“Ini seperti di sinetron,” katanya, membuka percakapan, “datang seseorang yang lebih baik, lebih soleh, dan lebih mapan darimu.” Kalimatnya menggantung di sana. Ia butuh jeda. Kata-kata barangkali sedang memenuhi kepalanya dan ia harus memilih kata yang tepat, yang tak melukaiku lebih dalam. Meski sehalus apa pun kata-kata yang dipilihnya, perpisahan tetap saja menorehkan luka. “Dan itu membuatku ragu melangkah bersamamu,” katanya lagi sambil melempar pandangannya dariku ke arah anak kecil yang bermain di taman itu. Kalimat yang baru saja ia lontarkan kepadaku membuatku terbelah dua. Sebagian diriku [.....]