aku, kamu, kita.
seperti nggak ada yang berubah.
seperti jarak itu nggak pernah ada.
(mar)
Selatan
Jakarta; yang tak berhenti bersolek, kota yang terus mempercantik diri. Menambal
kosong ruang dengan bangunan-bangunan baru, memenuhi sudut-sudut dengan
kafe-kafe baru. Hidup berjalan lebih panjang dengan penerangan yang bergulir 24
jam. Manusia-manusia, tua muda, dan kita yang menciptakan cerita di dalamnya,
tentang pertemuan dan perpisahan. Dua orang yang tak mencari, tapi
dipertemukan.
“Aku kecewa
kamu baik-baik aja waktu aku pergi.”
“Aku
terbelah dua. Sebagian ingin kamu tetap di Jakarta dan kita bisa terus
sama-sama. Sebagian ingin kamu pergi, mengejar mimpimu, melanjutkan kuliahmu di
Jerman. Dan aku nggak baik-baik aja saat itu.”
“Kamu nggak
cerita apa-apa.”
“Aku nggak
ingin membebani kamu.”
“Kamu bukan
beban. Nggak pernah jadi beban buatku.”
“Akunya bukan,
tapi keputusan kita menyudahi hubungan ini akan menambah bebanmu.”
Aku nggak
ingin hubungan ini menjadi rantai besi yang mengikat kakimu. Aku ingin jadi
sayapmu, yang membantumu terbang menggapai mimpimu. Sering aku membayangkan
kamu sendirian di negara yang tak seorang pun kamu kenal. Kesepian, sedih,
rindu akan keluargamu, rindu rumahmu, dan cerita-ceritaku akan membuatmu merasa
bersalah. Menambah beban yang begitu banyak memenuhi pundakmu.
“Kamu pernah
berpikir mencegahku pergi?”
“Sering.”
“Dan kamu
nggak pernah bilang.”
“Kalau kamu
membatalkan kepergianmu, aku berharap itu karena keinginanmu tetap tinggal di
sini, bersamaku, bukan karena paksaan dariku.”
“Kalau waktu
itu aku membatalkan kepergianku, apa kita masih sama-sama sampai sekarang?”
Hening
mengambil alih percakapan. Suara pendingin udara tiba-tiba terasa memenuhi
telinga. Kata-kata hanya berputar-putar di kepala.
Selatan
Jakarta, sekali lagi menawarkan pertanyaan: mau kemana kita?