tangan tirus
itu tengah sibuk membolak-balikkan lembar-lembar di buku menu. mata yang
menatap halaman demi halaman yang dibalikkan tangan seperti tatapan yang
sungguh-sungguh. kerutan di dahi yang mempertemukan ujung alis menambah kesan
berpikir padanya. seorang pelayan berkaus putih yang dibalut apron cokelat
menatapnya dalam diam. tangan kanannya telah siap mencatat di buku pesanan.
tangan tirus itu menutup buku menu. pramusaji mencatat dua pesanannya; chicken
wings dan lecy tea.
pesanannya,
bukan menu pertama kali yang ia pesan. seperti pertemuan kali ini, bukanlah
pertemuan pertama dan ia kerap memesan menu yang sama meski didahului dengan
melihat-lihat buku menu cukup lama. ia belajar tidak menyerah pada rutinitas dan
akhirnya menyerah pada kenyamanan, takut jatuh pada hal baru, ia tidak siap
dengan kegagalan.
bunyi
klakson kendaraan menjadi latar dari percakapan yang lebih banyak diisi diam.
pertanyaan-pertanyaan berputar di kepala, menyangkut di tenggerokan. kalaupun
keluar, tidak menyampaikan pikiran yang seungguhnya. ketakutan telah menjalar
seisi badan. kekhawatiran mulai merambat, mencekik leher, gigil mulai terasa,
tapi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tidak pernah terdengar, tidak dari dua
pasang telinga yang tengah duduk saling berhadapan.
beranikah
kita?
pesanan
datang, pelarian sempurna dari ketidakmampuan memperpanjang percakapan dan mata
yang lelah membutuhkan tujuan baru untuk dipandang, selain wajah.
pesanan telah
habis. kata-kata telah habis. sedang pertanyaan yang menganggu dua kepala
dibiarkan terus menggantung, tanpa menemukan titik untuk berpijak. jawaban yang
akan mengantarkan langkah sepasang hanya berujung pada rencana pertemuan
selanjutnya. mungkin bukan waktu yang tepat, katanya. bukan hari ini,
kataku.
dan waktu
yang ‘tepat’ seperti jebakan. kita tidak pernah siap untuk masuk dalam
perangkap.