Sore ini aku mandapati
amplop cokelat. Seorang petugas pos mengantarkannya tadi siang, ibuku yang
menerimanya. Aku melapalkan doa sebelum membukanya, berharap bahwa itu surat
panggilan kerja. Namun setelah kubuka, aku kecewa. Bukan surat panggilan kerja,
karena ada ada poto di dalamnya dan dua lembar kertas dengan tulisan tangan di
atasnya.
Poto pertama seorang
anak laki-laki yang kutaksir berusia dua tahun. Satunya lagi bayi perempuan
yang mungkin berusia tiga bulan. Sebetulnya aku tak dapat membedakan apakah
bayi itu perempuan atau laki-laki, aku hanya menebak-nebak. Melihat boneka dan
berbagai mainan perempuan di sisinya, aku mengasumsikan kalau itu bayi
perempuan.
Aku masih enggan
membaca dua lembar kertas yang terbubuhkan tulisan tangan di atasnya. Setelah
meyakinkan diri tak mengenal dua balita tersebut, aku membaliknya. Di balik
poto balita laki-laki terdapat nama, Kafka Alfarisi dan Surriya di balik poto
balita perempuan itu. Dua nama itu tak asing bagiku, pasti dari seseorang yang
pernah ada dalam masa laluku. Tak butuh waktu lama untuk memutuskan membaca dua
lembar kertas tersebut.
# # #
Apa kabar, Du?
Masih kuat minum kopi
hitam bergelas-gelas dan satu bungkus rokok dalam sehari, pasti masih. Kamu
bukan orang yang mudah berubah kan. Butuh cinta yang luar biasa yang mampu
merubahmu dan aku tahu itu bukan tugasku, bukan tugas orang-orang sebelum aku.
Itu tugas wanita yang akan mendampingi dirimu sebagai istri.
Melalui surat ini, Aku
hanya ingin meminta maaf telah lancang menggunakan nama yang kamu persiapkan
untuk anakmu, anak kita yang tidak pernah terwujud. Jangan geer,
ini kulakukan bukan karena masih mencintaimu. Aku sudah menguburnya dalam-dalam
sejak seseorang me-lapazkan Ijab qobul untukku di masjid dekat rumahku.
Aku hanya ingin meminta maaf karena tak berani berterus terang kepadamu bahwa
aku sudah dijodohkan. Aku ingin meminta maaf melalui pemberian nama untuk
anak-anakku, meski aku tahu kamu tak mungkin marah. Aku mengenalmu sebagai
sosok yang sabar, meski marah kamu akan diam lalu menguburnya dalam-dalam.
Kamu lihat poto yang
kusertakan dalam surat ini, Kafka kini berusia dua tahun dan Surriya berusia
dua bulan. Sudikah kamu dipanggil Om oleh mereka, aku berharap kamu tak
keberatan. Pada saatnya aku akan membawa mereka kepadamu, mereka kan mengenalmu
sebagai sahabat terbaik ibunya. Iya sahabat, tak lebih. Maaf jika harus
menyembunyikannya rapat-rapat.
Du, butuh tiga tahun
lebih aku mengumpulkan keberanian untuk menghubungimu. Meski keberanianku hanya
dalam bentuk surat. Aku tak cukup berani menghubungimu melalui telpon, aku
takut banyak air mata yang tumpah karenanya. Sampai hari ini, rasa bersalahku
belum mengering, rasa bersalah meninggalkanmu tanpa kabar.
Tapi kamu pasti tahu
alasanku meninggalkanmu. Ayah sudah tua Du, dia ingin melihat anak terakhirnya
menikah. Bukan aku tak percaya pada keseriusanmu, tapi kamu masih kuliah, masih
harus kerja, sedangkan waktu Ayah tak banyak. Kamu sendiri pernah bilang, jika
seorang anak bisa mengkhianati orang tuanya demi orang lain, bagaimana dia bisa
menjadi ibu buat anak-anakmu kelak. Aku memutuskan untuk mengikuti kemauan ayah
dan meninggalkanmu.
Du, hampir setiap
malam selama satu tahun aku menangis. Merasa bersalah karena pernah
meninggalkan seseorang yang benar-benar mencintaiku. Tapi sejak kelahiran Kafka
aku sadar, aku bukan hanya sebagai seorang istri tapi juga seorang ibu. Apakah
masih pantas jika seorang ibu menangisi orang lain yang sudah bukan siapa-siapa
lagi untuknya. Melalui Kafka aku belajar memaafkan diriku sendiri meski aku
tahu, rasa bersalah kepadamu tak pernah benar-benar kering.
Du, jika aku pernah
mendengar dari teman-teman kita kondisimu terpuruk, aku berharap setelah tiga
tahun kamu sudah bangkit. Tak ada yang paling membahagiakan melihat anak-anakku
tumbuh menjadi anak yang bahagia dan melihatmu juga bahagia.
Semoga selalu bahagia
Du.
Mala, ibu dari Kafka
dan Surriya
# # #
Sudut mataku basah
tapi tak tumpah. Aku sudah mengikhlasmu pergi sejak hari itu, aku tahu
keadaannya serba sulit buat kita. Aku masih kuliah tingkat akhir, tentu tak
mungkin melamarmu dengan bermodalkan gelar kesarjanaannku. Semua itu tak cukup.
Aku mengambil selembar kertas, menuliskan balasan untuknya.
Mala, aku sama sekali
tak marah jika kamu menggunakan nama yang kupersiapkan untuk anakku, anak kita,
kamu berikan untuk anakmu. Aku bisa mencarinya lagi, toh aku juga masih sendiri
dan tidak berencana menikah dalam waktu dekat. Aku juga tak marah kamu
meningalkanku tanpa kabar, aku tahu keputusan ini tentu berat untukmu.
Sampai hari ini, aku
belum bisa memaafkan diriku karena tak bisa menepati janjiku untuk menemuimu
dua miunggu sebelum hari pernikahanmu. Kalau aku tahu itu adalah perpisahan
terakhir, dan kalau aku tahu dua minggu setelahnya kamu akan menikah,
tentu aku kan meninggalkan semua kegiatanku untuk bertemu denganmu. Tapi
semua sudah terjadi, aku hanya bisa mengutuki rasa bersalahku karena tak
berjuang lebih keras untuk meyakinkan orang tuamu.
Mala, suatu hari
nanti, saat anak-anakmu sudah dewasa, aku akan menghampiri mereka. Sebagai
sahabatmu, sebagai Om mereka. Bukan sebagai mantan ibunya. Toh aku juga
mengenal suamimu dengan baik, dia kakak kelas kita di SMA dan kakak Kelasmu di
UHAMKA. Salam buat suamimu, salam manis juga untuk Kafka dan Surriya.
Tapi kemudian aku
merobeknya. Mala tak butuh jawaban, dia sudah berbahagia. Aku juga bahagia. Ada
cinta yang tak pernah hilang dari kita, melalui nama anak-anakmu, cintaku terus
tumbuh bersamamu.