“Semuanya sudah berakhir”. Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirmu setelah setengah jam berlalu tanpa kata. Tanganmu masih memutar-mutar cangkir yang isinya telah berpindah ke tubuhmu. Cangkir kosong itu kini menjadi kiblatmu, matamu tak lepas darinya. Tidak menoleh ke kanan, kiri atau belakang, menatap ke depan tak mungkin kamu lakukan, ada aku di situ. Matamu tak akan pernah mau menatapku, bahkan sedetik pun tidak.
Banyak hal yang membuat kita tertunduk, takut dan tak siap menghadapi kenyataan. Kita tak ingin memulai apalagi mengakhiri. Kalau memang diam membuat kita lebih banyak bersama, sebaiknya kita larut dalam diam. Tak perlu lagi kata, kebersamaan adalah obat mujarab dari hubungan kita.
Tapi hidup tak stagnan pada satu dimensi, ia dinamis. Ia mengharapkan waktu terus berjalan dan kita harus bergerak. Entah pahit atau manis itu konsekuensi logis dari hidup. Tak ada yang manis-manis saja, tak ada yang mudah-mudah saja. Perjalanan ini tetap harus berlanjut, kata ini harus disambung. Entah bagaimana akhirnya, hanya tuhan yang tahu.
Marcell benar, tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah kita lantas pergi, meski cinta tak kan bisa pergi. Benteng di hadapan kita terlalu tinggi, sulit untuk kita menggapainya.[1] Ini sulit tapi harus ada yang memulai, harus ada yang memutuskan.
“Ya, sudah berakhir rupanya” begitu saja kalimat itu meluncur dari bibirku. Ingin aku menarik kembali kata-kata itu dan membenamkannya di dasar laut, tapi tak mungkin, kalimat itu telah keluar dan memang sebaiknya keluar. Tatapanku kini tertuju pada cangkir kopi, isinya telah berkurang setengah. Mataku tak lagi memperhatikanmu, terlalu lelah menunggumu mengangkat kepala dan tersenyum manis seperti biasa.
“Kenapa tuhan menciptakan kita berbeda-beda kalau dia hanya ingin disembah dengan satu cara. Kenapa kita harus terjebak dengan identitas, melabelkan tuhan dengan satu nama. Bukankah agama representasi dari keyakinan personal, bukan sebuah keyakinan yang dipaksakan”. Suaramu meninggi, tatapanmu nanar, ada setitik air yang merembes di sana. Matamu menyala, tak pernah ku lihat kamu semarah itu, tak pernah ketika menatapku.
Kudekap tubuhmu yang masih berdiri kaku menahan marah. “Kenapa semua harus berakhir hanya karna perbedaan. Bukankah tuhan itu satu, lantas mengapa jika kita berbeda”. Kalimat demi kalimat terus mengalir dari bibirmu, suaramu tak selantang tadi, seperti berbisik, seperti angin.
“Karna itu tuhan menciptakan cinta, agar kita bisa bersama meski kita berbeda” bisikkku sambil membelai lembut rambutmu.
“Masukkan saja aku ke agamamu, dengan begitu kita tak perlu mengakhiri hubungan ini”. Kalimat itu seperti silet yang menyayat-nyayat hatiku, perih sekali mendengarnya.
“Bagaimana bisa aku percaya pada orang yang telah mengkhianati tuhannya yang disembah dengan segenap jiwa dan raganya”, kataku sambil merenggangkan pelukanku kepadamu. Nafasmu sudah teratur, tubuhmu sudah tak kaku lagi, amarah itu sudah berkurang. Kamu berkata seolah kita sedang menukar sebungkus mie instan dengan keyakinan, menggadaikan hal paling dasar untuk sebuah cinta. Cinta itu melengkapi bukan meniadakan.
“Jadi kita kembali sendiri-sendiri”, tanyamu minta kepastian.
“Dari awal kita menjalin hubungan ini, kita sudah tahu saat-saat seperti akan tiba. Cepat atau lambat hanya tuhan yang tahu. Jika memang harus sekarang, memang sudah saatnya, sudah waktunya. Inilah jatah hidup kita. Kita bisa saja menjalani semuanya tanpa harus memaksa salah satu dari kita mengikuti agama aku atau kamu, tapi bukankah kita tak ingin menjalani hidup ini tanpa restu dari keluarga kita. Jika kita percaya hidup ini adalah anugerah dan setiap detik adalah hadiah, maka dua tahun bersamamu aku mengamini itu. Bersamamu adalah anugerah dan hadiah terindah yang tuhan berikan kepadaku.
“Huh, sebaiknya sampai di sini. Tapi malam ini aku ingin menghabiskannya bersamamu, menikmati sepotong kue kuning yang menggantung di langit. Sepotong cahaya di hamparan pekatnya malam, terlalu pekat hingga garis langit dan bumi tak terlihat. Aku ingin menikmatinya berdua, sampai cahaya kemerahan datang menjemput, aku akan pergi bersamanya”.
Ritual ini sudah dimulai rupanya. Tanpa pikir panjang, aku mengambil karpet dan selimut di kamar. Malam ini akan jadi ritual terakhir untuk kita, rutinitas yang kerap kamu tagih jika kue kuning itu berbentuk sabit. Kamu selalu mengkhayalkan dapat menggantung disana, memancing bintang-bintang yang berkeliaran di langit pekat. Sinarnya yang lembut menghangatkan tubuhmu dan menerangi kegalauan hatimu. Jika bintang jatuh, kamu berharap dapat mengambilnya dengan jaring yang kamu siapkan di kantongmu. Jaring yang sama, jaring yang digunakan nelayan untuk mencari ikan. Dengan memejamkan mata kamu membuat satu harapan, harapan yang sama sejak dua tahun lalu. Harapan agar kita selalu bersama. Begitulah ritual yang kamu maksudkan.
Beralaskan karpet dan selimut hangat kita mulai melahap kue kuning yang tinggal sepotong itu. Udara dingin membuat tubuh kita bersentuhan, tanpa jarak, tanpa spasi. Bahuku selalu menjadi sandaran kepalamu, sandaran paling nyaman di dunia menurut persimu. Tangan kita saling menggenggam, tak ingin terlepas meski hanya untuk sesaat. Walau kita tahu esok pagi genggaman ini harus lepas. Tapi
Inilah hadiah, inilah anugerah dan inilah jatah hidup kita…
0 comments:
Posting Komentar