Wajah piasmu
seketika berubah ketika melihat kepulan asap menguar dari sepiring mie aceh
yang diletakkan pramusaji di atas meja. Tanganmu menyentuh sisi-sisinya,
berharap panasnya dapat mengalirkan hangat ke tanganmu yang pucat setelah
terguyur hujan. Wajahmu memerah seketika, mirip kepiting rebus di piring itu.
Segurat bahagia tampak di wajahmu hingga melupa kacamata yang kamu kenakan
telah berembun sejak tadi.
“Punyamu,”
katanya seraya mendorong piring itu ke arahku.
Aku berharap
sejenak saja kamu lupa bahwa sepiring mie aceh di hadapanmu bukanlah pesananku.
Kamu cicipi kuahnya lengkap dengan sepotong kepiting yang ada di atasnya. Lalu
bintik-bintik merah mulai menjalar di tubuhmu, bibirmu menjadi bengkak. Aku
akan menahan tawa jika itu terjadi. Sayangnya, tubuhmu seakan memiliki alarm
yang terus mengingatkanmu: memakan kepiting, bahkan kuahnya saja, menimbulkan
alergi bagi tubuhmu.
Kamu
menggosok-gosok tanganmu lalu menempelkannya ke kedua pipimu, entah menghalau
sisa gigil setelah kehujanan berboncengan denganku atau tak sabar menunggu
pesananmu datang. Hujan masih saja turun dan kamu memandangi jalan yang basah,
menghindari menatapku. Tepatnya, menghindari menatap sepiring mie aceh milikku,
takut membuatmu khilaf.
Perhatianmu
langsung teralihkan begitu pesananmu datang lengkap dengan acar bawang dan
emping ekstra. Air perasan jeruk nipis yang jatuh di atas kuah menguarkan aroma
segar. Seakan tak cukup, kamu mengambil acar bawang dari piringku yang sejak awal tak kusentuh. Kamu
nggak suka kan, katamu cuek, mengambilnya lagi tanpa menunggu
persetujuanku.
“Aku harus
belajar masak mie aceh,” katamu setelah bersendawa dan menepuk-nepuk perutmu,
tanda kekenyangan.
Kata-katamu
langsung menyedot seluruh perhatianku, mengingat keterampilan masak yang paling
kamu banggakan adalah memasak mi instan dengan telur dan menjaga kuning telurnya
tetap utuh.
“Kenapa mie
aceh?” tanyaku.
“Kan kamu
suka.”
“Rendang
buatanmu enak.”
“Buatan
bunda, aku cuma asisten aja.”
Pembicaraan
soal masak mengalir menjadi mimpi-mimpi. Tentang rumah kecil di pinggiran
Jakarta. Sepasang kursi di dekat jendela, sepasang gelas dengan isi berbeda.
Kamu ingin menjadi seorang koki yang pandai memasak dan dapur menjadi
kekuasaanmu. Kamu ingin menjadi dokter pribadi, ketika aku sakit, kamu
merawatku. Kamu ingin menjadi ahli keuangan yang mengatur pendatan kita yang
tak seberapa. Kamu ingin menjadi guru sebab rumah adalah sekolah pertama bagi
anak-anak.
Hujan belum
reda juga. Mimpi-mimpimu terus mengalir seperti hujan yang jatuh. Aku menjadi
bumi yang menerima setiap tetesan mimpimu.
Mimpiku, suatu hari nanti, gigilnya pagi dihangatkan percakapan. Kamu dan aku
memandang langit mendung dari celah jendela. Kaki yang beradu di bawah selimut.
Bersamamu:
pagi adalah
tentang peluk.