"Seharusnya semua
berjalan baik-baik saja. Seseorang yang berjuang mati-matian mempertahankan
hubungan seharusnya bersama, bahagia, bukan ditinggalkan begitu saja.”
Ia masih tidak percaya
bagaimana hidup mengejutkannya. Bertahun-tahun ia berperang melawan rindu yang
tak mengenal waktu dan pertemuan yang semakin berkurang dari waktu ke waktu.
Tapi ia mencoba mengerti, masih ingin memahami. Pun begitu ketika panggilan
telepon tak lagi sering mengunjungi telepon genggamnya dan pesan-pesan yang
dibiarkan menunggu lama hanya untuk jawaban seadanya. Ia masih mencoba
mengerti. Memaksa dirinya mengerti bahwa semua hanya soal jarak dan kesibukan
yang merenggut pertemuan dan percakapan dari mereka.
Jarak adalah kambing
hitam dari gagalnya pertemuan. Sibuk adalah pengecualian yang menuntut
dimafhumi, pemaafan dari sebuah ketidakberdayaan. Sebentar lagi, ia tidak perlu
melempar semua kesalahan pada jarak yang membentang antara ia dan lelakinya.
Segaris senyum tipis
melengkung di bibirnya saat melihat waktu perlahan-lahan mengikis jarak di
antara mereka. Ia telah memutuskan, setelah tahun-tahun panjang yang
melelahkan, ia akan mendatangi kota itu, mencari penghidupan di sana dan
menetap bersama kekasihnya. Selamanya. Tidak ada rindu yang disampaikan hanya
melalui telepon genggam, melalui suara tanpa tatap muka atau teks-teks yang
dikirimkan dalam pesan-pesan. Di kepalanya, gambar-gambar kebahagiaan
bermunculan. Segalanya, baginya, akan berbeda sebentar lagi.
Tapi hidup mengejutkannya,
gambaran kebahagiaan yang telah ia susun di kepalanya hancur berantakan hanya
dengan satu panggilan telepon dari lelaki yang amat dicintainya. Tak
didengarnya kata kangen yang biasa diucapkan lelaki itu kepadanya. Hanya jeda
yang panjang, cukup membuat debar jantungnya berdetak lebih cepat dari
biasanya, cukup untuk memikirkan hal buruk sedang terjadi di antara mereka, namun
ia tak tahu apa, tak menahu apa-apa. Ia hanya menunggu, terus menunggu lelaki
itu kembali berbicara. Di ujung sana, mungkin lelaki itu berkali-kali menelan
kata-kata yang tak mampu ia muntahkan.
Sebaiknya kita putus, katanya, kalimat
pertama setelah jeda yang terasa amat lama. Kalimat yang tidak pernah terpikir
akan didengarnya dari lelaki itu. Setelahnya, kata-kata terus meluncur dari
bibirnya, penjelasan yang tak ingin ia dengar, alasan-alasan yang tidak ia
butuhkan.
Tubuhnya meluruh ke
lantai. Dinding kamar tempatnya bersandar mengalirkan rasa dingin ke tubuhnya,
memenuhi hatinya. Rasa hangat yang hadir tiap kali mendengar suara lelakinya
tak dapat lagi ia rasakan, hanya marah, kecewa, terluka, membuat dadanya terasa
sesak. Tangannya bergetar hebat seiring rasa sesak di dadanya yang tak mampu ia
tahan. Telepon genggamnya jatuh. Ia tak lagi memedulikan panggilan dari
lelakinya, masih tersabungkah atau sudah putus. Ia hanya ingin menangis, terus
menangis, menumpahkan semua rasa sakitnya. Menumpahkan semuanya. Berharap lewat
air mata yang jatuh, rasa sakitnya perlahan-lahan hilang. Ia terus menangis
hingga membuatnya kelelahan dan membuatnya terpejam.
Ia terbangun dengan
mata sembab. Jejak air mata di pipinya masih ada. Di tidur yang singkat itu, ia
memimpikan lelakinya berdiri tidak jauh darinya. Ia berjalan menuju sosok itu.
Langkahnya terasa ringan seperti ada sepasang kepak sayap di punggungnya yang
membuatnya mampu berjalan cepat ke arah lelaki itu. Selangkah lagi, sedikit
lagi, aku menggapaimu. Namun kepak sayapnya tiba-tiba terhenti, langkahnya
menjadi berat, kakinya serasa diikat rantai besi yang membuatnya tak mampu
melangkah lebih jauh lagi. Selangkah lagi. Ia hanya butuh satu langkah untuk
menggapai lelaki itu.
Seluruh tenaga ia
keluarkan untuk satu langkah itu, namun kakinya tak bergerak sedikitpun. Tangannya
berusaha menggapai lelaki di hadapannya, tapi hanya udara yang ia gapai. Lelaki
di hadapannya hanya diam, kemudian melangkah, tidak menujunya, tapi menjauh
darinya. Meninggalkannya yang terpaku sendirian. Kabut tipis datang dari segala
arah, mengaburkan sosok lelaki yang berjalan menjauh darinya.
Sayup-sayup suara
percakapan diselingi tawa terdengar di telinganya, suara yang bukan berasal
darinya, percakapan yang tidak melibatkannya. Suara kekasihnya dan perempuan
yang ia kenal. Seseorang yang begitu dekat dengannya dan lelakinya, sahabat
kekasihnya. Kabut itu terus menebal, terus menebal lalu masuk ke mulut dan
hidungnya, membuatnya sulit bernapas. Dan saat napasnya hambir habis, ia
terbangun dari tidurnya.
“Seharusnya nggak
begini, nggak seperti ini,” tangisnya pecah lagi.
Tangisnya belum reda,
tapi kepalanya tengah sibuk menyusun satu demi satu kepingan yang ia harapkan
dapat memberinya sebuah jawaban yang ia cari. Mimpi buruk yang mampir di tidur
singkatnya itu seperti satu kepingan puzzle yang menuntunnya menemukan
kepingan-kepingan jawaban dari pertanyaan: kapan semua ini bermula? Sejak
pertemuan mereka semakin berkurang? Sejak ia dengan bodohnya membiarkan sahabat
kekasihnya leluasa masuk ke dalam hubungan mereka? Ataukah jauh sebelum itu,
saat lelakinya mengenalkan sahabatnya kepadanya?
Ia tidak menemukan
jawaban yang pasti. Satu hal yang pasti, ia bukan lagi penghuni tetap di hati
kekasihnya.