda-mudi yang dimabuk cinta. Posisiku menghadap kolam kecil yang memancurkan air, mengikuti irama musik yang indah. Di dalamnya terdapat teratai merah dan pohon-pohon bunga kecil menghiasi kolam kecil itu, setidaknya itulah alasan yang membuatku yakin para manusia akan berebut duduk di tubuhku.

Seorang pria setengah baya duduk di atas tubuhku, Badannya tinggi besar dengan perut membuncit, berpakaian dinas rapi sepertinya seorang pegawai negeri atau semacam itulah. Seorang pria yang berperawakan sama datang menghampirinya, seusai salam dan sapa kini dia duduk di sebelah pria yang telah datang terlebih dahulu. Namanya Anto dan lelaki yang datang barusan bernama Dedi, itu yang kudengar dari perbincangan mereka. Aku terperajat, ternyata taman yang indah ini merupakan lahan pedagang kaki lima yang digusur paksa, dengan alasan akan dibuat taman hijau kota. Seorang machivelis sejati menurutku, taman yang indah dengan fasilitas modern berdiri di atas lapak-lapak orang miskin yang butuh makan, sungguh ironi. Seharusnya disediakan lokalisasi Pedagang kaki lima sebagai konvensasi dari penggusuran lahan tempat mereka mencari nafkah, tapi aku hanya bangku taman, suaraku tak terdengar.

Seminggu sudah aku di sini, di taman kota ini. Dugaanku tak meleset jauh, orang-orang yang datang ke taman ini akan menjatuhkan tubuh mereka di atasku seperti kubilang seminggu lalu posisiku strategis, menghadap kolam kecil yang memancurkan air. Sudah dua hari ini sepasang anak manusia duduk di atasku, menghabiskan ribuan detik yang panjang. Berbincang-bincang hal yang tak kumengerti, bahasa cinta mungkin sehingga hanya orang yang merasakannya yang mampu menerjemahkannya. Dan ketika senja tiba dua sejoli ini pergi, entah ke mana mungkin mencari tempat singgah yang lain.

Seseorang lewat di depanku, tangan kirinya membawa karung besar yang disandarkan ke belakang punggungnya dan tangan satunya memegang besi dengan ujungnya yang bengkok dan tajam, mirip kail pancing berukurun besar. Keringatnya membanjiri tubuh, baju lusuhnya basah kuyup oleh keringat, kelelahan pastinya dan lelaki itu pun menjatuhkan tubuhnya di atasku. Matanya menerwang ke depan, bukan harapan yang ada di sana hanya kekosongan. Sehari penuh dia berjalan, tapi tak banyak rongsokan yang bisa dikumpulkannya, karungnya haya terisi setengah. Dia mulai bercerita, meratapi nasibnya dan menangis sesegukan dengan suara yang amat ditahan agar tak menganggu yang lain. Lelaki itu memuntahkan semua yang terumbat di otaknya, mengeluarkan beban yang tertahan di tenggorokannya dan beban itu rasanya memang tak lagi kuat untuk disimpannya. Lelaki itu pun menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibnya. Perantauan yang sia-sia katanya di sela-sela tangisnya, pesona ibu kota yang memikaatnya untuk ke jakarta, dan pesonanya pula yang membuatnya menangis hari ini. Ingin rasanya aku membantu, tapi aku hanya bangku taman, kekuatanku hanyalah do’a.

# # #

Hari in genap satu tahun aku ada di taman ini, satu tahun tanpa cuti. Pesonaku sudah pudar, cat-cat mengelupas dari tubuhku, kakiku mulai goyah dan tak lagi mampu menahan beban. Kolam kecil yang memancurkan air itu kini telah surut, tangan-tangan jahil membuatnya tak lagi naik turun mengikuti irama musik bahkan pohon teratai penghias kolam pun telah lama mati. Jelas tak ada alasan untuk mereka duduk di atasku, tak ada lagi bangku taman yang nyaman dan tak ada lagi kolam kecil yang indah, tinggal kursi rusak yang tak sedap dipandang mata.

Dua anak manusia itu tak lagi terlihat, tak ada lagi bincang-bincang panjang dengan behasa cinta, mungkin saja mereka telah menemukan tempat singgah yang lebih indah, lalu berbicang-bincang panjang menghabiskan ribuan detik atau mungkin kisah mereka telah usai, mungkin saja. Lelaki lusuh itu pun hanya datang sekali, sejak senja mengantarkannya pulang dia tak pernah kembali.

Jaman berubah, musim berganti, kini aku tak lagi menarik, pesonaku telah pudar. Tapi aku tak mampu berbuat apa-apa karena aku hanya bangku taman.

