Mencintaimu selalu
mudah, seperti yang sudah-sudah.
Nai, kuikuti saranmu
untuk melakukan sebuah perjalanan. Katamu, aku perlu berjalan lebih jauh,
menjejak langkah di tempat yg belum pernah kupijak. Melihat sisi lain dari
kehidupan yang belum pernah kulihat. Bertemu dengan banyak orang dan berbagi
cerita tentang hidup. Kamu bilang, sudah takdirnya bagi manusia untuk terus
berjalan, semakin banyak jalan yang kutempuh semakin banyak hal baru yang
kutemukan. Anggap saja ini sebuah permainan petak umpet dengan skala dunia.
Untuk menemukan orang-orang yang bersembunyi, kamu harus berjalan, tidak bisa
hanya diam saja. Kamu harus melakukannya sesering mungkin, keluar dari
rutinitasmu yang hanya bekerja dan bermain ke kedai kopi, kalimat itu yang
kuingat saat terakhir kali kita bertemu.
Panitia sedang memberi
arahan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama perjalanan ini
berlangsung. Jangan heran, aku memang mengikuti open trip yang diadakan
sebuah agent travel. Aku terlalu malas untuk me-arrange sendiri
perjalananku. Bagiku, hiburan dan liburan tak jauh dari membaca buku di dalam
kamar. Jika ingin melihat tempat yang belum kukunjungi, aku membaca buku travelling
atau browsing-browsing di internet. Biarlah pikiranku yang berjalan,
kakiku tetap tangguh berada di dalam ruang kamar. Jika bosan membaca, aku akan
menonton film seharian menggunakan komputer jinjing. Membeli buku loak di blok
M Square atau sekadar menikmai kopi di kedai-kedai kopi yang tersebar di
Jakarta. Itu sudah cukup, lebih dari cukup untukku.
Pagi hampir tiba,
fajar hadir seraya tanda bahwa sang matahari sebentar lagi bertahta. Aku ingin
memejamkan mata sejenak, semalaman aku tak bisa tidur. Di kapal ferry menunju
pelabuhan Bakauheni, aku memasuki ruang teater. Menambah uang lima ribu rupiah
demi mendapatkan tempat nyaman. Seorang petugas menanyakan film apa yang ingin
kutonton. Conjuring, jawabku asal. Kupikir tidak mungkin dia akan menayangkan
film horror itu pada tengah malam seperti ini. Hampir seluruh penumpang ingin
tidur, suara-suara yang dihasilkan film horror akan membuat penumang tidak bisa
tidur. Dugaanku salah, dia benar-benar menayangkan film itu. Akh, candaan yang
tidak tepat waktu mengakibatku terjaga sepanjang perjalanan.
Sesampainya di
pelabuhan, lima angkot sudah menunggu. Aku tak tahu angkot ini akan
mengantarkan kemana dan tidak peduli kemana. Aku tak mendengarkan briefing
yang diberikan panitia semalam. Mobil berwarna kuning ini berjalan menembus
pagi. Sang supir dengan gilanya mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, tidak
peduli jalan yang dilewati rusak parah. Kepalaku terbentur beberapa kali. Gagal
lagi usahaku untuk tidur. Beberapa penumpang mengeluh, seperti angin, suara
mereka nyaris tak terdengar. Si sopir dengan cueknya melaju tanpa menghiraukan
keluhan yang mereka berikan.
Mobil berhenti di
depan sebuah warung, satu-satunya warung yang buka di pagi buta. Sepasang suami
istri, pemilik warung ini menanyakan apakah aku ingin makan atau meminum
sesuatu, aku mengiyakan dengan memintanya membuatkan secangkir kopi hitam. Aku
tak terbiasa sarapan sepagi ini, akan membuatku sakit perut seharian. Beberapa
orang mulai sibuk berebut colokan, berusaha agar gadget-nya tak mati
selama perjalanan. Terkadang, aku merasa sedih, mereka-orang yang berpergian
dengan pasangan dan segerombolan kawan-kawan- masih saja ditakutkan
dengan telepon genggam yang mati. Sudah lupakah kita cara berkomunikasi
melalui lisan? Akh, sudahlah tak perlu membebani pikiran-pikiran berat sepagi
ini.
