Halte...


Dia duduk di sudut kanan, tak pernah berubah sejak dulu. Jika singgasananya telah terisi, dia kan berdiri, menunggu orang itu pergi, hingga lelah lalu pergi tanpa pernah berucap. Dia sadar tempat itu bukan miliknya, bukan juga hadiah yang tuhan berikan untuknya, dia hanya ingin di situ, mengamati bis yang berhenti di hadapannya. sudut kanan tepat bersisian dengan pintu depan bus, jika bus berhenti mudah untuknya melihat, menyisir siapa saja yang turun dan melanjutkan perjalanan.

Hari ini dia mengenakan little black dress, dibalut dengan sweater abu-abu. Sungguh disayangkan memang, mini dress yang indah harus terhalang oleh sweater. Namun dia tak perduli, hari ini hari sabtu, hari abu-abu. Bukan ingin mengaburkan dua karakter yang kuat, menurutnya sabtu adalah abu-abu. Dia membagi hari dalam warna atau membagi warna dalam hari, entah mana yang benar, baginya tujuh hari mewakili tujuh warna, begitu juga sebaliknya.

Aksesoris yang dia bawa hanya satu, payung hitam berukuran besar. Untuk satu ini dia tak ingin membagi dalam hari, dia tak ingin telanjang karena tanpanya dia merasa ditelanjangi. Dia bukan peramal yang tahu kapan datangnya hujan, hanya saja intuisinya mengatakan hari ini akan hujan, meski intuisinya seringkali keliru.

Sering orang mempertanyakan payung hitam itu, tapi dia hanya menggeleng. Bukan tak ingin menjawab, dia hanya tak tahu jawabannya. Hitam tak identik dengan kematian, kematian adalah fase dari kehidupan, tak perlu tanda khusus untuk menunjukkan duka dan kehilangan. Jika hitam petanda dari kemtian dan kehilangan, maka hari jumat penuh dengan kesedihan. Tapi nyatanya tidak, kematian dan kehilangan datang kapan saja, kapan dia suka dan mau.

Satu persatu bis berhenti, menurunkan dan menaikan siapa saja. Dia menyapu semua sisi dengan matanya, ekor matanya tak pernah lepas melihat pintu belakang. Takut kalau orang yang ditunggunya turun lewat belakang. Dia tak menemukannya, hanya para penumpang yang naik turun, dengan beban hidupnya masing-masing.

Tiga tahun dia menunggu, menumpahkan segala harapannya pada halte tua dekat rumah. Dia sadar, begitu banyak cara untuk seseorang pulang. Harusnya dia menunggunya di Bandara, stasiun, atau terminal bukan halte kecil dekat rumahnya. Kecuali orang itu tak ingin kembali. Kemungkinan terakhir selalu ditepisnya, setidaknya untuk tiga tahun terakhir ini.

Intuisinya mengatakan, lelaki itu akan kembali. Pada suatu sore di bawah hujan. Halte kecil menjadi perantara untuknya dengan lelaki itu. Tempat yang menjadi saksi perpisahan dirinya dengan lelaki itu, pada suatu sore di bawah hujan. Dia ingin mengulangnya, dengan harapan dan cinta.
Butiran-bitiran kecil mulai jatuh membasahi bumi, seketika membesar. Ini hujan bukan gerimis. Dibukanya payung hitam besar itu, berharap tak hanya meneduhi dirinya saja tetapi juga lelaki disampingnya.

Setengah intuisi-nya benar, hujan turun sore itu, setengahnya lagi salah, lelaki itu tak pernah datang.

 # # # 

Di suatu tempat nun jauh di sana, di sebuah rumah mungil, seseorang sedang menatap hujan dari jendela. Tangannya mengikuti air yang mengalir membasahi kaca. Sekelebat bayangan hadir dalam pandangannya, tapi cepat-cepat ia tepis. Dia tak ingin bayangan itu, dia sudah punya wujud baru, wujud nyata seorang wanita, yang bersandar di bahunya.
untuk Mala yang menanti Theo
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar