Kesepian seperti kosen
rumah yang dihuni sekawanan rayap. Kamu tak menyadari hingga ia meninggalkan lubang-lubang
kecil di permukaan, hingga kamu merasa kosong di tengah keramaian. Kamu
berusaha menambalnya dengan semen agar kosenmu tak bobrok, agar rumahmu tak
roboh. Sepertimu yang berusaha menghalau sepi dengan mendatangi keramaian,
menyibukkan diri dengan pekerjaan, membunuh waktu dengan berbagai hal,
berbicara dengan banyak orang yang bahkan kamu kenal melalui media sosial dan
seringnya kamu merasa tak nyaman, namun kamu tahu, kesepian tetap datang kapan
pun dan di mana pun. Tak tahu waktu, tak pernah permisi, tak kenal ampun.
Hingga kosen di
rumahmu roboh, hingga kamu roboh, meringkuk di atas tempat tidurmu yang busanya
telah menipis. Menatap langit-langit kamar seolah jawaban dari berbagai
pertanyaan tersedia di sana. Malam-malam panjang kamu habiskan menatapi
langit-langit kamar, dinding kamarmu yang berwarna putih yang menyimpan figura
berisi fotomu yang tengah tersenyum, tapi jawaban dari pertanyaan tak juga kamu
dapatkan.
Lalu kamu meringkuk, menempelkan
punggungmu ke dinding. Dingin yang menusuk hingga mencapai jantungmu. Dingin
yang mengingatkanmu betapa seharusnya di tengah malam ketika kau terjaga ada
seseorang yang mengalirkan rasa hangat dari peluknya. Menghalau cemasmu,
menenangkangmu, menjagamu hingga tertidur lelap.
Kamu dekap gulingmu
kuat-kuat seolah dia kekasihmu yang selalu ingin kau dekap, erat, dan tak kamu
lepaskan. Kamu mulai merindukan aroma tubuhnya, aroma parfume bercampur
matahari. Gelisah kembali mendatangimu, kamu sembunyikan wajahmu di bawah
bantal. Memukuli dadamu yang terasa sesak dan bertambah sesak. Memejamkan
matamu yang terasa panas, menghapus air mata yang susah payah kamu bendung
namun jebol juga.
Menangis.
Kamu mengganti posisi
tidurmu, seolah masalah tidurmu dapat teratasi dengan mengubah posisi tidur.
Padahal kepalamu yang terlalu berisik yang membuat matamu enggan terpejam. Kamu
memarahi kepalamu, diamlah, berhenti bicara, berhenti memikirkan dia saja.
Istirahatlah, begitu kamu mengulang-ulang kalimat yang sama namun tak mempan
bagi kepalamu yang teramat bebal.
Bukankah cinta membuat
kita menjadi bebal, katamu, berusaha menghibur diri. Bodohnya, kalimatmu malah menjerumuskanmu ke
lubang kesedihan yang lebih dalam.
Kamu memutuskan bangun
dari posisi tidurmu, duduk, dan menopang kepalamu di antara dua lututmu yang
ditekuk. Memeluk dirimu sendiri sebab mengharapkan pelukan dari seseorang yang kamu
gilai hanya menambah harap bahkan ketika kamu belum bisa mematikan harap
lainnya. Kamu menghitung domba-domba, marapal doa-doa, namun semua terasa
sia-sia. Tidakkah tuhan yang tidak pernah tidur mendengar doaku, makimu. Dan
kekesalanmu semakin menjadi-jadi.
Kamu mulai membaca
pesan-pesan darinya, kutipan sajak yang dia kirimkan di tengah malam, rekaman
suaranya yang selama ini susah payah kamu hindari agar rindumu tidak bertambah
besar. Anehnya, hatimu mendadak tenang. Kamu merasakan kehadirannya seolah dia
sedang duduk di ujung tempat tidurmu, tersenyum kepadamu. Matanya yang teduh
mengusir kecemasanmu, menghentikan suara-suara di kepalamu, mengundang kantuk
datang. Seperti dulu-dulu ketika kamu tak bisa tidur, kamu akan mengiriminya
pesan dan percakapan dengannya selalu berhasilmu membuatmu ketiduran.
Kesepian pamit,
membiarkan dirimu dipenuhi kasih sayang. Dia akan datang lagi, menghantui
malam-malammu, tapi malam ini, dia sudah undur diri. Setidaknya kamu bisa
melanjutkan tidurmu hingga pagi.