Kamu bilang aku berubah. Aku tanya, apakah aku sudah menjadi cowok yang romantis? Kamu bilang nggak. Untuk satu itu kamu nggak pernah bisa berubah, tetap cuek seperti biasa. Makin menyebalkan malah, begitu cerocosmu yang kupancing dengan satu pertanyaan.
Lalu apa yang berubah? Tanyaku penasaran. Pandangan hidupmu yang berubah, begitu jawabmu singkat. Aku mulai bingung, apa benar yang kamu katakan atau kamu hanya ingin menggodaku. Menjahiliku dengan pertanyaan anehmu. Meski aku nggak peduli dengan pendapat orang, kamu tahu, pendapatmu bisa memengaruhi otakku.
Sadar ga, kamu jadi makhluk yang sekuler, makhluk yang sering mengkritisi tuhan. Kamu ingat waktu semester tiga, kamu ingin masuk kegiatan dakwah, menurutmu keren. Hal-hal berbau agama adalah sakral bagimu. Kamu akan mencak-mencak di kelas kalau ada temanmu yang mencemoh nabi dan tuhan. Ingat ga?
Apa iya aku seperti itu? tanyaku dalam hati. Aku memang mencintai agamaku tapi bukan fanatik buta. Bukan kayak banci-banci teroris yang berlindung di balik bendera islam. Aku percaya, terlepas dari identitas kita sebagai muslim dan non muslim, kita adalah manusia-titik.
Tuh kan berubah. Dulu kamu makhluk yang benci dengan impian. Katamu kalau orang punya mimpi itu akan mentok pada satu impan saja, mengejer-ngejar yang belum tentu bisa digapai. Seperti orang yang baru tidur, semua mimpi yang dirajutnya hilang tanpa bekas. Akhir-akhir ini kamu galau, marah-marah kayak orang kesetanan, nyesel karena selama hidup nggak ada tujuan yang ingin dicapai. Kamu ingin kayak air tapi nggak pernah mikir mau bermuara dimana. Kadang aku sebel lihat kamu marah-marah kayak gitu, waktu kita berdua aja habis cuma buat dengerin kamu ngoceh nggak jelas. Mending seperti biasa, sedikit ngomong.
Kamu inget ulang tahun jadian kita yang ketiga, surprise mu mentok di angkringan Fatmawati. Kamu bilang ini sementara, kalau nanti kamu punya duit kamu akan traktir di tempat mewah. Aku pura-pura marah, tapi liat wajah rasa bersalahmu, aku luluh, nggak bisa aku lihat kamu murung begitu. Tapi setelah kamu buktiin janjimu, makan di resto, ngopi di Kopi Tiam, di Bakoel Coffe, aku justru sedih. Kamu melakukannya karena rasa bersalahmu, rasa bersalah karena nggak bisa memberikan sesuatu untukku. Padahal aku nggak minta apa-apa, buatku kamu sudah menggenapai semuanya.
Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, bingung, speachless. Nggak nyangka banyak yang berubah. nggak nyangka kalau perubahan yang merayap-rayap itu udah membuat kamu nggak nyaman. Aku minta maaf.
Nggak apa-apa, katamu pelan. Lalu kamu bilang cuma kangen dengan diriku yang santai, cuek dan nggak banyak omong. Kamu kangen nongkrong di angkringan, atau sekedar duduk- duduk ngopi di depan pintu Taman Mini hingga pagi. Kamu kangen nonton JiFFest di Tim, Kangen nonton teater dan liat seniman-seniman di wapres. Kamu kangen dengan kepulan asap rokokku dan kopi hitam. Kamu kangen dengan hal-hal remeh yang sering kita jalani Semua kangen itu membuatmu marah dan kesal kepadaku.
Cuma itu..