Aku membawa kopi ke
ujung jembatan di dermaga, yang kutahu kemudian bernama Dermaga Canti. Dermaga
ini menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal kecil yang memuat buah-buah untuk
dibawa ke pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Hanya ada tiga perahu kayu
sedang bergoyang halus digerakkan ombak. Seorang laki-laki dengan sarung yang
diselempangkan di tubuhnya berdiri di atas kapal yang berada di sebelah kanan
pandanganku. Menggeliat, menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, berjongkok
sebentar lalu lompat ke jembatan. Dia tersenyum hambar, kutawarkan sebatang
rokok, dia pun menerima dan langsung menyulutnya. Ke anak gunung Krakatau mas?
Tanyanya basa-basi. Aku mengangguk, dia pun pergi meninggalkanku.
Pukul tujuh pagi,
panitia meminta seluruh peserta open trip berkumpul. Seperti perayaan
api unggun, kami membentuk sebuah lingkaran dengan tiga orang panitia di
tengahnya. Aku berada paling belakang, sekilas kudengar kami akan singgah
sejenak di Pulau Sabesi untuk mengambil bekal makan siang lalu melanjutkan
perjalanan menuju anak gunung Krakatau. Aku meninggalkan lingkaran manusia itu,
bergegas menuju toilet karena tak kuat lagi untuk menyegerakan membuang hajat.
Aku punya kebiasaaan – yang entah dianggap sebagian besar orang adalah hal
baik-untuk pup setiap pagi. Pencernaanmu bagus, begitu kata mereka. Aku tak
paham, perutku lebih banyak diisi dengan kopi dan asap, makan hanya sesekali
saja. Apanya yang bagus, pikirku.
Lega, kataku
sambil mengelus-ngelus perut. Seorang panitia sudah menungguku persis di depan
pintu toilet. Akh, menyusahkan sekali anak ini, barangkali begitu pikirnya.
Padahal, kalau mereka akhirnya pergi dan meninggalkanku di pelabuhan ini
seoarng diri pun aku tidak akan komplain. Tidak akan berkoar-koar di media
sosial dan menuntut mereka mengembalikan uangku. Tapi itu sudah tugasnya,
memastikan seluruh peserta mengikuti acara ini dengan baik.
Bagian dalam
perahu sudah penuh, di bagian atasnya pun sudah terisi. Aku menyimpan tas di
bagian dalam dan memilih duduk di bagian depan kapal daripada harus
berdesakkan-desakkan dengan orang lain. Aku bertanya ke juru kemudi kapal,
jika aku duduk di sini, apakah akan menghalangi pandangannya. Katanya
tidak, selama aku duduk dan bukan berdiri, itu tidak masalah baginya. jangkar
ditarik, ikatan perahu pun dilepas, suara mesin mulai gaduh menandakan
perjalanan ini segera dimulai. Aku merapatkan jaket, angin pantai dan langit
mendung menjadi perpaduan yang membuat tubuhku sedikit kedinginan.
Di hadapanku
kini hanya air. Aku membayangkan seekor ikan berukuran besar melompat dan
melahapku, menjadikanku sarapan paginya. Atau, kapal ini tiba-tiba saja
membentur kapal lain, pecah berantakan. Aku tak bisa berenang dan mudah
dipastikan aku akan mati tenggelam. Khayalan-khayalan itu tak sedikitpun
membuatku takut. Khayalan tentangmu, Nai, yang justru membuatku gelisah.
Akh, seandainya kamu di sini Nai, kita bisa membicarakan banyak hal sambil
menunggu kapal ini mencapai tujuan. Jika lelah, kamu bisa bersandar dan aku akan
memastikan kamu bisa tidur dengan nyenyak.
Mesin baru
saja dimatikan, seorang awak kapal melemparkan tali berukuran besar ke bibir
dermaga. Seoarang lainnya, yang sudah menunggu di jembatan dermaga,
menerimanya lalu mengikatnya kuat-kuat di beton. Dua orang panitia berjalan
untuk mengambil bekal makan siang, satu orang lainnya berdiri di samping
kapal dan membagikan snorkle kepada peserta. Aku berjalan melewati antrean itu,
menuju warung untuk membeli beberapa botol air mineral. Sekembalinya dari warung,
masih ada yang mengantre. Aku langsung menaiki kapal, tak tertarik untuk ikut
menyewa alat snorkling itu.
