Di
bangku kayu yang menghadap kolam, seorang perempuan duduk sambil sesekali
menggoyangkan lembut kepalanya. Aku berani bertaruh, dia tidak sedang
mendengarkan musik. Kamu tidak akan menemukan ear phone yang terpasang
di telinganya yang tertutup rambut lebatnya. Tidak akan menemukan pemutar
musik dari telepon genggamnya atau ipad di sakunya. Dia menggoyangkan kepala
mengikuti lantunan lagu yang dia nyanyikan. Jika kau berjarak cukup dekat, kau
akan mendengar suaranya bernyanyi. Entah lagu apa karena yang keluar dari
bibirnya hanya gumaman. Dia bernyanyi dengan cara bergumam, selalu seperti itu.
Barangkali
kalian berpikir aku sok tahu, akan kujelaskan sedikit tentang perempuan itu.
Aku mengenalnya lima tahun lalu. Saat kami masih berstatus mahasiswa di
perguruan tinggi yang sama. Jurusan kami berbeda tapi kami memiliki satu
kesamaan, sama-sama membutuhkan referensi untuk mengerjakan tugas skripsi.
Perpustakaan yang mempertemukan kami. Akh, bukan, perpustakaan hanya benda
mati. Barangkali takdir yang mempertemukan kami meski kata takdir terdengar
pasif dan terlalu mengada-ngada. Nyatanya, kami bertemu di sana.
Buku
referensi yang kami cari jelas berbeda, jadi tidak ada adegan di mana aku
bertemu dengannya dalam satu rak buku dan sama-sama mencari buku yang sama.
Tidak ada adegan kami berebut buku atau menjatuhkan buku dan sama-sama
mengambilnya lalu tanpa sengaja tangan kami bersentuhan dan saling menatap.
Kemudian jatuh cinta. Tidak seperti itu, sungguh cerita di televisi itu tidak
terjadi dalam hidupku, dalam hidup kami.
Dia
menghampiriku yang sedang sibuk berkutat dengan tumpukan buku. Aku menatapnya
sekilas, berpikir mungkin dia sedang menghampiri temannya karena mustahil dia
repot-repot berjalan dari posisi duduknya untuk menemuiku-seseorang yang tidak
dia kenal.
“Boleh
pinjam charger laptopnya?”
Aku
mendongakkan kepala, melihat perempuan itu berdiri di hadapanku sambil
mengulurkan tangan kanannya. Aku menoleh ke belakang, mencari sosok yang dia
ajak bicara. Nyatanya, hanya diriku di pojok perpus ini.
“Boleh.
Jangan lebih dari satu jam yah, saya mau pergi,” Aku pun menyerahkan charger
komputer jinjingku.
“Janji,
nggak bakal lebih dari satu jam. Saya duduk di sana, kalau kamu mau
tiba-tiba mau pergi, bisa ambil di sana.” Dia pun menunjuk
tempatnya duduk. Hanya beberapa deretan kursi, mungkin jaraknya sekitar enam
meter dari tempat dudukku.
Aku
hanya menceritakan kepada kalian bagian aku berkenalan dengan perempuan yang
kini duduk di bangku kayu yang menghadap kolam itu. Akan jadi lima novel dengan
tebal kira-kira 500 halaman jika aku menceritan kisahku dengannya selama lima
tahun. Novel yang membosankan dan memuakkan. Novel, yang jika kalian beli akan
membuat kalian merasa menyesal karena sudah sia-sia mengeluarkan uang dan
membuang waktu berjam-jam untuk membaca sebuah kisah yang biasa saja.
Aku
membawa satu buket bunga. Aku tidak menyimpannya di balik punggungku. Ini bukan
kejutan, ini hanya kado ucapan selamat. Tak perlu didramatisir.
“Hai,
apa kabar? Terima kasih bunganya tapi untuk apa?” tanyanya tanpa sempat
mempersilahkanku duduk terlebih dahulu.
Ini
bukan rumahnya, ini taman, siapa saja berhak duduk tanpa harus meminta izin
atau diminta. Sebelum menjawab pertanyaannya, aku merebahkan pantatku di kursi
kayu ini. Mengambil posisi kiri seperti yang biasa kulakukan jika bertemu
dengannya.
“Hanya
ucapan selamat untuk pertunanganmu. Maaf, tidak bisa hadir waktu itu.”
“Tidak
apa, aku tau kamu sibuk. Terima kasih untuk bunganya dan pastikan, kamu akan
hadir di pernikahanku. Selalu ada yang kurang jika kamu tidak ada. Jadi,
pastikan kamu mengosongkan jadwal pada hari pernikahanku nanti ya.”
“Ini
belum terlambat Nai. Kamu baru bertunangan, belum menikah. Kamu bisa
membatalkannya dan kita bisa memulainya dari awal.
“Memulai
dari awal? kita bahkan belum memulainya sama sekali.”
“Lima
tahun ini, lima tahun kebersamaan kita. Apa kamu mendadak amnesia? Aku bisa
menjadi apa saja untuk kamu, Nai. Ada banyak hal yang ingin aku kasih ke kamu
tapi semua akan percuma jika kamu melanjutkan pertunangan dengannya.”
“Itu
masalahnya, Bim. Kamu bisa jadi apa aja untuk aku, bisa melakukan segalanya
untuk aku tapi kamu gak pernah bisa jadi diri kamu sendiri. Kalau sama aku,
selamanya kamu akan jadi orang lain.”
Aku
menatap matanya, melihat setitik air di sudut-sudut matanya. Kubiarkan dia
menarik napas, menunggu kalimat lain keluar dari bibirnya.
“Kasih
kesempatan orang lain untuk kecewa, untuk belajar rasanya sakit. Belajar, bahwa
tidak semua yang dia inginkan tidak selalu dapat dipenuhi bahkan oleh orang
yang paling disayanginya sekali pun. Rasa kecewa itu yang akan membuatnya
menjadi dewasa. Dan . . . belajar menjadi diri sendiri.”
Dia
pun pergi setelah menggenggam tanganku. Aku membiarkan berjalan menjauh tanpa
berusaha mengejarnya. Membiarkan punggung itu hilang ditelan jalan.