Aku sebenarnya enggan untuk menemui temanku di salah satu kafe yang terletak di selatan Jakarta. Meski besok hari libur perayaan natal, aku masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan sampinganku. Mendengar suara tangisnya di telpon, tanpa pikir panjang aku langsung merapikan komputer jinjingku dan menuju kesana.
Disana,
aku mendapati dirinya yang sedang tertunduk lesu. Maskaranya luntur dan
wajahnya pucat pasi.
“Kenapa
dia begitu bahagia,” katanya.
Aku
ingin bertanya perihal ‘dia’ yang temanku maksudkan. Tapi kuurungkan, aku
menunggu lanjutan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hampir satu menit dia
terdiam sejak kalimat pertama keluar dari mulutnya. Kuputuskan untuk menyulut
sebatang rokok. Kemudian dia meminta sebatang rokok dan kubantu menyulutnya.