Masa depan hanyalah
ruang bagi masa lalu bebas berkeliaran.
Hidupku digerakkan
kenangan. Kepalaku dipenuhi bayang-bayang masa lalu, hanya tersisa sedikit
ruang bagi masa kini yang pada akhirnya menjadi bagian dari masa lalu. Masa
depan hanyalah ruang bagi masa lalu bebas berkeliaran. Masa depan hanyalah
ruang yang dipinjamkan sementara sebelum menjadi kenangan, sebelum menjadi hantu
yang menggentayangi hidupmu. Menakuti malam-malam panjangmu yang sepi, sendiri
di dini hari, tak ada yang bisa kamu lakukan selain memeluk dirimu sendiri.
Pada detik kesekian
setelah terjaga dari tidur yang tak benar-benar nyenyak, aku melihatmu tertidur
pulas di sampingku. Tubuhmu dibalut selimut, hanya kaki kananmu menyembul di
ujungnya. Kamu terbangun lalu menarik tanganku, meminta peluk, berharap kecupan
di dahi, tak takut menghidu aroma rokok bercampur alkohol dari mulutku. Pada sejengkal
jarak bibirku dengan wajahmu, kamu menguap, seperti asap diterbangkan angin
lalu menghilang. Seperti asap rokok yang menghembus dari bibirku, terbawa angin
lalu menghilang.
Kenangan lagi-lagi
mengalahkanku.
Pada sebuah cermin
berukuran buku yang kugantung di dinding kamarku, nampak wajah bermata sayu,
kantung mata menebal dan hitam, cukup untuk memuat anak kangguru di sana,
begitu kelakar temanku. Tak ada gairah di wajah itu, wajahku. Goresan pisau di
dagu, luka yang belum mengering, luka yang mengingatkanku bahwa rasa sakit
nyata, tak hanya rasa sesak di dada. Luka yang tak kasatmata, entah bagaimana
mengobatinya.
Dalam sebuah cermin
yang tak cukup memuat seluruh wajahku, wajahmu terlihat sedang mengecup pipi
kiriku, kecupan singkat yang menjalarkan rasa hangat ke hatiku. Kutelisik pipi
kiriku, tak ada bekas kecup, tak ada aroma bau mulutmu kecuali bekas bantal
yang membentuk garis-garis kecil di sana. Setelahnya, cermin seukuran buku
menjadi bagian kenangan, menjelma serpihan-serpihan kecil di lantai, mengeluarkan
suara gaduh saat jatuh, melukai tangan kananku. Dan, dalam serpihan sekecil itu
pun, aku bisa bisa melihat senyummu di sana.
Kenangan lagi-lagi
mengalahkanku.
Di atas meja, segelas
es teh leci dengan daun mint telah duduk
anggun di hadapanku. Lawan bicaraku dengan antusias menjawab
pertanyaan-pertanyaanku. Pekerjaanku menuntutku mewawancarainya. Sayangnya, suaranya
yang nyaring pelan-pelan berubah menjadi suaramu, mengingatkanku akan percakapan-percakapan
ringan di kafe tempat biasa kita bertemu. Tanganku masih saja menulis di
kertas, berupaya menghalau kehadiranmu yang selalu tiba-tiba. Menyerangku tanpa
mengenal waktu.
Mas, kata perempuan di
sampingku, menarikku dari rumah kenangan. Menyelamatkanku dari dekapan tangan
kenangan. Sentuhannya di pergelanganku seperti cahaya kecil di lorong gelap,
sepotong harap di tengah gelap gulita. Suaranya menuntunku kembali ke masa
kini, menemaniku keluar dari kenangan yang menyesatkan.
Kupikir, hari di mana
kumelepasmu adalah hari di mana aku berhenti dari masa kini. Setelahnya,
kepalaku hanya akan dipenuhi masa lalu. Hidupku hanya akan digerakkan masa
lalu.
Lalu dia datang, membawa
sepotong harap kepadaku. Membuatku kembali percaya, nyala harapku hanya redup,
belum padam. Kelak, jika aku tak mampu menggapainya, akan kususun sepotong
harap darinya dengan harapku. Namun, sejak hari ini, aku tak akan berhenti
berdoa, semoga kita mampu menyambung harap bersama.
Sore ini, kenangan tak
lagi mengalahkanku.