Jaman berlalu, musim berganti, kamu telah pergi
Tapi aku masih di sini, di sisi kanan bangku taman
Menghadap kolam kecil yang airnya sudah tak lagi naik turun mengikuti irama musik
Sisi kiri tak pernah terisi semenjak kau pergi

Ia terus berbicara, mencoba menghabiskan kosa kata yang tak kunjung habis dari bibirnya. Terus berbicara tanpa henti, kadang tertawa terpingkal-pingkal atau hanya senyuman yang tersungging di bibirnya, terus berbicara hingga lelah menggrogoti sekujur tubuhnya lalu menyerang matanya, menjatuhkan berton-ton benda ke pelupuk matanya dan membuatnya terkantuk, seketika ia pun berhenti berbicara, itulah saat dimana kau bisa melihatnya diam.

Entah sejak kapan gadis manis itu terus berbicara, membicarakan hal yang tak terjamah otakku. Berbicara tentang bunga mawar yang terus mengajaknya mengobrol tentang keindahan warna dan kelopaknya yang mekar dihiasi duri di tangkainya. Ia terus berbicara dan aku membiarkannya terus bercerita tentang hal yang tak pernah kumengerti, hanya dengan mendengarkannya ia akan merasa senang atau mungkin suatu saat aku akan mengerti kemana alur ceritanya dan mengerti dunia yang tak pernah singgah di otakku.

Dia sama dengan anak 10 tahun lainnya, hanya saja porsi untuk dunianya sendiri lebih besar dari pada dunia bersama anak-anak lainnya. Jangan menganggapnya autis, karena dia mampu berinteraksi dengan anak sebayanya, bercanda, berlarian, meski hanya sebentar lalu berlari sendirian, memetik bunga di taman, memberi makan ikan di kolam yang terdapat di halaman rumah dan hanya lelah yang amat sangat yang mampu membuatnya terdiam. itu alasan mengapa aku menganggpnya memiliki porsi lebih banyak untuk dirinya sendiri, bukan autis.

Tak banyak waktu yang kuluangkan untuknya, dari hitungan jam hanya satu atau dua jam aku bersamanya, bahkan tak jarang aku menemukannya sudah terlelap. 24 jam selalu menjadi hal terberat dalam hidupku untuk menemaninya, hari libur tak lantas menjadi porsi waktu yang utuh untuknya. Mungkin itu yang membuatnya menjadi penyendiri, kesepian yang menikam menuntutnya untuk selalu tertawa dan kesendirian dalam ruang khayalnya yang mampu mengobati kesepiannya, mungkin itu tapi mungkin juga bukan.

Sesekali dari rentetan malam yang hadir, aku duduk di sampingnya, tidak me-ninabobo-kannya hanya menemaninya saja, dia tak butuh lagu indah atau dongeng untuk tertidur, kelelahan dengan sendirinya akan membuatnya tertidur dan saat itulah aku bisa melihatnya secara utuh. Sesekali aku menghapus peluhnya, petualangan dalam mimpinya mugkin begitu seru hingga badannya terus bergerak ke kanan dan segala sisi, lalu terdiam dan bergerak lagi.

Hingga kini, setelah sepuluh tahun yang panjang, aku tak bisa menemukannya secara utuh kecuali dalam tidurnya.

Selamat tidur adik kecilku, AIRA.