Perahu
kembali berjalan. Dua jam perjalanan, kata juru mudi saat kutanyakan waktu
tempuh dari Pulau Sabesi menuju anak Gunung Krakatau. Dia menawarkanku kacang
rebus, aku mengambilnya. Lumayan untuk mengisi perutku yang kosong. Kulihat
termos tepat di sebelah kaki kirinya, kukeluarkan dua sachet kopi hitam dan
meminta kepada juru mudi air panas dalam termos tersebut. Sambil berseloroh,
dia membolehkanku membuat kopi dengan air panas miliknya asalkan dia dibuatkan
juga. Aku duduk di sampingnya, mendengarkannya bercerita tentang apa saja.
Mulai dari pengalamannya menjadi supir angkot hingga diminta kakaknya untuk
mengemudikan perahu milik kakaknya. Dia pun beralih profesi, tetep mengemudi
hanya medan dan benda yang dikendarainya saja yang berbeda.
“Mas tahu
acara TV yang pembawa acaranya dua cowo tatoan? Dia pake kapal ini pas pergi ke
Kiluan,” tanyanya sambil menunjuk stiker yang ditempel di kaca bagian depan
perahu.
“Oh, My Trip
My Adventure, saya tahu kok Pak.”
“Awalnya,
saya tidak tahu itu artis, pas banyak kamera tv, baru sadar kalau mereka mau
shooting. Cuma sehari aja sih sewa kapalnya,” katanya bangga.
Aku hanya
mendengarkan saja dia bercerita sambi sesekali menanggapi dengan oh, dan wah.
benar kata orang, mengobrol bisa membunuh waktu dengan cepat. Tak terasa, kami
sudah sampai di anak gunung Krakatau. Dua jam lima belas menit tidak terasa
cepat berlalu. Di pulau itu, hanya terdapat satu rumah (mungkin pos) yang
ditempati polisi hutan. Rumah berbahan kayu itu berwarna hijau, mungkin mencoba
menyelaraskan dengan pohon-pohon di sekitarnya.
Kulirik jam
tanganku, pukul 11. Matahari dengan senangnya membakar kulitku, sisa-sisa
mendung pagi hari sudah tidak terlihat lagi. Yang nampak, hanyalah matahari
yang panas dan menyengat. Ada dua antrian yang mulai mengular, antrian kamar
mandi- tanpa atap dan hanya dilapisi dengan karung di empat sisinya-yang berada
di belakang rumah itu. Bagi yang menyukai tantangan, silakan saja bermalam di
pulau ini dan menikmati sensasi buang hajat besar pada malam hari. Mungkin kau
bisa melihat bintang-bintang bertaburan saat melaksanakan hajatmu, mungkin
menemukan penampakan. Yang lain mengantri untuk poto-poto tugu yang bertuliskan
anak gunung krakatau.
Aku mulai
mendaki, mengikuti jalur pendakian dan meninggalkan panitia yang masih menunggu
seluruh peserta berkumpul. Aroma pinus mulai menjalar di hidungku, aroma yang
hampir kulupa setelah hampir empat tahun tidak pernah lagi menjejakkan kaki ke
puncak gunung. Aku menarik napas panjang, napasku hampir habis rasanya. Para
pengantri kamar mandi dan foto tugu, satu-satu berlajan melewatiku. Daya tahan
tubuh mereka rupanya lebih kuat dariku.
Terkadang,
kau harus berhenti sejenak untuk melihat sekelilingmu. Ini bukan soal menyerah,
ini soal menikmati hidup. Mungkin kamu akan tertinggal dengan orang-orang lain
yang lebih dahulu mencapai puncak. Tapi bukankah kebahagiaan tidak melulu
bicara tentang tujuan akhir, tetapi ketika kamu bisa menikmati proses
untuk mencapai tujuan itu.
Aku menarik
napas panjang, menguatkan diri untuk melanjutkan pendakian. Beberapa orang
melewatiku sambil menyemangatiku, kuberikan senyuman untuk menyemati balik
mereka. Seorang pria sedang mendorong bagian belakang tubuh perempuan di
hadapannya. Bisa, nggak tinggi-tinggi banget kok. Masa nyerah, kata lelaki itu
berusaha memompa semangat perempuan yang didorongnya untuk terus melanjutkan
perjalanan. Aku menutupi kepalaku dengan hoody yang kubawa, panasnya matahri
tidak bersahabat denganku.
akhirnya
sampai juga, kataku sambil berjongkok dan menarik napas dalam-dalam lalu
kuhembuskan. Sudah tak terhitung berapa kali aku berjongkok, menarik napas lalu
berjalan. Kulihat kepulan asap keluar dari ujung gunung itu. seorang
perempuan memintaku mengambil beberapa fose dirinya yang membelakangi gunung
tersebut. Permintaan itu diikuit dengan permintaan beberapa orang lainnya yang
juga ingin mengabadikan perjalanan mereka. Aku pun mengambil beberapa gambar,
barangkali bisa menjadi kenangan terakhir dari sebuah perjalanan.
Kami pun turun
dengan jalur yang berbeda, jalur yang lebih mudah. Makan siang, sudah tersedia ketika sampai di
bawah. Aku makan dengan lahapnya.
Kami pun
melanjutkan perjalanan menuju pulau Cemara, pulau tak berpenghuni itu, katanya
memiliki terumbu karang yuang sangat bagus. Jaraknya hanya setengah jam
dari pulau anak Gunung Krakatau.
“Kenapa nggak
ikutan snorkling?” tanya perempuan yang tadi memintaku untuk memotret dirinya.
“Sedang
malas,” jawabku tanpa berbohong. Aku memang tidak bisa berenang tetapi kan ada
pelampung. Aku sedang malas saja.
“Sama, gue
juga malas. Besok pagi saja main airnya sebelum pulang,” jawabnya tanpa
kuminta. “Sendirian atau sama rombongan? Pacar mungkin?”tanyanya lagi.
“Sendiri,
lagi pengen sendiri aja.”
Aku mengambil
bungkus rokok dalam tasku, mencomotnya sebatang lalu menyulutnya. Aku
menyodorkan bungkusan rokokku kepadanya, dia pun mengambilnya sebatang dan
meminjam korekku untuk menyulutnya. Kubiarkan asap-asap kami yang berbicara dan
membiarkan mulut kami sibuk dengan rokok yang kami isap. Aku tak punya bahan
obrolan, sepertinya dia pun begitu. Bingung mau bertanya apa lagi.
“Gue baru
pulang dari Wairebo, tempatnya bagus banget. Lo nggak bakal nyesel kalo
travelling kesana. Ada niatan travelling kemana lagi?”
“Belum tau,
belum kepikir. Temen saya mau jalan kesana sih sambil liat festival tahunan
disana.”
“Liputan atau
main? Kalau main, mending jangan pas festival, rame banget dan nggak bisa
nikmatin suasananya. Wairebo tuh nikmatnya kalau sepi, bisa menikmati
pemandangan yang ada, nikmatin suasanya.”
“Temen saya
yang mau kesana, nanti saya bilang ke dia,” jawab saya.
Kami pun
kembali terdiam. Dia pamit diri dan mengucapkan terima kasih sudah menemaninya
mengobrol dan memberinya sebatang rokok. Sebelum benar-benar pergi, dia
mengatakan lebih menyenangkan melakukan perjalanan seoarang diri. Tidak repot
dan bisa berkenalan dengan banyak orang. Setelah mengatakan itu, dia pergi ke
bagian atas perahu. Aku masuk ke dalam perahu, menutup wajah dengan hoody
berusaha memejamkan mata.
#
# # # #
“Bangun Mas,
sudah sampe di pulau Sabesi,” kata seorang panitia kepadaku.
Sudah sampai
rupanya, aku pun menggerakkan badan. Cukup pegal tidur di dalam kapal. Aku
berlajan menuju warung, membeli peralatan mandi. Dua buah mobil pick up hitam
sudah menungu di depan warung, siap mengantarkan peserta menuju penginapan.
Penginapan
yang dimaksud adalah sebuah kamar yang cukup luas yang mampu menampung 10
orang. 10 kasur dengan kover gambar superhero berjejer rapi. Kamar ini hanya
beberapa meter dari bibir pantai, menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan.
Seseorang memberikan kertas kepadaku, memintaku mengisi urutan jadwal mandi.
aku memilih urutan terakhir. Berjalan meninggalkan kamar, menuju satu-satunya
warung di dekat penginapan itu. memesan secangkir kopi hitam.
“Antre
mandi ya mas?” tanya pemilik warung.
“Iya, bu.
Ngantri banget.”
