Mundur Perlahan


Pernah kah kamu merasa begitu patah, kecewa tanpa pernah ditinggalkan. Kecewa tak melulu soal kehilangan dan ditinggalkan. Dia telah memilih jalan berbeda dan kamu tak mampu mengejarnya.
Aku menunggunya di coffe shop Mall Summarecon Serpong. Bukan di smoking area seperti yang sering aku lakukan, untuknya aku rela berhenti merokok (sejenak). Aku ingin membuatnya nyaman berlama-lama denganku. Aku suka cara dia menatapku, wajah polosnya dengan senyum yang tidak pernah terlepas membuat semua terasa begitu nyaman berlama-lama dengannya. “Senyum itu kan ibadah Kak,” katanya sambil terseyum dan membuat matanya hanya terlihat segaris.
Aku merindukan obrolan-obrolan panjang dengannya. Melalui twitter, WhatsApp hingga telpon, untuk yang terakhir kita jarang melakukannya. Aku merindukan obrolan yang tak nyambung, seringkali dia meng-copy paste watsapku, “Bagian ini maksudnya apa kak?” lalu aku menjelaskan dengan panjang lebar, tak ada marah atau kesal. Justru itu yang membuat aku merindukannya.
Namun, kali ini aku tak menemuinya untuk obrolan-obrolan panjang. Bukan aku tak merindukannya lagi, sampai saat ini aku tetap merindukannya. Sudah saatnya aku mundur perlahan. Sudah saatnya aku pergi, bukan pergi dalam jarak satuan meter. Pergi dari kehidupannya, pergi dari obrolan di twitter, watsap dan telpon. Pergi dari kekakuan yang mulai menjalar satu bulan belakangan ini. (belajar) pergi dari merindukannya.
Pernah kah kamu merasa begitu patah, kecewa tanpa pernah merasa ditinggalkan. Kecewa tak melulu soal kehilangan dan ditinggalkan. Ia bisa berwujud dalam bentuk lain.  Ketika melihat orang yang kamu sayangi mengambil langkah yang jauh berbeda, hingga kamu tak mampu mengejarnya.
 Aku pernah dan sedang mengalaminya. Dia selalu ada, tak pergi, hanya saja cara berfikir kita yang berbeda. Dia memilih untuk fokus di komunitasnya yang kuanggap ekslusif. Banyak cara berfikir kita yang tak sejalan. Aku tak mengatakan ini buruk, hanya saja perubahan ekstrim secara tiba-tiba membuat pondasi yang kita bangun beberapa bulan terakhir hancur berantakan.
Tidak ada obrolan malam, hanya pesan singkat yang berisikan ajakan untuk selalu beribadah-yang tak butuh balasan. Tidak kah kamu merindukan obrolan-obrolan panjang, tertawa-tawa tanpa harus membawa embel-embel agama. Tentu aku tak membenci agama, hanya saja hidup kita terlalu rumit jika hanya berkutat pada soal itu.
Aku menelponnya dan mengatakan sebaiknya kita tak perlu bertemu. Aku belum sanggup untuk mengatakan perpisahan ini, toh ada atau tidak pertemuan ini, hati kita sudah tahu harus seperti apa.
Terima kasih telah mengajarkan untuk mencintai tanpa memiliki…


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar