Mau tak mau aliran ini harus dipecah, tidak bisa tidak. Hati kita perlu terus mengalir, terus memberi. Tak boleh ada yang ada yang berhenti, itu akan membuatnya berhenti memberi, lalu mati.
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, tak bisa memejamkan mata, sejenak pun tidak. Obrolan semalam dengan Dinda membuka satu hal, Terry tak bahagia denganku. Seharusnya aku sadar, sikapnya berubah dan mata itu, mata itu tak berbinar seperti dulu saat kita bertatapan. Aku tak bisa lagi bercermin di mata itu, yang tampak hanyalah kosong.
Sudah satu jam aku duduk di di kafe ini, Terry tidak telat datang tapi aku sengaja datang lebih awal. Aku tak tahu harus memulai dari mana, tak tahu harus berkata apa. Kerongkonganku kering, pita suaraku mendadak rusak. Hanya kata-kata yang bermain dalam otakku tanpa bisa kuterjemahkan dalam suara.
Aku ingin mempersipakan segalanya, termasuk mempersiapkan perpisahan ini. Tak ada yang siap dengan perpisahan dan untuk pertama kalinya dalam hidup aku siap untuk hal itu, siap untuk melepas Terry. Mungkin aku manusia paling bodoh di dunia ini, melepas seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupku tapi akan lebih bodoh lagi jika aku menahannya bersamaku.
Aku memilih duduk di sudut ruangan, cahaya lampu kafe tak menjangkau tempatku duduk. Hanya remang-remang dan pantulan cahaya dari kaca. Aku tak ingin terlihat terluka ketika melepasnya, aku ingin terlihat bahagia, meski tak ada perpisahan yang bahagia.
Terry datang dengan tshirt merah marun kesukaannya-sekaligus kesukaanku. Dibalut kardigan hitam dan sepatu teplek membuat dia begitu sederhana. Aku menyukainya dengan amat sederhana.
Dia duduk tepat di hadapanku, memesan es krim vanila kesukaannya. Tak ada yang berubah darinya sejak pertama kali kita bertemu, kecuali aku yang terlalu mencintainya dan dia yang mulai kehilangan hal itu.
“Kamu tumben niat banget ngajak aku ketemuan, nggak biasanya kamu begini, ada apa sih Ndra?” tanyanya dengan nada sedikit cemas.
Aku tak tahu harus mulai dari mana, pertanyaan tadi terlalu basa-basi buatku. Aku ingin meledak rasanya menahan semua ini.
“Kenapa ga bilang Ter, kenapa harus bohong, kenapa nggak jujur kalau kamu udah nggak bahagia sama aku. Kenapa aku harus tau dari Dinda Ter, kenapa?” tanyaku secara beruntun. “Aku nggak pernah sesayang ini sama orang dan kamu orang pertama yang membuatku jatuh cinta sekaligus. Aku nggak pernah siap dengan perpisahan dan untuk pertama kalinya dalam hidup aku siap......... siap melepasmu.”
“Aku juga nggak tau Ndra, semua terasa datar bagiku. Aku nggak tau apakah ini hanya sementara atau selamanya. Yang aku tau, hatiku terasa datar, tak ada lagi yang mengalir. Tak ada lagi yang bisa kuberi untukmu. Kalau pun aku menjalani hubungan ini bersamamu karena aku ingin kamu bahagia, kamu berhak bahagia Ndra”
“Apa cuma aku yang berhak bahagia, bagaimana dengan kamu? Apa kamu nggak layak untuk bahagia. Wake up Ter, hubungan ini kita bangun berdua, bukan kamu dan juga bukan aku. Kalau ada salah satu diantara kita nggak bahagia, atau sudah menemukan yang lebih baik, itu hal yang harus kita bicarakan bukan sembunyi-sembunyi kayak gini.”
“Dia temanku sejak kuliah, tepatnya aku mencintainya sejak kuliah. Kita nggak pernah dekat, hanya sesekali ngobrol, selebihnya hanya say hallo. Lalu kamu datang, membawa cerita baru. Awalnya aku sempat ragu tapi melihat ketulusanmu aku berfikir ulang, kenapa nggak dicoba, bukan kah hati layak memberi kesempatan. Aku merasa nyaman sama kamu, kamu orang pertama yang sangat tulus mencintaiku, saking tulusnya hingga aku takut nggak bisa mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Perasaan takut ini lama-lama mulai menggrogoti hingga akhirnya aku merasa datar, merasa tak layak kamu cintai. Ditambah hadirnya dia, membuatku semakin yakin kita sulit untuk terus beriringan. Karena melihatnya, sama saja membangunkan impian dan memori masa lalu. Sampai akhirnya aku tersadar, perasaan ini masih ada, masih terlalu kuat untuk diabaikan. Tapi aku nggak mungkin meninggalkanmu, meninggal orang yang telah mencintaiku dengan tulus, ini ga adil buat kamu Ndra.”
“Ini bukan perkara adil atau ga adil Ter, ini perkara hati, sampai mati pun kita nggak bisa melihatnya hanya dengan logika. Aku ga pernah menyesal mencintaimu. Dari awal aku menjalani hubungan ini sama kamu, aku sadar, mungkin kamu adalah orang yang tuhan persiapakan untukku, kalaupun tidak, kamu adalah pelajaran terbaik yang tuhan berikan untukku. Dan buatku itu cukup.”
Kita berdua terdiam, tak ada kata. Kebisuan mulai menjalar, menyelimuti pikiran kita masing-masing. Terry menitikkan air mata, entah air mata bahagia atau kecewa, hanya Terry yang tahu. Aku hanya diam, tak ingin menumpahkan air yang mengumpul di pelupuk mata. Tak ingin terlihat terluka, karena aku Terry melihatku bahagia melepasnya.
Tiba-tiba Terry menghampiriku, memelukku dengan erat, butuh beberapa detik untuk membalas pelukannya dengan erat. Ini mungkin pelukan terakhir kita sebagai sepasang kekasih. Setelah ini, Terry akan menjalani takdirnya dengan orang lain dan aku menjalani takdirku dan takdir-takdir yang lainnya.
*untuk cinta sederha, aku tak pernah menyesalinya