“Mandi aja di
belakang warung ibu, airnya bersih kok. Mandi aja.”
Beruntung
sekali hari ini, tidak perlu report mengantre dan bisa mandi sepuasnya.
Selepas
mandi, penitia mengajak untuk berkumpul di bibir pantai. Asap mengepul dari
arang yang sedang dikipas-kipas panitia yang lain. Beberapa ekor ayam, ikan dan
jagung siap untuk dipanggang. Dua buah gitar juga disiapkan untuk dimainkan.
Mengiringi para pengipas arang tersebut. Aku menghampiri sebentar, sekadar basa-basi
lalu memilih untuk membaca buku di depan kamar penginapan.
Beberapa kali
mereka memanggilku untk bergabung, aku hanya melambaikan tangan dan dua kali
mengatakan sedang tak ingin makan. Mereka pun menyerah pada panggilan ketujuh.
Suara ombak lebih menyenangkan daripada petikan gitar yang dimainkan tak
kunjung arah. Aku teringat sahabatku yang begitu menyukai suara ombak. Setiap
kali dia mengunjungi pantai, dia merekam suara ombak. Dia memiliki satu folder
khusus di laptopnya yang diberi nama “Suara Merdu”. Kumpulan-kumpulan suara
ombak yang dia abadikan dari aplikasi rekam di telepon genggamnya lalu
dikumpulkannya di folder khusus itu.
Kadang dia
mengirimiku rekaman suara ombak, sambil sesekali memaksaku untuk mengunjungi
tempat di mana suara itu diambil. Kamu akan suka tempat ini, sunyi dan hanya
suara ombak yang saling mengisi. Kamu kan suka sepi, pasti cocok buat kamu
menyendiri sambil meminum segelas kopi. Begitu pesannya yang disimpan di badan
surat elektronik.
# # # # #
Anakonda
dalam perutku mulai mengamuk minta makan. Rupanya, dua gelas kopi, kacang rebus
dan sepiring makan siang kemarin tidak mampu menahannya untuk tidak mengamuk.
Aku menuju warung –satu-satunya warung yang ebarda di dekat penginapan,
tempatku menumpang mandi kemarin- untuk memesan mie rebus, tidak lupa meminta
penjualnya memotong beberapa cabe rawit untuk ditaburkan di atas kuahnya.
Aku membawa
semangkuk mie rebus dan segelas teh tawar ke sebuah bale-bale (bangku
kayu dari papan) yang dipayungi pohon biji ketapang. Pantas saja kamarku sepi,
hampir semua peserta sudah berjalan di bibir pantai. Beberapa orang melewatiku
dengan wajah sedikit ditekuk. Aku tak tahu kenapa dan tak tertarik untuk
mengetahui apa yang membuat wajah mereka tak cerah seperti kemarin.
“Sunrise-nya nggak kelihatan, ketutupan bukit itu,” kata salah satu dari
mereka. Aku hanya tersenyum, tak tahu bagaimana menanggapi pernyataan itu dan
kupikir, mereka tidak membutuhkan tanggapan apa pun.
Aku merasa
tak perlu kecewa tak bisa melihat matahari terbit. Aku kecewa, karena kemanapun
aku pergi, bayangmu tak pernah hilang, Nai. Aku mengikuti saranmu untuk
melangkah, menemukan hal baru, menjejaki tempat baru. Namun semuanya
percuma, tidak mengubah apa-apa. Aku tetap hidup dalam bayangmu, dalam
harapan yang tidak pernah bisa tercapai. Nai, bisakah kamu pergi sejenak dalam
pikiranku, sebentar saja. Jika kamu sudah bosan bermain, silakan kembali dan
penuhi lagi pikiranku.
“Mas, udah
ditunggu di depan warung. Siap-siap untuk pulang, semua sudah berkumpul,” kata
panitia seraya menepuk bahuku.
Aku harus
berterima kasih padanya, dia sudah menyelamatkanku dari lamunan tentangmu. Aku
berjalan menuju penginapan setelah membayar mie rebus dan teh manis kepada
penjaga warung. Barangku tak banyak, hanya satu buah kaus dan handuk kecil.
Sebuah buku karangan Antonio Skarmeta, Il Postino yang kubaca semalam.