Penikmat kopi hitam


Apa jadinya hujan tanpa gerimis, bukanah hujan tetaplah hujan. Proses penguapan air laut yang ditampung oleh awan, hingga bobot air tak dapat ditampung maka jatuhlah ia ke bumi. Bukankah hujan dan gerimis mengeluarkan produk yang sama. Lalu dimana proses gerimis yang kau agung-agungkan itu? tanyamu padaku di suatu sore.
Hujan tanpa gerimis seperti musik tanpa intro, ada ritme yang hilang dan kita seperti mendengarkan sebuah alunan lagu yang tak utuh, betapa tidak nyamannya keadaan itu. Aku tidak pernah mengagung-agungkan gerimis, hanya menikmatinya. Lagi pula gerimis itu baik, dia datang untuk menandakan hujan yang lebat akan datang, kalaupun tidak, gerimis tidaklah mengahancurkan hanya butiran air kecil yang jatuh ke bumi. Itu yang kukatakan kepadamu, meski aku tahu dari guratan wajahmu kamu sama sekali tidak merasa puas atas jawabanku. Lalu kamu pergi meninggalkanku, tanpa kata dan hanya tersenyum kecil.
Terkadang aku heran, bagaimana dua anak manusia yang memiliki biner karakter dapat disatukan, dua arah yang berbeda meski tak tahu apakah memiliki tujuan yang sama. Sebuah keajaiban yang mampu membuatku bertahan dengan orang yang kupanggil robot. Aku selalu menganggapmu seperti itu dan kamu tahu itu dengan segala alasan yang amat sangat sederhana. Kamu selalu mengkalkulasi hidup, menghitungnya seolah hidup adalah soal matematika yang harus dipecahkan dengan rumus yang berbeda. Hanya ada hitam dan putih yang bersemayam di otakmu, bukankah abu-abu lebih menarik? Sebuah penggabungan yang membuyarkan dua karakter yang kuat menjadi lebih hidup.
Aku tak bisa melewatkan gerimis, tapi kita hidup dalam ruang yang membentuk kita. Ruang yang membuatku terbentuk menjadi orang tak leluasa menikmati gerimis. Meski aku bisa menentukan ruangku sendiri, itu hanya sementara, selanjutnya kita terpenjara oleh rutinitas ruang yang dibentuk secara massal. Pernahkah kita mencoba lari dan bersembunyi dalam ruang yang kita bangun sendiri, tanpa orang lain, tanpa rutinitas dan tanpa paksaaan, di dalamnya hanya ada aku dan duniaku. Sering kita melakukannya, tapi hanya sekejap karena ketika kita tersadar, alam nyata merengut dunia yang telah kita bangun.
Kamu datang dengan dua cangkir yang sama tapi tidak dengan isinya, secangkir kopi hitam dan secangkir cokelat. Kamu bukan penikmat kopi, tapi kamu mampu menyajikan segelas kopi dengan takaran yang pas, meski kamu sendiri belum pernah mencobanya.
Dua sendok kopi dan satu sendok gula, lalu diseduh dengan air yang mendidih, kan? ungkapmu kali pertama membuat kopi untukku. Otakmu terus mengingat apa yang kuinstruksikan cara membuat kopi, hari itu mulailah kamu menjadi seorang barista dadakan. Barista yang tak menyukai kopi, tak pernah mencicipi dan hanya menggunakan rumus 2X1 yang kamu tahu. Sekali lagi, kamu menunjukan bahwa menikmati sesuatu dibutuhkan rumus, dan kamu selalu bangga akan hal itu.
Kemarin kamu datang dengan dua cangkir yang sama dengan isi yang sama, tak ada yang berbeda. Cangkir yang biasanya berisikan kopi dan cokelat hangat itu ini menjelma hitam keduanya. Ada yang berbeda dengan kamu dan aku tidak tahu persis itu. Kamu mulai duduk di hadapanku, tanpa mengeluh dan tanpa berucap. Menyeruput kopi secara perlahan lalu ditengguknya pelan. Aku memang tidak pandai membaca raut wajah, tapi aku tahu kamu sedikit tersekat ketika menelannya, wajahmu sedikit memerah karena merasakan ada yang tak nyaman mengalir dalam tenggorokanmu dan mengisi lambungmu.
Gerimis turun dan kamu duduk di teras sambil mendekap kedua kakimu, aku mengambil beberapa helai pakaianku yang sedang dijemur lalu duduk di sebelahmu sambil mendekap kedua kakiku. Kamu memandang gerimis itu tajam, seolah mencari arti gerimis yang sering kamu tanyakan, tapi tidak dengan kata. Aku masih belum menemukan kata yang lewat dari bibirmu, sejak datang kamu hanya tersenyum dan memilih diam.
“Aku tidak bisa menikmati keduanya” katamu dengan nada datar.
“Menikmati apa?”
“Kamu tau itu, tapi kenapa kamu bertanya?”
“Aku nggak tau.”
“Lalu bagaimana aku bisa suka dengan segala kebiasaanmu tanpa aku pernah tau cara menikmatinya. Aku ingin mencintaimu seutuhnya, mencintai kesukaamu, menikmati kopi dan gerimis bersamamu, tapi semua datar. Aku tak pernah bisa mencintai keduanya. Tak menemukan jawaban yang kucari.”
 “Kamu nggak perlu melakukan itu. Kamu adalah kamu dengan segala yang kamu cintai dan kamu miliki. Kamu menikmati hidup dengan mengkalkulasinya, merumuskannya, hal yang tak kupahami sampai hari ini. Tapi, aku ingin kamu tetap seperti itu dan setiap kali aku tersadar dari ruang personalku, aku ingin kamu di hadapanku. Kamu dunia nyataku.
Sela jemari yang kosong mulai saling menutupi, jarak kian terhapus, tubuh kita menjadi satu dalam pelukan. Kali ini, gerimis akan menjadi berbeda bagiku. Tak perlu lagi pergi, tak perlu lagi bersembunyi ke ruang personalku, cukup kamu. Kamu.