Lagi-lagi aku
merasa beruntung ketika berada di kerumunan anggota open trip,
petuah-petuah dari panitia sudah selesai, aku tak perlu mendengarkan ocehan tak
penting itu. Aku datang saat sesi doa dimulai, lalu berjalan kaki menuju
dermaga pulau Sabesi. Aku berjalan paling belakang, mencoba merekam suara
ombak. Aku berniat mengirimkan kepada sahabatku. Kupikir ada baiknya sesekali
memberikan seseorang hadiah, meski hanya rekaman suara ombak.
“Kamera kaya
gitu, berapa harganya Mas?” tanya juru mudi kapal ketika aku duduk di
sebelahnya.
“Standar lah
Pak. Kalau bukan untuk keperluan kerja, saya juga males pakainya.”
“Hape saya
mah yang penting bisa sms dan telepon, kalau yang mahal kaya gitu, buat apa.
Mending uangnya buat makan sehari-hari.” Dia mengeluarkan telepon genggamnya
dari saku dan menunjukkan padaku.
Dia kembali
bercerita tentang petani-petani buah seperti pisang dan duren yang menggunakan
perahunya untuk diangkut menuju Dermaga Canti. Bagian atas, sesekali
digunakannya untuk mengangkut mobil. Sekali jalan, dikenakan biaya 1 juta
rupiah. Buat tambahan aja, katanya. Baginya, hidup tidak muluk-muluk. Bekerja,
punya uang untuk makan dan bisa menyekolahkan anak sudah membuatnya bahagia.
“Anak saya harus sekolah tinggi, biar jangan kaya bapaknya. cuma tukang
perahu.”
#
# # # #
Kapal ferri
baru saja mendarat di pelabuhan Merak. Antrean panjang manusia memenuhi pintu
keluar kapal. Sudah tak sabar rupanya manusia-manusia itu untuk segera pulang.
Aku menyalami beberapa teman seperjalananku. Mengucapkan salam dan berharap
bisa bertemu di kemudian hari. Aku tahu, ini klise. Tapi inilah hidup, sekadar
basi-basi tidak akanmembuatmu terbnuh kan.
Aku berjalan
perlahan menuju terminal Merak. Membeli sebotol air mineral di warung yang
bersebelahan dengan toilet umum dan menyakan kepada penjualnya bus menuju
Bogor. Dia menunjukkanku bus Arimbi. Bus di deretan paling ujung yang berwarna
kuning.
“Mau langsung
pulang? Pulang kemana?”. Kata perempuan yang kemarin mengajakku berbicara di
pulau Cemara.
“Ke Bogor,”
jawabku tanpa berusaha untuk bertanya balik.
Sebaiknya aku
segera pulang, meski aku tidak tahu akan melakukan apa setibanya di rumah
nanti. Aku tidak memiliki pekerjaan tetap. Dua tahun terakhir, aku mengundurkan
diri dari pekerjaanku dan memilih bekerja serabutan, seorang freelance writer.
Tidak ada pekerjaan yang menantiku, Sudah sebulan aku menolak tawaran kerja.
Aku ingn rehat sejenak dan bermain. Sebuah pesan singkat dari Nai mendarat di
telepon genggamku.
“Apa kabar
Bim? Tiga hari lagi. Aku nggak terima alasan apa pun, kamu harus dateng. Inget,
kamu janji di taman itu akan datang di pernikahku.”
Mendadak,
keinginanku untuk pulang hilang selama-lamanya. Aku ingin tenggalam saja di
perairan Selat Sunda ini atau bersembunyi di pulau terpencil dan tidak pernah
kembali lagi. Bagaimana bisa aku datang ke pernikahannya. Bagaimana bisa aku
melihat orang yang paling aku cintai menikah dengan orang lain. “Aku masih di
Lampung, belum tahu pulang kapan. Akan aku usahkan untuk datang,” balasku.
“Aku malas
pulang, mau ngopi atau ngebir dulu,” tanyaku pada perempuan yang tadi
menegurku.
“Boleh,”
jawabnya.
Aku tak tahu
harus bahagia atau sedih atas pernikahanmu, Nai. Jika boleh memilih, aku akan
merayakannya dalam sepi. Lebih baik untukku mengambil jarak darimu. Lebih baik
untuk kita tidak bertemu lagi.
Nai,
mencintaimu selalu mudah, seperti yang sudah-sudah. Melupakanmu, tidak pernah mudah,
seperti yang sudah-sudah.